“Pesta Demokrasi” telah dilaksanakan, begitu riuh rasanya saat melewatinya, seakan berjalan di tengah kerumunan orang berkantong tebal yang menjual dirinya. Ya, itulah pesta. Pesta Democrazy saya menyebutnya. Karena pada kenyataannya memang seperti itu. Izinkan saya menjelaskan situasi riuhnya pesta democrazy dari sebelum pemilu hingga setelah pemilu.
Hal pertama yang tercium oleh saya adalah adanya Pencitraan dan Penjatuhan tokoh politik. Dimulai dari pencitraan dan penjatuhan citra lewat media TV. Begitu terasa bukan? Begitu pula dengan pembohongan publik bahwa Partai mereka yang paling bersih, padahal merekalah juara korupsi. Ya, itu memang jelas kebohongan.
Jozef Goebbels, Menteri Propaganda Nazi di zaman Hitler, mengatakan: "Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang, akan membuat publik menjadi percaya."
Begitu jelas bukan? Kasus-kasus korupsi yang begitu hebat diberitakan menjelang pemilu adalah upaya penyerangan terhadap parpol yg terkait. Padahal kasus tersebut sama sekali belum terbukti, tapi pemberitaannya begitu riuh di media. Ditambah lagi dengan tidak seimbangnya sanksi korupsi dengan kerugian negara. Ini jelas penyerangan politik menjelang pemilu, yang akan menjadi “basi” setelah pesta demokrasi selesai.
Media yang seharusnya memberikan informasi bagi masyarakat diintervensi oleh kepentingan politik untuk kampanye. Begitu muak saya melihat TV. Terhitung lebih dari lima stasiun TV yang dimiliki oleh elit parpol untuk kampanye. Alhasil berita-berita yang disiarkan adalah dalam rangka pencitraan si elit parpol, dan tentu saja penjatuhan citra lawan politiknya. Setiap iklan kampanye, setiap berita kampanye. Ditambah adanya kuis bagi-bagi uang dari salah dua elit parpol pemilik stasiun TV. Ya, itulah Pesta Democrazy.
Ketika membuka internet, dijumpailah situs-situs berita online yang begitu memihak dan lagi-lagi berisi pencitraan dan penjatuhan parpol. Ditambah lagi adanya tentara cyber milih parpol yang tugasnya komentar makian dan cacian untuk lawan politik dan penyembahan mereka pada tokoh parpol. Bodohnya mereka komentar secara bersamaan, sehingga begitu kelihatan skenarionya. Hal-hal di atas adalah hiruk pikuk politik tanah air sebelum pemilu. Sekarang saya jabarkan ketika pemilu berlangsung.
Dimulai dari pagi hari, muncul berbagai serangan fajar. Mereka para elit parpol membagi-bagikan uang kepada masyarakat agar memilih mereka. Lucunya, semua itu direkam, difoto, dan diperlihatkan kepada masyarakat. Money politic yang hanya kisaran 10 rb ke atas telah membayar harga diri masyarakat untuk 5 tahun ke depan, begitu murah harga diri mereka dibayar. Padahal suara mereka menentukan nasib bangsa Indonesia 5 tahun ke depan.
Ketika pemilu dilaksanakan, ratusan surat suara ditemukan telah tercoblos ke salah satu partai. Ada apa ini? Inikah pestanya? Kecurangan surat suara menandakan tidak netralnya kaki tangan KPU. Ya, itulah Pesta Democrazy.
Lalu pasca pemilu, ketika penghitungan suara, lagi-lagi ada kecurangan. Terbukti oleh saya sendiri adanya pengerdilan suara dan penggelembungan suara. Ada partai yang harusnya 33 suara, ditulis oleh sekretaris KPPS menjadi 13 suara. Ada juga keanehan, suara yang sah 250, tapi di salah satu partai suaranya hingga 260an. Aneh bukan? Penggelembungan suara ini membuktikan adanya intervensi parpol ke dalam internal KPPS.
Oh negaraku, tanah air tercinta. Sampai kapan “pesta” seperti itu dipertahankan? Itulah democrazy, demokrasi bagi orang-orang yang gila harta dan kekuasaan. Benar itu pesta, pesta menginjak-injak harga diri masyarakat. Lalu apa yang kita lakukan? Sebagai generasi muda, kita harus terus berupaya membenahi demokrasi. Agar demokrasi tidak hanya dimiliki oleh orang-orang berduit dan berdasi. Agar demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H