Bangga dengan agama yang dianut itu sip. Ke mana-mana menunjukan simbol agamanya. Misalnya memakai kaos atau topi bertuliskan kalimat tauhid. Tapi bagiku pakai simbol agama itu beban. Karena harus menjaga nama baik simbol yang kamu pakai.
Banyak di medsos yang foto profilnya pakai topi bertuliskan "Lailahaillallah" atau simbol sejenis, tapi komennya nyelekit dan menyakitkan hati saat menanggapi postingan orang yang nggak sepaham. Gak mecing blas.
Jangankan pakai simbol agama, aku pakai kaos bergambar Cak Nun saja beban kok. Pernah saat di dalam kereta api yang penumpangnya berjubel-jubel.Â
Di depanku ada seorang ibu berdiri menggendong bayinya karena nggak dapat tempat duduk. Aku bak Ksatria Baja Ringan langsung ngasih tempat dudukku ke dia, "Monggo bulik."
Saat itu aku jadi kayak pemeran protagonis di sinetron "Kere yang Tertukar". Swemprul.
Tapi itu kulakukan bukan karena aku baik, tapi karena aku pakai kaos Cak Nun. Nama baik Cak Nun dipertaruhkan. Juga nama maiyah. Kalau aku nggak ngasih tempat duduk, takutnya ada yang kecewa, "Anak buahe Cak Nun nggateli, onok wong meteng kok meneng ae. Maiyah cap peli."
Aku masih punya satu kaos Cak Nun (sing takok sopo). Gambarnya karyaku sendiri (cie ciee). Dulu sering kupakai kemana-mana, disamping kaos warna hitam favorit.Â
Tapi sekarang sudah nggak lagi. Bukan karena sudah rusak, tapi karena beban. Cak Nun wong alim, sedangkan aku bajingan. Gak mecing, distorsi sekali. Akhire tak simpen ae. Cukup untuk koleksi saja.
Untung Nabi Muhammad nggak ada fotonya. Kalau ada, bisa-bisa dijadikan kaos. Dijual berdampingan dengan kaos Bob Marley. Ke mana-mana pakai kaos tersebut. Bahkan pas ngeden nang toilet. Wadoh.
Btw, dulu sempat booming kaos bergambar Cak Nun. Embuh saiki sik payu opo ora. Gambarku sempat dibajak distro-distro kere yang awam soal hak cipta.Â
Ada yang dengan rileksnya posting (promosi) kaos bergambar karyaku di fesbuk. Padahal aku ada di daftar pertemanan dia. Walhasil aku jadi tahu. Dasar pembajak ndlahom.