Mohon tunggu...
Robbi Gandamana
Robbi Gandamana Mohon Tunggu... Ilustrator - Ilustrator

Facebook : https://www.facebook.com/robbi.belumfull -------- IG : https://www.instagram.com/robbigandamana/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Antara Basuki, Pengapling Surga, dan Check Sound Terompet

2 Desember 2016   10:00 Diperbarui: 2 Desember 2016   16:43 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ingat urut-urutan level keimanan : syariat, thariqat, hakikat dan makrifat. Kebanyakan kita ini masih taraf syariat. Jadi kalau lihat kyai yang seperti melenceng dari fiqih, kita langsung rame-rame membully. Padahal fiqih itu semacam pagar, pagar yang membentengi umat agar tidak terperosok ke lembah maksiat. Seperti seorang guru TK yang mengajak muridnya ke pantai, untuk menjaga agar muridnya tidak hanyut tenggelam di laut, maka si guru memagari pantainya. Pagar itu lah yang disebut fiqih.

Padahal dalam hidup sebenarnya kita perlu juga sekali-kali 'tenggelam' dan 'hanyut'. Karena pendewasaan diri terbentuk dari hal-hal seperti itu. Dan kyai sangat sangat paham itu. Kita yang masih taraf syariat ini belum nyampai ilmunya.

Jadi nggak usah reseh kalau ada Kyai yang shalat di gereja dan atau lainnya. Itu urusan pribadi dia dengan Tuhannya. Yang salah itu yang mengaplot dan ngeshare di medsos. Dibaca oleh kaum awam yg terbiasa dgn ilmu syariat dan terbiasa berguru pada ulama syariat pula. Akhirnya gaduh lah suasana, kyai pun dimaki, dibully oleh anak ingusan yang ilmu agamanya masih level PAUD.

Syekh Siti Jenar dihukum oleh Walisanga bukan karena sesat, tapi karena terlalu kenceng mengajarkan tasawuf pada umat yang syariatnya belum mateng. Bahaya, bisa membuat goyah imannya. Karena ilmu hakikat sebenarnya tidak bisa sembarangan diajarkan atau disebarkan pada umat. Harus bertahap, sedikit-sedikit dulu biar nggak kaget. Nek kaget iso semaput, opname nang rumah sakit.

Kalau ada umat yang suka bikin gaduh teriak "sesat!" itu diduga karena berhenti belajar. Ayat-ayat dihafal persis seperti aslinya, jika ada yang tak sama dengan hafalannya diteriaki "sesat!" "Jahanam!".

Tapi jujur, aku salut pada perjuangan mereka membela agama (katanya sih), sampek direwangi jalan kaki ke Monas. Banyak dari mereka yang masih anak-anak. Duh, Kak Seto kemungkinan nangis bombay sambil gulung-gulung.

Fanatik pada agama, berani mati demi ideologi itu keren. Tapi kalau model fanatik seperti banteng yang asal seruduk, itu bisa benjut jaya. Agama mengajarkan untuk tidak berlebih-lebihan. Puasa itu bagus, tapi kalau sakit dan memaksa diri berpuasa itu nggak bagus bahkan haram hukumnya. Haji itu bagus, tapi kalau sudah tuwek, ompong, rodok pikun jgn memaksa utk berhaji. Kalau nekad dan mati..Itu sama saja bunuh diri!

Apalagi buanyak orang yang mendadak ustadz, nyetatus di medsos dgn kata-kata yang sebenarnya hanya untuk diketahui oleh umat Islam saja jangan sampai terbaca oleh umat lain. Misal : "hanya agama Islam yang diterima di sisi-Nya. Agama yg lain masuk neraka!"

Kata-kata itu sebenarnya ada 'aurat'nya juga. Nggak semua kebenaran (yang kita anut) bisa kita suarakan di depan umum, terbaca oleh umat lain. Tentu saja itu bikin 'panas' umat lain. Akhirnya bibit permusuhan pun tumbuh. Coba saja jika temanmu yang Kristen menyanyi di depanmu : "Hanya Yesus yang sanggup menolongmu, Muhammad nggak sanggup..!". Kepalamu bakal keluar asap saking panasnya.

****

Bicara soal gubernur kafir (begitu julukan yang disematkan oleh kaum Nganu) yang kesandung kasus al maido tadi, memang harus hati-hati. Salah ngomong langsung dituding Anti Islam, munafik, liberal, sekuler..oala ampun boss.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun