Ini kisah seorang teman yang berkisah tentang temannya yang punya teman.
Bongkeng, seorang buruh pabrik kacangan pinggiran kota kecil. Kecil gaji yang didapatnya hanya cukup untuk makan dirinya, seorang istri dan anak lima. Lima belas tahun tinggal di sebuah rumah tipe dua satu yang atapnya bocor segala penjuru angin. Angin duduk, angin selonjor, angin senden dan angin yang lain adalah kawan karib bagi Bongkeng Family.
Hari-hari hidupnya dijalani  dengan 'day by day'alias pas-pasan. Pas-pasan gaji yang didapat pun masih nggak cukup untuk makan. Makan tiga kali sehari bagi Bongkeng adalah kemewahan. Kemewahan seorang buruh rendahan yang tetap bisa bahagia dan menolak putus asa. Putus asa hanya untuk pecundang, katanya.
Oh iya, Bongkeng itu nama masa remajanya. Nama kebesaran masa lalu saat masih aktif di jamaah tawuran syariah. Nama aslinya sebenarnya Bongky Sugendon. Dijuluki Bongkeng karena otaknya agak bongkeng alias somplak. Tapi meskipun begitu dia baik, jujur, setia kawan dan...suka makan laler ijo.
Bongkeng adalah tipe manusia eceran. Karena mampunya hanya membeli produk yang  eceran--> sabun eceran, shampo sachetan, pulsa lima ribuan, rokok ketengan, beli beras pun tidak pernah lebih dari dua kiloan. Dia tidak pernah mampu beli produk yang sifatnya paketan apalagi grosiran.
Kehidupan ekonominya senin kemis, tirakat all the time. Berhutang sudah mendarah daging di dalam kehidupannya. Makanya resolusi tahun barunya di tahun 2018 ini sederhana: bebas dari hutang. Resolusi yang singkat, padat, dan....salah. Itu karena Bongkeng tahu diri. Dia memahami dosisnya. Bukan kayak anak yang nilai ujiannya jeblok tapi minta dibelikan motor.
Bulan besar adalah 'bulan petaka' bagi buruh rendahan seperti Bongkeng. Di bulan-bulan itu banyak sekali acara pernikahan yang tentu juga banyak yang harus disumbang. Apesnya di dunia kerja nggak ada tunjangan resepsi. Ada uang atau tidak ada uang harus nyumbang. Padahal dirinya lebih layak di posisi yang disumbang (karena masuk nominasi Kere of the Year).
Sumbangan seperti itu harusnya sukarela, tidak ada paksaan untuk melakukannya. Tapi dalam soal ini, orang seperti Bongkeng 'dipaksa' harus menyumbang, ada atau tidak ada uang. Â Maka jangan heran kalau ada orang yang datang kondangan bawah amplop tapi isinya kosong melompong. Ada yang tidak datang karena malu tidak bisa menyumbang, kalau datang takut dituduh sebagai pemilik amplop kosong tadi. Dan Bongkeng lebih banyak melakukan yang kedua. Terpaksa.
Soal sumbang-menyumbang ini cukup membuat Bongkeng mumet ndase. Walaupun dia ndlahom tapi masih sedikit paham agama. Baginya, menyumbang itu memberikan uang atau barang pada orang yang miskin atau yang sedang dilanda bencana. Tapi apa yang terjadi sekarang sungguh jauh berbeda. Mereka menyumbang pada orang yang mampu secara finansial.
Salah kaprah sudah mendarah daging. Di acara resepsi, orang menyumbang tidak dari hati, tapi demi kebutuhan gengsi. Dan ternyata menyumbang berbeda jauh dengan menyedekahi. Sedekah itu soal hati, sedangkan menyumbang itu soal harga diri. Akhirnya banyak dari mereka yang hidupnya pas-pasan memaksakan diri menyumbang.
Bongkeng adalah salah satu dari jutaan orang yang  jadi 'korban' dari keambiguan budaya sumbang-menyumbang di acara resepsi pernikahan, aqiqahan, dan khitanan. Orang merayakan sesuatu itu khan karena punya keluasan ekonomi. Lha kok malah disumbang? Mungking uang lebih praktis daripada kado, tapi tetap itu bukan perkara wajib.