Jepang terkenal sebagai negara yang sangat ketat dalam aturannya. Hal ini memang sepertinya sudah tertanam dalam budaya mereka ("万が一", baca : man-ga-ichi) yang artinya secara harfiah adalah sepersepuluh ribu. Maksudnya adalah, suatu persiapan harus disiapkan secara matang. Sekecil apapun kemungkinan munculnya masalah, dalam hal ini sepersepuluh ribu, harus disiapkan solusinya. Hal ini ternyata juga diterapkan dalam regulasi alat kesehatan (alkes) dan obat-obatan di Jepang.
Jepang menjalankan regulasi alkes melaluiPharmaceuticals and Medical Devices Agency(PMDA). Seluruh perusahaan yang berurusan dengan alat-alat kesehatan yang akan dipakai di dalam Jepang, harus mendapatkan izin beroperasi (dalam bahasa Jepang diesbut許可, baca : kyoka) dari PMDA. Sampai tahap ini, prosesnya tidak terlalu sulit. Ini dikarenakan izin ini hanya untuk membuktikan bahwa si perusahaan ini mampu beroperasi sesuai tujuannya. Tahap berikutnya adalah proses izin atas alat yang akan diproduksi atau dijual (dalam bahasa Jepang disebut承認, baca : syo-nin). Di sinilah "tembok" terbesar bagi perusahaan alat-alat kesehatan di seluruh dunia. Ia harus bisa membuktikan bahwa alatnya memenuhi berbagai kriteria. Di Jepang, kriteria secara umum diatur dalam undang-undang alat kesehatan dan obat-obatan (dalam bahasa Jepang disebut薬事法, baca : yakujiho-). Yang perlu diperhatikan, karena "kriteria" ini diatur oleh undang-undang di Jepang, artinya kriteria ini hanya berlaku di Jepang. Di Amerika misalnya, regulasi alkes diawasi olehFood and Drug Administration(FDA).
Karena budaya keterhati-hatian tadi, Jepang terkenal sebagai negara yang paling sulit dalam menyelesaikan proses registrasi suatu alkes. Menurut catatan, satu alat alkes membutuhkan waktu registrasi rata-rata 20 bulan. Bandingkan dengan di Amerika, yang "hanya" membutuhkan waktu 14-15 bulan. Di Jepang, selisih 5-6 bulan ini dikenal dengan istilahdevice lag. Bagi para pengembang teknologi,devicelagini menjadi salah satu alasan utama penghambat perkembangan teknologi medis di Jepang. Ini juga yang memaksa perusahaan-perusahaan medis jepang untuk "keluar" dari bisnis alkes. Pemerintah Jepang dinilai gagal memberikan iklim yang sehat untuk bisa mengembangkan teknologi medis. Hingga saat ini, Jepang yang terkenal dengan teknologinya, ternyata masih "terjajah" di dunia medis. Dari sekian banyak jenis alkes, hanya Olympus (Tokyo, Japan) yang berhasil menguasai dunia melalui endoskopinya. Dilihat dari nilai penjualan, di antara 25 perusahaan tertinggi di dunia, Jepang hanya mengirimkan 3 perusahaannya, yaitu : Toshiba (no. 16), Olympus (no.18), dan Terumo (no. 24). Amerika jauh memimpin dengan total 15 perusahaan, 2 perusahaan teratas, yaitu Johnson & Johnson(JnJ) dan General Electric (GE).
Banyak ide-ide baru di teknologi medis yang muncul dari Jepang, tapi akhirnya kandas ketika berhadapan dengan "tembok" regulasi. Tidak sedikit yang akhirnya mencoba ke Eropa atau bahkan Amerika untuk mendapatkan izin di sana terlebih dahulu dan memulai bisnisnya di sana. Setelah berhasil menunjukan hasilnya di lapangan, baru mereka mencoba untuk "pulang kampung" ke Jepang. Cara ini juga menjadi strategi para perusahaan jepang untuk bisa memperoleh izin untuk alkesnya dalam tempo yang lebih cepat. Menurut cerita dari para pelaku pengembang teknologi, PMDA bisa mengeluarkan izin lebih cepat jika ada bukti nyata di “lapangan”.
Menurut undang-undang di Jepang saat ini, alkes dibagi menjadi 4 kelas. Pembagiannya dilakukan berdasarkan dampak yang muncul terhadap manusia jika terjadi kerusakan pada alkes tersebut. Kelas 1, kelas terendah, adalah alkes yang dampaknya kecil ke tubuh manusia, contohnya stetoskop. Kelas 2, adalah alkes dengan kemungkinan rendah dalam hal membahayakan nyawa, contohnya MRI, CT-Scan, dsb. Kelas 3, adalah alkes yang bisa memberikan dampak besar pada tubuh manusia, contohnya kontak lens. Yang terakhir, kelas 4, alkes yang bisa berpengaruh terhadap nyawa manusia, contohnya katup jantung buatan. Dalam proses pendaftaran suatu alkes, ia harus disertai dengan dokumen bukti uji kelayakan. Terlebih untuk alkes kelas 3 dan 4, proses uji kelayakannya hanya boleh dilakukan oleh PMDA saja. Inilah salah satu penyebab utama lambatnya proses pendaftaran alkes di Jepang. Dampak lebih jauhnya, rumah sakit di Jepang “dipaksa” pemerintah untuk membeli alkes dari luar negeri karena izin untuk alkes dalam negeri tidak kunjung keluar. Hal ini mengakibatkan tingginya biaya pengobatan di Jepang. Padahal, menurut undang-undang kesehatan penduduk (dalam bahasa Jepang国民健康保険法, baca : kokumin kenko- hoken ho-), secara umum 70% biaya pengobatan ditanggung pemerintah, yang berarti dana pajak. Berarti, secara tidak langsung undang-undang alkes di Jepang saat ini mengharuskan Jepang untuk mengeluarkan uangnya untuk negara lain melalui alkes.
Dalam kondisi Jepang seperti ini, PM Shinzo Abe ingin melakukan perubahan. Ia bersama kabinetnya sedang merancang revisi undang-undang mengenai alkes ini. Tujuannya, tidak lain untuk meningkatkan daya saing perusahaan-perusahaan jepang di bidang medis melalui inovasi-inovasi. Caranya adalah dengan “mempermudah” urusan perizinan alkes di Jepang. Salah satu poinnya terletak pada hak uji coba alkes yang didaftarkan. Salah satunya dengan memberikan hak melakukan uji kelayakan alkes di kelas 3 kepada badan-badan swasta yang sudah terdaftar di PMDA. Hal ini diharapkan bisa meringankan beban PMDA dalam melakukan uji kelayakan yang pada akhirnya bisa mempercepat proses pendaftaran alkes di Jepang. Dengan begitu, diharapkan para pengembang teknologi dan pelaku medis bisa lebih leluasa dalam berinovasi.
Di sini kita bisa lihat bahwa PM Shinzo Abe betul-betul berusaha menjalankan peran pemerintah dalam membangun dunia medis di Jepang seperti yang pernah saya bahas di 3 Pilar Utama Kemajuan Dunia Medis di Suatu Negara, yaitu menciptakan ruang bagi para pengembang teknologi sekaligus pelaku medis agar bisa tetap melakukan inovasi. Tentunya kebijakan ini bukan tanpa resiko. Jika selama ini pemerintah cukup kinerja PMDA dalam hal uji kelayakan suatu alkes, kini ia menambah pekerjaannya sehingga ia pun harus menjamin bahwa uji kelayakan yang akan dilakukan oleh lembaga-lembaga swasta bisa dipercaya. Tentunya rencana perubahan undang-undang ini harus diimbangi dengan sistem pengawasan yang baru. Yang perlu kita catat, Jepang berani mengambil langkah yang memiliki tingkat resiko lebih tinggi, untuk mendorong kekuatan teknologi dan ekonomi mereka.
Bagaimana dengan Indonesia? Sudah sampai manakah persiapannya? Kita bahas di kesempatan berikutnya :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H