Pertama-tama aku mau menjelaskan jika artikel ini bukanlah sebuah review film/movie. Di artikel ini, aku lebih menekankan efek atau dampak pasca menonton kedua film bagiku sendiri. Bagaimana point of view ku dan perasaanku selepas menonton film ini. Tentu saja, AKU BUKAN KRITIKUS FILM. Ini hanyalah opini seorang awam.
Film yang akan kubahas adalah Marriage Story dan In The Mood For Love.
Jika ada teman-teman yang belum pernah nonton kedua film ini, sebaiknya nonton dulu aja. Film nya bagus kok. Memang lebih ke art, daripada komersil. Lebih butuh ekstra tenaga buat nonton. Kalau pecinta film buatan art house, pasti suka. Jadi tonton dulu, biar nyambung pembahasannya.
Sebenarnya aku udah tahu mengenai film ini sejak beberapa tahun yang lalu. Sayangnya, baru sekarang kesampaian nonton kedua film pada tahun ini. Dan ternyata AKU SESUKA ITU sama filmnya.
Untuk  film Marriage Story, aku nonton sekali aja. Bersimpati kepada pasutri  tersebut, khususnya karakter scarjo (Scarlet Johnson, maaf jika tipo menulis nama). Tapi akting nya Adam Driver juga bagus. Dan itu buat aku mewek di akhir. Film ini membuatku sadar betapa besarnya rasa cinta kepada pasangan. Seringkali rasa cinta itu lebih besar dari rasa cinta kepada diri sendiri. Dan itu masalahnya. Sebagai seorang wanita karir , aku tahu benar perasaan scarjo yang ingin berkembang atas dirinya. Bukan semata-mata, ibu dari seorang anak atau istri dari seorang suami. Diakui kemampuannya atas usahanya sendiri. Yang menjadi masalah adalah suami yang tidak mengakui atau memberikan kesempatan kepada istri untuk berkembang dan si istri memendam itu semua sendirian. Hanya tinggal menunggu waktu untuk BUM, meledak. Memang,  pengabaian seringkali jadi masalah dalam suatu hubungan. Dan ketika pengabaian sering terjadi, berkuranglah rasa untuk memahami dan datanglah percekcokan. Film ini memperlihatkan jika tak cukup hanya cinta dalam membangun dan mempertahankan rumah tangga.
Sedangkan film In The Mood For Love kutonton sebanyak 3 kali. Film ini berhasil membuatku gemes dan mangkel tak berlawan. Sekaligus takjub dengan pengambilan gambar di film ini. Terlepas dari unsur male gaze pada film ini, gambar dari scene film begitu cantik, apik, dan stylish. Warna merah mendominasi yang menurutku melambangkan gelora cinta sekaligus kemarahan. Gelora cinta yang timbul dari kedua pasangan kesayangan aku (Maggie dan Tony Leung) sekaligus kemarahan mereka kepada pengkhianatan yang dilakukan pasangan resmi mereka. Tapi seperti judulnya, rasa cinta yang tak terucapkan lebih mendominasi. Sebagai penonton yang sudah 3 kali menonton, gambar dan gesture pemain jauh lebih membangkitkan rasa atau emosi daripada dialognya. Memang film ini minim dialog. Tapi, ah su dahlah , film ini bagus. Film ini mengajarkan untuk MENGHAJAR PASANGAN YANG BERKHIANAT DAN MENCERAIKANNYA DEMI CINTA YANG LEBIH BAIK. Beuhh... segitu kesel nya aku  tuch dibuatnya. Tapi aku sadar realita jauh lebih menyakitkan daripada angan. Dan film ini terasa begitu real.
Kedua film ini begitu dekat dengan realita. Kita bisa saja menjadi salah satunya. Dan disaat kita berada di posisi salah satunya, apa yang akan kita lakukan ?
Entahlah.... tapi rasanya ingin mendekap pasangan jauh lebih erat lagi.
Bagaimana dengan kalian ?
My Dear,
Kompasiana Diary.