Mohon tunggu...
Robbi Gandamana
Robbi Gandamana Mohon Tunggu... Ilustrator - Ilustrator

Facebook : https://www.facebook.com/robbi.belumfull -------- IG : https://www.instagram.com/robbigandamana/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika 'Mbokde' Bicara Politik

12 November 2016   08:10 Diperbarui: 12 November 2016   09:10 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini adalah era dimana semua orang bergaya pakar ; pakar politik. Sejak Pilpres 2014, mbokde -mbokde yang dulu ngomongin sinetron sekarang pada getol ngomong politik. Demikian juga dengan para pakde. Seandainya wedus bisa bicara, mereka akan bicara politik.

Bukannya saya ngelarang wanita (atau siapa saja) ngomong politik. Melek politik itu perlu, tapi kalau tidak paham benar mending jangan bikin status yang sifatnya provokasi, memanas-manasi, ngompori atau share berita politik (yang belum jelas validitasnya) malah bikin 'panas' suasana yang sudah panas ini. Unfriend, Unfollow, blokir pun merajalela.

Tentu saja di medsos orang bebas bicara dan lempar apa saja. Cuman ingat, persaudaraan, persahabatan dan pertemanan lebih penting daripada sekedar membela mati-matian Cagub atau Capres pilihanmu. Tapi itu terserah anda. Saya cuman ngasih pandangan saja. Saya bukan buapakmu, embahmu, ustadzmu atau ulamamu.

Saya perhatikan di medsos, banyak sebenarnya yang tak paham politik tapi nimbrung di obrolan politik. Padahal nggak paham-paham amat dengan apa yang dibaca dan diomongkan. Oalaa Ndes, kalau otak tak mampu mencerna berita (apalagi berita politik) jangan dipaksa loading. Itu yang membuat banyak orang 'sakit'. Pikiran nggak fresh..rai dadi burek.

Berita-berita politik sekarang adalah versi kedengkian kubu yang satu terhadap kubu yang lain. Tak ada kemurnian di berita-berita tersebut. Jangan terlalu dimasukan ke hati apalagi sampai ngotot mata mendelik untuk membelanya. Biasa ae Ndes..

Banyak tulisan di media tidak dijamin 100% validitasnya. Bila lugu, kita akan jadi makanan empuk media massa. Media massa itu alat pencuci otak yang paling mujarab. Seperti di era Suharto, media (TV) jadi alat propaganda yang efektif. "Piye le..enak jamanku to?" ndasmu..

Sekarang pun 2 stasiun swasta masih saja 'perang politik' padahal pencapresan sudah selesai bertahun-tahun lalu. 2 stasiun TV tadi saling mencuci otak manusia-manusia kolot labil berjiwa kering yang kehidupan seksnya menyebalkan.

Orang yang pikirannya fresh itu orang yang Golput. Nggak ikut-ikutan 'perang' membela Cagub, Capres, Cap ji Kia....

Nggak cerdas kalau ada yang ngomong Golput itu orang yang tidak mencintai dan tidak perduli pada bangsanya. Hoiiii, saya Golput tapi 100% mencintai bangsa ini! Bhineka Tunggal Ika harga mati! (Bukan NKRI harga mati. NKRI boleh berubah, kalau memang berubah jadi lebih baik, why not? kenyataannya negara ini sudah di-amandemen berkali-kali kok).

Bedakan antara bangsa dan negara. Bangsa itu sesuatu yang berhubungan dengan rakyat dgn segala kearifan, agama, adat budayanya. Negara itu sebuah pemerintahan dengan segala hukum, aturan, tata tertib, birokrasi, administrasi bla bla bla bla. Dan memilih Golput itu karena tak percaya atau tak setuju dengan sistem yang dianut oleh negara.

Bangsa tanpa negara tetap akan jadi bangsa. Tapi negara tanpa bangsa nggak bisa jadi negara. Golput itu tidak mengakui negara ini, tapi menghormati aturan negara : punya KTP, SIM, bayar pajak, dan lainnya. Yang penting nggak ngisruh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun