Ada suatu daerah yang diumumkan hasil sumbangannya dan siapa yang menyumbang. Itu taktik agar orang menyumbang banyak, malu kalau menyumbang sedikit. "Paimo, menyumbang uang tiga puluh ribu rupiah." Tengsin boo, yang nyumbang seratus ribu saja pakai inisial "Hamba Tuhan".
Tentu saja Bongkeng tidak menyalahkan orang menyelenggarakan resepsi pernikahan, aqiqahan, dan khitanan. Mereka tentu tidak ada niatan memaksa orang untuk menyumbang. Masyarakat kita saja yang kadang reseh, kakean reken, menilai atau menyimpulkan tanpa data bahwa orang yang tidak menyumbang itu pasti pelit, medit, ngirit.
Banyak orang yang egois, mereka berpikir seperti dirinya. Dipikirnya orang lain punya keluasan ekonomi yang sama seperti dirinya. Bongkeng pernah kecewa saat dipaksa urunan menyumbang secara kolektif untuk pernikahan seorang teman. Padahal saat itu dia benar-benar kere total. Sudah hampir sebulan dia tidak membelikan susu anaknya yang masih kecil, cuman dikasih teh. Uasuwok.
Orang itu banyak macamnya. Ada yang gajinya lumayan tapi kere, karena harus menghidupi banyak anak dan hutangnya dimana-mana. Ada yang gajinya kecil tapi ekonominya oke-oke saja karena numpang orang tua, kendaraan tinggal makai, rumah tinggal nempati, atau dia masih jomblo. Digaji berapapun jomblo itu kaya raya, cuman tuna asmara.
Budaya kadang tidak bisa berdiri sejajar secara presisi dengan agama. Dan orang tidak berdaya untuk melawan itu. Jangankan melawan, membicarakannya saja sungkan, ora ilok, tabu bicara soal uang.
Manusia seperti Bongkeng banyak di mana-mana. Mereka sebenarnya 'marah', tapi tidak berdaya dan meng-iya-an begitu saja aturan tidak tertulis itu. Sebagai orang Jawa, Bongkeng harus pandai 'menyamar'. Harus bisa 'mikul duwur mendem jeruh'. Mampu menutupi kekurangan diri (kemiskinanya) sedalam-dalamnya dan menampakan kebaikan dirinya setinggi mungkin. Kere tapi tidak mengasihani diri sendiri. Biar kere asal gagah.
Well, begitulah kisah Bongkeng dengan perjuangannya yang tidak akan pernah dimenangkannya. Karena kebenaran adalah kesepakatan. Sekali disepakati, setelah itu wajib ditaati, walaupun dari segi agama itu nggak wajib diyakini. Yang penting pandai-pandai saja menempatkan diri.
Dan semoga perayaan hari istimewa keluarga kita tidak jadi 'petaka' bagi orang-orang seperti Bongkeng. Kecuali kita berani menuliskan "tidak menerima sumbangan" di kertas undangan. Berani?
-Robbi Gandamana-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H