Mohon tunggu...
Robbi Gandamana
Robbi Gandamana Mohon Tunggu... Ilustrator - Ilustrator

Facebook : https://www.facebook.com/robbi.belumfull -------- IG : https://www.instagram.com/robbigandamana/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hambarnya Hidup di Masa Pandemi

13 Juni 2020   14:00 Diperbarui: 14 Juni 2020   06:27 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pandemi membuat kehidupan jadi hambar. Sosial distancing membuat kita mati gaya. Kalau dulu bertemu bertatap muka lebih baik daripada via medsos. Sekarang malah dianjurkan sebaliknya. Leyeh-leyeh di rumah lebih utama daripada kegiatan pul kumpul di luar rumah.

Sekolah tapi nggak hadir di kelas, tapi cukup belajar di rumah. Awalnya memang fun, tapi seminggu dua minggu baru terasa hambar.  Seperti orang yang bertahun- tahun pacaran jarak jauh. Semua interaksi hanya lewat layar henpon. Setelah itu ternyata nikahnya sama orang lain.

Padahal sekolah yang asyik itu pergaulan sosialnya. Nongkrong di kantin, ngrasani guru, sekali-kali mbolos, pulang sekolah keluyuran. Itu yang membuatku semangat sekolah. Selain itu kebanyakan cuman omong kosong. Hafalan rumus-rumus mata pelajaran eksak itu cuman membuat rambutku rontok. Boros rai.

Belajar di rumah itu juga ngrepoti orang tua. Apalagi jenis orang kaya yang berani bayar mahal sekolah vaforit (ejaannya salah ya? so what?) dengan keinginan anaknya yang masih SD itu bisa pandai hanya dengan belajar di sekolah. Ortu nggak mau campur tangan dengan urusan belajar. Tiap pagi anaknya didrop di sekolah dan pulangnya dijemput. Begitu tiap hari. Pokok tahunya beres.

Ketika anaknya nggak jadi pandai, sekolah dan gurunya yang disalahkan, "Disekolahkan di SD favorit kok nggak jadi pinter!? Favorit fak yu, matane!"

Saat pandemi begini merekalah yang paling sengsara. Tiap hari uring- uringan karena nggak siap atau nggak rela jadi asisten guru anaknya. Di grup WA sekolah, gurunya dimarahi terus. Wis mbayar larang malah didadekno asisten. Fesbuk jadi terbengkalai. Nggak sempat ngeksis di IG.

Pandemi memang bikin keki. Banyak kegiatan yang terpaksa dilakukan rumah. Reuni pun via video conference. Nggak asyik blas. Nggak bisa nyeletuk. Gak iso jundu-junduan. Nggak bisa pamer tas Hermes, juga gadget canggih keluaran terbaru limited edition yang hanya ada dua di dunia. Karena ternyata itu produk gagal.😁

Yang bikin tengsin itu nggak ada angin nggak ada hujan tiba-tiba ngajak video call. Ya'opo rek, tangi turu rai sik nggilap berminyak, dijak ngobrol.  Apalagi setelah itu di-screenshot dan di-share di medsos. Ditonton wong sak endonesah. Padahal pas iku rai koyok mendol kecemplung jelantah. Rembes jaya.

Aku kasihan sama mereka-mereka yang biasa foto profil pakai kamera jahat. Itu khan njeglek banget dengan foto hasil screenshot di video call. Konco nang fesbuk sing gak pernah ngerti wajah asline khan iso semaput. Dobollll.😅

Sekarang pameran lukisan juga dari rumah. Karya lukisan diposting di instagram terus dikasih hastag 'pameran dari rumah'. Bingung aku. Terus apa bedanya dengan postingan gambar atau lukisan sebelum pandemi. Berarti sejak punya akun fesbuk aku sudah berpameran dari rumah.

Yang hambar lagi itu konser musik di rumah. Bagaimana pun hebatnya permainan para musisinya, tetap saja  feel-nya nggak dapat. Terutama penonton. Nggak ada suit-suit, tanpa tepuk tangan, nggak ada jeritan histeris dari fans cewek, tanpa siraman air dari mobil damkar untuk penonton yang kepanasan. Nggak ada adegan aparat nggebuki penonton yang rusuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun