Pertama kali membaca berita soal anjuran Satgas Covid-19 yang boleh bukber asal tidak ngobrol itu, aku langsung mesam-mesem. Wasyem
Mungkin maksudnya ngobrol yang intens tanpa masker untuk menghidari terjadinya penyebaran droplet yang memicu penularan Covid.
Kalau maksudnya tidak makan sambil ngobrol, itu sih sejak kecil kita sudah diajari. Jadi nggak perlu dihimbau. Kata simbah dulu memang kurang elok makan sambil ngobrol apalagi sambil ngaji.
Apakah mungkin yang dimaksud bukber ini buka-bukaan bersama. Kalau itu sih, asyiknya memang nggak usah pakai ngobrol.
Embuh wis. Yang jelas, Satgas Covid sedang menjalankan fungsinya, ngelingno raimu sing angel tuturane, bahwa Covid belum sepenuhnya sirna. Nggak tahu kapan akan sirna, karena tinggi rendahnya kasus Covid tergantung pada siapa yang mau dicovidkan. Ups.
Kalau kita di posisi mereka, pasti menyadari kalau jadi Satgas Covid-19 itu nggak mudah. Mengingatkan jadi bahan guyonan. Tidak mengingatkan jadi bahan cacian.Â
Memang susah jadi petugas pemerintah yang selalu mengingatkan rakyatnya yang susah diatur. Karena bahasa tidak bisa sepenuhnya mewakili kehidupan.
Kalau dipahami sebatas kata, pasti akan terlihat konyol dan naif. Di situlah perlunya membaca dengan hati dan pikiran yang jernih.
Apalagi kalau sudah ada bibit kebencian, apapun yang keluar dari mulut seseorang yang kamu benci nggak akan masuk di pikiran dan hati. Sing kok trimo nang njero atimu iku dadi burek kabeh.
Untungnya aku Golput (ojok ditiru). Jadi bisa lebih jernih melihat.