Mohon tunggu...
Robbi Gandamana
Robbi Gandamana Mohon Tunggu... Ilustrator - Ilustrator

Facebook : https://www.facebook.com/robbi.belumfull -------- IG : https://www.instagram.com/robbigandamana/

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Begini Menyikapi Tulisan Opini dengan Cerdas

24 Januari 2018   09:10 Diperbarui: 24 Januari 2018   10:39 1727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi : Robbi Gandamana

Salah satu yang membuat aku males nulis opini itu ketika ada orang yang reseh soal data. Nggak sedikit pembaca seperti itu, yang menyikapi sebuah tulisan opini kayak dosen penguji skripsi yang menuntut data lengkap dan akurat.

Apalagi kalau komennya lebay, gayanya kayak dosen yang mengoreksi mahasiswa karena data yang tertulis di opini tersebut tidak sama dengan data yang dia baca. Seneng kalau aku malu karena ketahuan goblokku. Bertahun-tahun aku pura-pura jadi orang pinter di dumay, lha kok ada yang merusak karierku dalam sekejap. Swemproelll.

--Lebih parah lagi yang komennya membuka aib masa lalu, "Gayamu sok-sokan ngomong agama, kamu itu dulu suka mabuk-mabukan bla bla bla.." Oalaa, zaman SMA dibawa-bawa. Dipikirnya kelakuan manusia itu tidak bisa berubah---

Wajar kalau datanya berbeda, lha wong sumbernya beda. Daripada eker-ekeran soal data, mending ambil ilmunya yang kira-kira bermanfaat. Atau skip saja, jangan dibaca kalau nggak cocok dengan hati dan jalan pikiranmu. Kok repot.

Penulis opini kebanyakan bukan peneliti, kalau menyangkut data yang sifatnya angka-angka njelimet jangan berharap akurasi. Opini bukan skripsi apalagi disertasi. Bila data yang kita baca di sebuah tulisan opini itu berbeda dengan yang pernah kita baca, itu bukan masalah besar.

Bagiku, tulisan opini yang berhasil (bagus) itu bukan yang datanya luengkap dan akurat, tapi bermanfaat dan inspiratif. Syukur-syukur kalau menghibur. Setidaknya setelah membaca jadi kebuka matamu, membuat otakmu naik ke kepala yang selama ini ada di dengkul. Itu saja. Nggak perlu banyak data yang membuat rambutmu semakin rontok dan memutih.

Meributkan data yang berbeda sumbernya itu buang-buang waktu dan tenaga. Aku nggak mau menghabiskan separuh umurku untuk menulis opini dan separuhnya lagi untuk menanggapi komen yang mempersoalkan data.

Silakan yakini data yang kamu dapat, nggak usah banyak debat. Kebenaran kita itu relatif. Nggak ada yang betul-betul benar. Data bisa berubah kapan pun. Ingat  slogan kesehatan "4 Sehat 5 Sempurna" yang bertahun-tahun kita yakini dan tertanam di dalam otak kita, ternyata sekarang dikoreksi jadi "Pedoman Gizi Seimbang". Asem.

Apalagi kalau data sama-sama didapat dari Google, oala, mbok yo gak usah kakean protes Ndes. Sama-sama nggak tahu kebenarannya. Darimana kamu tahu kalau datamu itu pasti benar? Lha wong tidak kamu sendiri yang melakukan penelitian, cuman 'katanya'.

Kalau masih 'katanya' itu sama saja dengan ilusi. Maka jangan terlalu yakin dengan data yang kita tidak benar-benar tahu kebenarannya. Cukup waspada saja. Asal data itu tidak jadi fitnah yang merusak nama baik seseorang atau instansi. Atau data tersebut bukan pelintiran untuk kampanye hitam.

Ingat kata Stephen Hawking, "Musuhnya ilmu pengetahuan itu bukan kebodohan, tapi ilusi." Kita tahunya berita dari media massa atau medsos, tidak melihat dengan mata kepala sendiri. Tahunya data dari google tanpa pernah melakukan survei atau penelitian sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun