[caption id="attachment_101753" align="alignleft" width="298" caption="Klitikan (Kompas/Lukas Adi Prasetya)"][/caption] Gara-gara baca (lagi) laporan mas Fathoni Arif tentang Bromo saya jadi ingat Klitikan. Lho? Iya, dulu awal-awal kuliah di Jogja, saya sempat diajak maen ke Pasar Senthir (pasar loak satu lagi yang ada di Jogja, entah masih ada nggak) dan dapet jaket flanel tebal dan sepasang sepatu kanvas dengan harga ga sampe 40 ribu. Nah, jaket dan sepatu itulah yang ga sengaja saya kencingin sendiri gara-gara tangan saya kedinginan sampe mati rasa waktu turing Malang-Nongkojajar-Bromo...hahaha. Trus di mana Klitikannya?
Dulu sih di Jalan Mangkubumi, perempatan Tugu yang lurus ke arah stasiun...sekarang katanya pindah ke Kuncen!
Hehehe...ndak, jadi ceritanya setelah pengalaman dapet barang murah di Pasar Senthir, saya jadi ketagihan klitih di pasar-pasar loak semacam itu. Kalo yang belum pernah ke Klitikan, coba bayangkan saja pasar malam yang biasanya di gelar saat 17 agustusan. Bedanya, di Klitikan ga ada yang jual balon, kapal klothok (kapal-kapalan dari seng yang bisa renang muter-muter di dalam baskom) ato kembang gula yang biasanya berwarna jambon itu. Kalo mau beli oleh-oleh, paling banter ada rante kamrat, shock breaker...mentok, mur baut...hahaha!! Lalu apa menariknya? Kalau dulu...banyak yang menarik buat saya. Salah satunya...kejutan! Ya, saya sering lihat barang-barang menarik yang nggak pernah saya bayangkan sebelumnya ada dijual di sini. Barang-barang itu bisa saja benda koleksi, klasik, atau langka dan harganya...muraaaahhh! (Tapi dulu lho ya, bangsa 2-3 tahun lalu...ga tau sekarang) Mau bukti? Anda pernah denger canteen? Itu sebutan botol plus mug aluminium yang biasanya dibawa tentara. Saya pernah dapat, dan masih saya simpan, 1 set dengan harga, kalo ga salah 20 ribu. Istimewanya, di sisi bawah botol tertulis ini...US Army 1944...cukup klasik kan? Tak cuma barang klasik dan langka, tapi barang "nyeleh" pun banyak. Pernah satu kali seorang teman ujug-ujug muncul di kos saya sambil ketawa-ketiwi sendiri.
"Gek Ngopi, Nyuk?" Sapanya. "Ra ngopi-ngopi, Leng...gek ngeteh, wae!" Sambil mempersilakannya masuk. "Nyuk, aku bar ko Kliti'an...entuk iki....hahahaha! Tawanya berubah jadi "ala buta" "Bwahaha...jigur..giede tenan, Leng!" umpat saya keheranan "Ho'o, mau ndelok2 kok wangun...sing adol kanda ngene, 'wis mangewu wae mas, nggo penglaris...meh kukutan'...yowis, tak sikat wae!" "Jal uripke, Leng!" Minta saya, "(crek..crek...mak plekenyik)....Wahahahasnu...kok mung sak tumil ngono!!!! ra eksis ro ukurane wahahahaha"
Ceritanya, dia membawa sebuah pematik. Bentuk biasa, seperti pematik merk impor yang ada bunyinya"Mak thiiing" itu. Yang tidak biasa itu ukurannya, guedhe banget!!! Tingginya sekitar 15cm, lebar 8cm, dan tebal 2cm...bisa bayangin kan? Parahnya giliran dinyalakan. Karena sumbunya tetap menggunakan ukuran pematik standar, selain susah nyala karena besarnya roda pematik memperlebar jaraknya dari batu api, api yang dihasilkan terlihat kecil dibandingkan ukurannya. Tapi semua kekurangan itu tidak mematahkan eforianya "menemukan Jippo Jowo" yang mungkin tidak ada duanya di Jogja waktu itu. Toh, waktu itu tujuan dia bukan beli korek di Klitikan...tapi klitih dapat oleh-oleh korek! Kembali ke Klitikan, tak jelas kapan pertama kali muncul, masyarakat Yogyakarta mulai akrab dengan istilah Pasar Klithikan mulai era  60-an. Klitikan awalnya merupakan tempat perdagangan barang bekas atau loakan. Sering pula disebut Pasar Maling karena, sekali lagi katanya, sebagian barang yang dijual merupakan barang curian. Menurut beberapa sumber, kata 'Klitikan' berasal dari bahasa Jawa 'Klitih' yang artinya melakukan aktivitas yang tidak jelas secara santai, namun bisa mendatangkan untung. Ada juga pendapat yang mengatakan nama itu berasal dari bunyi "klitik" dari barang-barang logam berukuran kecil, macam mur baut, yang memang banyak dijual di sini. Kedua pendapat itu mungkin ada benarnya ketika melihat beberapa hal lucu bisa ditemukan di sini. Jika teliti, pengunjung mudah menemukan hal yang mencengangkan sekaligus menggelikan. Bayangkan jika seorang dalam waktu 5-6 jam menunggui dagangan yang tak lebih dari sepasang spion bekas, 2 arloji butut, dan beberapa persneleng motor usang. Tapi, memang itulah salah satu keunikan Klitikan. Pasar loak semacam Klitikan muncul dan berkembang di seantero Jogja. Yang jadi yang paling terkenal karena letaknya yang terlihat jelas di perempatan Tugu Jalan Mangkubumi. Beberapa pasar loak lainya yaitu Pasar Sentir yang dulu berada di Jalan Mataram sekitar toko Progo, Shopping yang khusus menjual buku bekas, daerah Gondowulung hingga perempatan Jejeran di jalan Imogiri untuk onderdil otomotif. Belum lagi pasar-pasar sepeda yang identik sebagai tempat jualan sepeda tua dan bekas. Hingga isu rencana Pasar Klitikan dipindah ke daerah Kuncen berhembus, pasar loak satu ini tumbuh menjadi salah satu ikon budaya dan kerakyatan kota Jogja. Sebelum dijejali oleh pedagang baju dan onderdil baru, Klitikan jadi semacam referensi harga bagi kalangan menengah kebawah. Satu hal yang masih mengherankan untuk saya sampai sekarang, bagaimanapun padatnya pengunjung pasar ini, sepengetahuan saya, tidak pernah sampai menimbulkan kemacetan di perempatan tugu maupun jalan Mangkubumi yang hampir selalu ramai. Kok bisa ya....??? Artikel menarik tentang Klitikan: Klitikan: Telaten, Untung-untungan, dan Kepuasan Diri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H