Lebaran memang hari yang sangat sakral bagi orang endonesa. Seminggu (atau lebih) sebelum bulan puasa sudah disiapkan segala sesuatunya untuk menyambutnya.Â
Pokoknya bagaimana caranya lebaran harus istimewa. Rumah dicat ulang sekinclong mungkin. Atau direnovasi kalau ada rezki. Baju, lebaran, sampai sempak pun harus baru. Kere bergaya parlente.Â
Padahal kata ustadz, di hari lebaran kita dianjurkan memakai pakaian yang terbaik, bukan yang baru. Karena lebaran bukan ajang fashion show.Â
Karena punya barang baru itu sangat berpotensi untuk dipamerkan. Baju baru dipamerkan, Â celana baru dipamerkan, Â sempak baru.... nggak ah. Tapi monggo nek wani mamerno. Resleting celana dibuka. Â
Dan gara-gara budaya beli pakaian baru, ibadah puasa jadi nggak fokus. Terutama yang sudah punya anak. Terawih jadi bolong-bolong karena berburu baju diskonan di Mastohari dept. store. Â Padahal sebelum didiskon, Â harganya ditinggikan dulu. Â Diakali bakul.Â
Ada kisah tentang toko pakaian yang terbakar saat menjelang lebaran. Â Toko dan isinya ludes dilalap api. Â Anehnya si pemilik toko biasa saja menghadapi musibah itu. Nggak menunjukan ekspresi sedih.Â
Dia bilang pada wartawan, "Untung kebakarannya hari ini mas, Â nggak kemarin.."
Wartawannya heran, Â " Lho memang bedanya apa hari ini dan kemarin?"
Pemilik toko menjawab serius, "Kemarin dagangan saya belum saya diskon.. "Â
Dobollllll .Â
****
Sebenarnya kita sebagai ortu tahu kalau lebaran nggak harus pakai baju baru, Â tapi tetap nggak tega hati kalau anak tidak berbaju baru. Karena kalau nggak berbaju baru, takutnya si anak minder lihat teman-temanya pada pakai baju baru.Â