Untungnya yang melarang cadar itu kampus Islam yang penuh dengan Dosen, Guru Besar atau Profesor yang tahu dan paham soal Islam. Kalau yang melarang kampus umum atau non Islam, bakalan dituduh Islamophobia, Anti-Islam, atau yang paling parah kampusnya dibakar.
Jadi kalau ilmu agamamu masih setetes kencing kuda (dibandingkan para Guru Besar tadi), nggak usahlah ngurusi pelarangan itu. Raimu iku akeh gak pahame. Juga buat yang non muslim, nggak perlulah ikut-ikutan mbahas. Itu urusan intern muslim Ndes. Walau cadar bukan hanya busana muslim, agama lain juga ada, tapi dalam konteks di Indonesia soal cadar itu 99% muslim. Datanya mana? Fuck you eh, fuck me.
Ada juga kemarin yang posting seorang pria ditolak saat akan menolong wanita bercadar karena jilbab yang super lebar itu nyangkut di jeruji sepeda motor. Alasannya bukan muhrimnya. Oalaa swempruulll. Hukum agama itu berlaku kondisional, disesuaikan dengan kondisi. Kalau hanya ada pria yang sanggup menolong, yo no problem Ndes.Â
Kasus di atas kayak ibu hamil yang menolak ditolong dokter pria saat melahirkan. Dipikir dokternya akan ngaceng lihat jembut si ibu tadi. Malah dokternya yang tekanan batin, keseringan melihat begituan. Kesenangan apa pun yang sudah jadi rutinitas itu sangat membosankan, bahkan bisa bikin stres.
Itulah, ilmuwan Islam nggak bisa berjaya karena selalu diganggu kaum kolot. Ibnu Sina atau orang Barat menyebutnya Avicenna (ahli kedokteran) dulu dikafir-kafirkan hanya karena menyelidiki tubuh atau organ wanita. Alasannya bukan muhrinya. Guoblokkkkkk. Lha gimana bisa tahu anatomi wanita, kalau dilarang menelitinya.
Zaman sekarang pun banyak dokter wanita muslim berjilbab yang mengotopsi mayat pria. Tes kesehatan masuk tentara pun diharuskan telanjang, dan ndilalah ada yang pakai celdam pink berenda milik pacar. Mungkin sedang kangen pacarnya. Tengsin boooo!
-Robbi Gandamana-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H