Mohon tunggu...
Prasetya Marisa
Prasetya Marisa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pekerja , Pembelajar, dan Penulis Buku Diari.

Mencintai apa yang bisa dicintai. Hidup untuk masa lalu, masa kini, dan masa depan. Tidak memiliki apapun termasuk diri sendiri. Mengejar kesempurnaan walau tak pernah sempurna. Selalu ada cela. Noda.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Menyikapi Kenikmatan dan Kepedihan

25 Maret 2015   03:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:05 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1427228015718865747

Kehidupan layaknya sebuah perjalanan. Layaknya sedang berpergian, dalam kehidupan kita bisa menemukan berbagai macam peristiwa baik yang terjadi pada orang lain maupun yang dialami oleh diri sendiri. Entah itu senang, maupun sedih. Anugrah ataupun musibah. Kenikmatan atau kepedihan. Uniknya, setiap orang memiliki cara tersendiri dalam menyikapi setiap peristiwa yang datang dalam kehidupannya, baik yang berupa kenikmatan maupun dalam bentuk kepedihan. Misalnya saja, tatkala kita menjumpai ada orang yang meratapi kesedihan, membelenggukan dirinya kepada kepedihan yang tak berujung. Sebaliknya, kita juga melihat seseorang yang mendapatkan kepedihan yang sama besarnya dengan orang sebelumnya, tetapi menjadikan sholat dan sabar sebagai penolongnya. Berusaha untuk tegar seraya memohon pertolongan kepada Rabbnya. Brgitu juga dengan kenikmatan. Ada yang menyikapi kenikmatanyang Allah berikan kepadanya dengan cara menyalurkan kepada sesuatu yang sia – sia bahkan sesuatu yang mendatangkan kemurkaan Allah swt. Tetapi ada juga yang menghadapi kenikmatan itu dengan rasa syukur serta rasa was – was agar tak terlena dengan kenikmatan tersebut sehingga melupakan Allah swt.

Bagaimana seseorang menyikapi setiap kenikmatan dan kepedihan yang datang silih berganti dalam kehidupannya, tergantung seberapa besar pemahaman orang tersebut mengenai hakikat kehidupan didunia. Apabila ia menganggap kehidupan itu hanyalah kehidupan di dunia ini saja, maka ia akan merasa bebas dalam menyikapi kenikmatan dan kepedihan yang ia rasakan. Yang tentu saja akan sangat berbeda jauh dengan seseorang yang memandang kehidupan di dunia ini hanyalah sebentar saja. Dimana dirinya menyakini adanya kehidupan yang jauh lebih utama dari kehidupan di dunia ini, yaitu : Kampung Akhirat. Tempat berpulangnya semua manusia dalam rangka mempertanggung jawabkan segala perbuatan yang telah ia lakukan di dunia dihadapan Allah swt. Sehingga dalam menyikapi setiap kenikmatan dan kesedihan yang datang, orang tersebut senantiasa berhati – hati dalam merespon hal tersebut.


Sebagai seseorang muslim, kita mengetahui jika setiap segala sesuatu yang datang ke dalam kehidupan kita, semuanya berasal dari Allah swt. Baik dalam bentuk kenikmatan dan kepedihan. Untuk kepedihan, bukannya Allah berfirman dalam surah Al Balad ayat 4 dan Surah Al Baqarah ayat 155:

“Sesungguhnya, kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.”(Q.S 90; 4)

“Dan kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah – buahan. Dan sampaikanlah hal gembira kepada orang – orang yang bersabar.” (Q.S 2; 155)

Ayat – ayat ini menjelaskan jika kepedihan, kesusahan, dan penderitaan adalah bagian dari kehidupan itu sendiri. Bukankah kita sendiri lahir dan tumbuh besar ke dunia dari susah payahnya seorang ibu dalam mengandung, melahirkan, dan merawat kita ? Ini adalah contoh nyata bagaimana seorang ibu menyikapi penderitaan, kepedihan dan kesusahannya. Sebagai seorang muslim sudah seharusnya mengutamakan sabar dan shalat dalam menghadapi kepedihan yang datang kepada kita seraya melakukan intropeksi diri atas perbuatan – perbuatan yang sudah kita lakukan.Hal ini sesuai dengan firman Allah yang terdapat pada Al –Qur’an di surah Al Baqarah ayat 153yang menerangkan bagaimana sikap seorang muslim dalam menghadapi kepedihan dalam hidupnya :

“Wahai orang - orang yang beriman ! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sungguh, Allah beserta orang – orang yang sabar.” (Q.S 2;153)

Sekarang tinggalah 1 pertanyaan, bagaimana seharusnya sikap seseorang dalam mendapatkan kenikmatan ? Sesungguhnya kehidupan akhirat jauh lebih baik daripada kehidupan dunia, termasuk dalam hal kenikmatan. Maka dari itu, Allah memerintahkan kita untuk berlomba lomba dalam mencari kebaikan. Pada kenyataannya, seringkali kita menjumpai 2 kondisi ekstrim. Sering kita temui, orang yang sangat mencintai dunia dan takut mati, sibuk dengan mencari harta kekayaan dan kekuasaan tanpa sempat mencari bekal untuk kehidupan akhirat. Sebaliknya, kita juga sering menjumpai, ada orang yang sangat tekun beribadah tetapi sayangnya ia lalai dalam membina hubungan dengan manusia lainnya bahkan tak jarang lalai dalam menghidupi keluarganya. Kembali merujuk kepada Al – Qur’an pada surah Al Qasas ayat 77 :

“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. 28 :77)

Pada ayat ini menerangkan jika Allah memerintahkan kita untuk mencari apa yang dianugrahkan Allah untuk menggapai kebahagiaan di negeri akhirat. Jadikan kenikmatan yang kita dapatkan, entah berupa kekayaan, kekuasaan, atau apapun yang berguna untuk manusia untuk menggapai keridhaan Allah swt. Selain itu, manusia diminta untuk tidak melupakan bagian dari kenikmatan di dunia. Kenikmatan dunia itu tak lain adalah sesuatu yang halal. Bersemangatlah dalam mencari kenikmatan yang halal dan gunakanlah sekedar untuk mencukupi penghidupan dan sesuai porsinya. Dan jangan lupa untuk senantiasa bersyukur atas kenikmatan yang Allah berikan seraya waspada agar diri tak terlena dengan kenikmatan sehingga lupa pada Allah swt.

Kenikmatandan kepedihan yang datang dalam kehidupan senantiasa membawa pelajaran ataupun hikmah bagi yang mengalaminya. Tiada satupun orang yang tahu apakah kenikmatan yang datang itu merupakan suatu anugrah atau musibah bagi dirinya. Dan juga sebaliknya, tiada satupun orang yang tahu apakah kepedihan yang dirasakan merupakan anugrah atau musibah bagi dirinya. Sudah seharusnya kita mengembalikan semua yang terjadi kepada yang Maha Memiliki Kehidupan kita, Allah swt.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun