PENDAHULUAN
Pada awal tahun 2022 Presiden Joko Widodo mengeluarkan kebijakan larangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan sebagian produk turunannya. Hal ini dilakukan dalam rangka untuk mengatasi permasalahan kelangkaan minyak goreng di pasaran yang melanda Indonesia setelah Tahun baru 2022. Kebijakan itu bukan tanpa efek samping, justru akan menimbulkan masalah baru yang hasil akhirnya justru akan merusak rantai pasok atau Suppy Chain industri sawit, utamanya pada sektor Hulu.
Salah satu permasalahan yang timbul akibat pelarangan adalah penumpukan produksi Tandan Buah Segar (TBS) dari produksi petani sawit. Bila terlalu lama disimpan tentu kualitas dari sawit tersebut akan menurun serta lama kelamaan juga akan busuk. Tentu saja hal ini sangat tidak diinginkan oleh petani sawit. Karena tidak dapat menjual hasil perkebunannya yang ujung ujungnya pasti akan merugi.
Dengan kondisi ketidakstabilan Crude Palm Oil baik di Indonesia dengan kelangkaan Minyak goring, dan didunia dengan larangan Ekspor Crude palm Oil produk Indonesia menimbulkan pergejolakan serta aksi protes dari negara-negara yang langganan Ekspor produk Crude Palm Oil dari Indonesia. Ditambah dengan memanasnya Konflik yang dilancarkan Rusia terhadap Ukraina juga menambah rusaknya Supply Chain dari Crude Palm oil ini.
Dengan ditutupnya kran Ekspor oleh pemerintah Indonesia, dengan Indonesia adalah negara Pengekspor Crude Palm Oil terbesar di Dunia tentu saja sangat berdampak dengan banyak negara di dunia. Salah satunya negara India yang melayangkan Protes Terhadap larangan Ekspor Crude Palm Oil kepada pemerintah Indonesia.Â
Konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina membuat berbagai harga komoditas melambung naik. Maka dari itu banyak negara yang segara mencari Sumber daya sebanyak banyaknya mengantisipasi peperangan yang lebih besar.
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Pada studi kasus Pelarangan Ekspor Crude Palm Oil pada awal tahun 2022 oleh Pemerintah Indonesia dimaksudkan agar pengusaha memenuhi kewajibannya, yaitu memenuhi DMO atau Domestic Market Obligation sebesar 20%. Yang artinya perusahaan yang bergelut dibidang produksi dari produk turunan sawit diharuskan memenuhi kebutuhan pasar domestic sebesar 20% dari total produksinya sendiri. Tentu hal ini sangat memberatkan. Dikarenakan harga jual Crude Palm Oil  untuk pasar domestik harganya sangat murah.
Sedangkan untuk Ekspor harga mengikuti kurs US Dollar yang mana pengusaha akan sangat banyak meraup keuntungan, tentu pengusaha akan lebih memprioritaskan keuntungan yang lebih berlipat disbanding memenuhi kebutuhan atau kewajiban Domestic Market Obligation atau DMO tersebut karena pengusaha memiliki konsep Profit Oriented atau lebih mementingkan Keuntungan bagi perusahaan.Â
Pada kasus pelarangan Ekspor ini perusahaan tidak terlalu mengalami kerugian, namun yang paling berdampak adalah petani sawit. Harga jual sawit anjlok yang tadinya Rp2.000 – Rp2.500 per KG sampai anjlok ke angka Rp1.000 Per Kg, hal ini semakin diperparah dengan perusahaan mengurangi serapan TBS dari petani sawit. Jadilah yang paling terdampak adalah petani sawit.
Terkait Konflik yang berlangsung di Ukraina akibat invasi Rusia membuat banyak negara mencari alternatif ekspor untuk memenuhi kebutuhan Sumber Energi yang mereka butuhkan. Pada kondisi seperti ini seharusnya Indonesia bisa hadir dengan segala sumber daya alam yang dimiliki untuk diekspor demi mendapatkan devisa yang besar.Â