Orang Endonesa itu terkenal ramah di mata bangsa-bangsa dunia. Tapi itu tidak berlaku di dunia maya, netizen Endonesa itu jago dalam urusan bully, meremehkan, body shaming, dan sejenisnya. Mungkin termasuk aku.
Propic-nya wajah tanpa dosa tapi komennya sadis banget jika ada postingan netizen lain yang beda pilihan politik atau ideologi.
Ada anak SMK yang kreatif membuat  mobil  yang harusnya diapresiasi, tapi malah dibully. Yo wis lah kalau mereka banyak mengadopsi mobil China. Tapi itu sudah lumayan dibanding raimu, mbongkar radio ae gak iso mbalekno.
Hanya karena mobil tersebut jadi alat pencitraan tokoh Nganu terus kamu sinis. Nek ngono kelakuanmu, negaramu nggak bakalan bisa jadi besar. Sampai kiamat tetap jadi negara konsumen. Nggak pede dan gengsi dengan buatan anak negeri. Lha wong hobine bula buli ae koyok yes yeso ae raimu.
Dalam konteks ini, Endonesa harus belajar dari China. Dulu mereka dikenal sebagai bangsa peniru, sekarang jadi bangsa besar yang harus ditiru. Mereka saling mendukung, tidak saling menjatuhkan.
Dulu Dahlan Iskan mencoba mengenalkan mobil listrik karya anak bangsa, tapi lha kok malah dikriminalisasi. Didakwa merugikan negara. Insinyur mobil listriknya jadi tersangka. Intinya dijegal secara halus dan tidak didukung. Tapi ngAlhamdulillah, sekarang banyak yang sadar, ada upaya untuk pengembangan mobil listrik lagi. Ya'opo se paklek.
Medsos membuat kita gampang terseret untuk menyalahkan dan juga membenarkan. Belum tahu persis persoalannya, tapi sudah membully habis-habisan. Atas nama solidaritas atau hanya ikut-ikutan doang.
Kemarin ada kasus Gofar Hilman (GH) yang diduga telah melakukan pelecehan seksual. GH sampai stress, paranoid, nggak berani keluar rumah dan hampir bunuh diri. Itu karena dibully oleh para SJW (Social Justice Warrior), feminis militan yang sadis menghujat kaum lelaki yang tidak bisa mengontrol peli.
Bahkan keluarga GH yang nggak tahu apa-apa juga dibully. Padahal belum terbukti secara sah dan meyakinkan kalau sudah berbuat tidak senonoh.
Dan ternyata GH memang tidak bersalah. Cewek yang berhalusinasi dilecehkan oleh GH sudah minta maaf secara terbuka (ternyata cewek yang mblendes jiwanya, suka berkhayal). Para SJW yang sudah terlanjur membully pada ngilang tenggelam ditelan bumi, tidak ada kata maaf. Padahal GH sempat jobless dan hampir gendeng karena fitnah itu.
Itulah netizen Endonesa Raya. Tidak sedikit korban bully yang depresi dan bunuh diri, tapi tukang bully nggak ada matinye. Asli menyebalkan. Muke lu jauh.
Ada juga jenis netizen yang postingannya soal hikmah dan dakwah, tapi kalau di inbox obrolannya mesum jaya. Tapi nggak papa, itu urusan pribadi dia dengan hidupnya. Jarno ae.
Medsos itu bagai pisau bermata dua. Bisa bermanfaat tapi bisa sangat merusak. Orang yang baik-baik saja, bisa jadi celaka hanya karena kebablasan dalam berkata-kata. Tapi tidak selalu karena postingannya yang salah, tapi daya tangkap atau penafsiran netizen terhadap postingan tadi yang ndlahom, nggak cerdas. Karena nggak paham sastra.
Seperti postingan seorang tokoh yang dikasuskan karena mengatakan, "Kasihan sekali Allahmu ternyata lemah harus dibela. Kalau aku sih Allahku luar biasa, maha segalanya. Dialah pembelaku selalu dan Allahku tak perlu dibela."
Itu khan substansinya sama dengan ucapan Gus Dur, "Tuhan nggak perlu dibela." Itu kritikan yang ditujukan buat Ormas Islam yang suka teriak bela Islam atau bela Allah. Gak onok salahe.
Kalau kamu Islam, otomatis akan dibela Allah. Kalau kamu membela Allah, maka seolah-olah Allah itu lemah. Yang membela harus lebih kuat dari yang dibela. Â Cukup bela keadilan, nggak cuman bela Islam. Terus kalau ada umat agama lain jadi korban kejahatan apa nggak dibela? Semua dibela.
Ateis pun kalau jadi korban aniaya ya harus dibela. Bukan dibela ideologinya, tapi manusianya. Itulah Gus Dur, humanisme bukan pluraslime. Membela manusianya, bukan agamanya.
Kita ini sudah nggak paham kata, gampang marah, fanatik buta, plus bisa diprovokasi dengan mudah. Hiduplah Endonesa Raya.
Aslinya semua polemik bangsa ini muaranya adalah medsos. Tapi kalau medsos dihapus ya nggak bagus juga. Manfaatnya jauh lebih banyak daripada mudharatnya. Pisau pun bisa untuk membunuh, nggak cuman untuk keperluan dapur. Jadi semua tergantung manusianya.
Yang jelas medsos itu alat pelarian melampiaskan hasrat. Mereka-mereka yang haus puja- puji. Â Mengingikan nikmatnya perhatian, tepuk tangan. Kebanyakan 'palsu'. Jangan kaget kalau jumpa darat dengan orang yang sering ngamuk di medsos ternyata aslinya pemalu. Ditanyai serius tapi njawabe isin-isin karo plungkar plungker. Wadoh.
Wis ah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H