Mohon tunggu...
Rob Januar
Rob Januar Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Sedang menikmati pagi senja kolong Jakarta...rock on!!!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lokalitas dalam Fenomena Bahasa "Walikan"

10 Juli 2009   00:45 Diperbarui: 20 April 2016   01:02 3276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

[caption id="attachment_78210" align="alignright" width="299" caption="Dok. Pribadi"][/caption] Bahasa adalah salah satu unsur budaya yang paling mudah berubah. Jika dalam bahasa Inggris terdapat istilah slank, istilah semacam prokem dan bahasa gaul juga akrab di telinga kita orang indonesia. Tak cuma bahasa Indonesia, bahasa-bahasa daerah juga mengalami fenomena perkembangan serupa. Salah satunya sering disebut bahasa walikan. Walikan adalah istilah dalam bahasa Jawa yang berakar kata walik, yang artinya balik. Secara sederhana, walikan bermakna bahasa yang dibalik. Yang umum terjadi di Indonesia, pembalikan terjadi sebatas satuan kata. Tidak ada metode pasti untuk membalik kata. Yang jelas, walikan digunakan antar teman dan sahabat untuk sekedar mempererat hubungan dan membangun sebuah identitas yang unik. Salah satu fenomena walikan yang terkenal adalah Lawikan Kera Ngalam (mohon pembetulan jika ada istilah yang resmi). Lawikan Kera Ngalam adalah bahasa prokem yang populer di masyarakat Malang Jawa Timur. Istilah Lawikan sendiri berasal dari kata walikan yang, lagi-lagi, dibalik pengucapannya. Pun halnya dengan Kera, yang aslinya arek, dan Ngalam untuk Malang. Entah sejak kapan fenomena lawikan di Malang muncul. Saya sendiri sejak kecil ( tahun 80-an) sudah sering mendengarnya dari ayah saya yang asli Malang. Istilah seperti kadit niam (tidak main, yang lebih kurang berarti tidak bermutu, garing) atau nakam (makan) akrab digunakan dalam komunikasi sehari-hari di rumah. Dari kancah persepakbolaan Indonesia, Aremania juga sering mendengung-dengungkan istilah Ongis Nade, penyebutan terbalik dari Singo Edan, julukan tim kesayangan mereka. Saat duduk di bangku SMU di Malang, saya baru mengetahui bahasa semacam itu digunakan secara ekstensif dalam bahasa pergaulan di kota ini. Walikan gaya Malang diperoleh dari kata yang dibaca dari belakang dengan penyesuaian pada kenyamanan pengucapan dan kewajaran bunyi yang dihasilkan. Karena mudahnya, paling tidak satu atau dua kata walikan digunakan dalam satu kalimat. Sampai-sampai, nama pun tak luput diwalik. Jadilah Trebor panggilan saya selama tiga tahun. Bahkan, teman saya Uyab (Bayu) dan Pandu (Undap) masih menyandang panggilan itu sampai detik ini. Beranjak ke bangku kuliah, saya menemukan hal serupa di Jogja. Dab untuk sapaan Mas, Dalat untuk mangan (makan), dan Lotse untuk ngombe (minum) adalah beberapa kosa kata baru bin aneh untuk saya dan banyak pendatang baru lainnya. Usut punya usut, itu adalah bahasa walikan gaya Jogja yang sering muncul dalam percakapan sehari-hari. Setelah tanya sana sini, saya jadi tahu orang Jogja punya teori khusus dalam membolak-balik kata. Teori? Apa ini gara-gara sebutannya sebagai kota pelajar ya? Kesimpulan lebih ilmiahnya bahasa walikan gaya Jogja saya dapatkan dari metode inti dalam membalik kata. Kalau walikan gaya Malang cukup membalik kata dari belakang ke depan, walikan Jogja didasarkan pada urutan aksara Jawa. Caranya, dua puluh abjad Jawa dibagi dua lalu tiap huruf yang berhadapan saling ditukarkan. Berikut sedikit ilustrasinya, Ha    Na   Ca   Ra   Ka   Da   Ta   Sa    Wa     La Pa   Dha   Ja    Ya  Nya  Ma  Ga   Ba    Tha   Nga Contoh Penggunaan: Mangan = DaLaDh ? Dalat Ngombe = LoDSe ? Lotse Seperti walikan gaya Malang, walikan Jogja juga mengutamakan kenyaman pengucapan dan kesederhanaan bunyi. Huruf vokal biasanya mengikuti aslinya, namun kadang berubah agar lebih enak diucapkan. Sedikit rumit memang, namun dengan pola yang lebih pasti, orang yang hafal pembagian abjad jawa seperti diatas bisa lebih mudah merunut dan memahami walikan gaya Jogja. Jika pernah jalan-jalan ke Jogja, anda tentu tahu, atau paling tidak pernah mendengar salah satu merk suvenir terkenal asli kota Gudeg ini. Merk yang terkenal dengan permainan kata kocak yang ditulis di kaos oblong itu pun sejatinya sebuah kata walikan gaya Jogja. Mau tau kata aslinya? Monggo anda cek sendiri. Selamat menikmati akhir pekan...!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun