Mohon tunggu...
Renytha Miroatuz Solehah
Renytha Miroatuz Solehah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa tahun kedua Kriminologi UI

Sedang berkuliah di jurusan Kriminologi, Universitas Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Polemik Ganja di Indonesia: Wacana Legalisasi Ganja Medis dan Dampaknya terhadap Pengendalian Sosial

10 Maret 2023   13:37 Diperbarui: 10 Maret 2023   13:39 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Persoalan ganja bukan merupakan hal baru di Indonesia. Hingga saat ini wacana pelegalan ganja masih banyak ditentang baik dari akademisi maupun masyarakat biasa. Dulu, ganja dinilai sebagai 'barang' terlarang yang dapat merusak tubuh manusia. Namun, seiring berkembangnya pengetahuan, ganja mulai dilihat memiliki kegunaan lain sebagai komoditas bermanfaat dalam ranah kesehatan. Dari sini terdapat dua perspektif yang berseberangan dalam perdebatan soal ganja, yaitu perspektif kesehatan dan perspektif sosial-hukum. Upaya legalisasi ganja di Indonesia masih menuai banyak ketidaksetujuan baik dari pemerintah maupun masyarakat sehingga perjalanan heroik ini masih akan terus diperjuangkan. 

Amerika Serikat menjadi salah satu negara yang melegalkan pemakaian ganja pada beberapa negara bagiannya. Namun, Amerika juga pernah mengalami kriminalisasi besar-besaran terhadap pengguna narkotika pada 1930. Pada tahun 1930-an, Ganja pertama kali menjadi bahan perdebatan kebijakan publik nasional. Ganja dikaitkan dengan beberapa jenis perilaku menyimpang. Misalnya, penggunaan ganja dikatakan adalah bentuk patologi sosial, seperti keluarga yang hancur, adanya gangguan psikologis, atau bentuk pemberontakan terhadap otoritas. Diketahui juga, Ganja dapat mengarah pada kekerasan dan kejahatan, pergaulan bebas dan pesta pora hingga menyebabkan ketergantungan psikologis, kecelakaan jalan raya, dan kelesuan. Penggunaan Ganja saat itu dinilai sebagai adalah aktivitas yang tercemar dan didefinisikan secara negatif (Brotman, 1971). Dari situ, aparat-aparat mulai menangkap banyak para pengguna dan mendapat hukuman penjara yang mengakibatkan terjadinya overcapacity. 

Puncak dari penyebab kriminalisasi pengguna ganja ini berangkat dari kesepakatan PBB pada tahun 1961 dalam The United Nation's Single Convention, Convention on Narcotic Drugs. Konvensi ini pada akhirnya diratifikasi di Indonesia dan terbentuklah UU Narkotika yang kita kenal sekarang. Ganja dalam UU Narkotika dikategorikan sebagai Narkotika Jenis I yang sebenarnya juga diadaptasi dari penggolongan Narkotika oleh Amerika Serikat yang sekarang sudah banyak melegalkan ganja, bahkan untuk kepentingan rekreasional. Lalu, beberapa negara di Asia Tenggara juga sudah mulai melegalkan ganja, misalnya di Thailand dan Malaysia yang sama-sama mengesahkan peraturan tentang ganja pada tahun 2021.

Manfaat dari Ganja memang sudah banyak diakui oleh peneliti, misalnya menjadi obat manjur penyakit Cerebral Palsy. Dengan adanya terapi Ganja, intensitas kejang yang dialami penderita Cerebral Palsy dapat dikendalikan. Bahkan pada beberapa kasus, efek yang ditimbulkan dari Ganja jauh lebih signifikan dibanding terapi atau obat konvensional. Salah satu studi mengungkap bahwa pasien yang menggunakan Ganja medis relatif lebih puas dengan pengobatan daripada kontrol yang menggunakan pengobatan konvensional untuk gangguan yang sama. Selain itu, pasien yang menggunakan terapi Ganja memiliki skor depresi yang lebih rendah daripada kontrol yang menggunakan pengobatan konvensional, terlepas dari efek penggunaan cannabinoid. Pasien yang menggunakan obat Ganja mungkin memiliki tingkat toleransi nyeri yang lebih tinggi daripada kontrol yang menggunakan pengobatan konvensional (Kudahl. et al, 2021). Penelitian yang dilakukan oleh National Cancer Institute (NIH) di Amerika Serikat juga menemukan bahwa cannabinoid mempunyai potensi dalam mengurangi efek nyeri akibat kemoterapi. Di Indonesia sendiri, penelitian tentang potensi ganja sebagai obat penyakit diabetes pernah dilakukan oleh Lingkar Ganja Nusantara (LGN) pada 2014. Penelitian ini didasari pada hasil studi oleh Lola Weiss, seorang peneliti Hadassah University Hospital Ein Kerem pada 2006. Penelitian itu menunjukkan bahwa cannabinoid juga dapat mengurangi kasus diabetes. Penelitian-penelitian ini lah yang mendorong banyaknya negara yang telah melegalkan penggunaan Ganja medis,.

Lalu bagaimana di Indonesia? Pada tahun 2017 terjadi kasus yang cukup menarik perhatian yakni Fidelis Ari Suderwato, seorang suami yang menanam 39 batang ganja untuk pengobatan istrinya. Singkat cerita, setelah kelahiran anak keduanya, istri dari Fidelis, Yeni, mengalami demam yang tidak normal, di mana hanya setengah badannya yang panas dan setengahnya masih dapat beraktivitas seperti biasa. Namun, lama-kelamaan kondisi Yeni semakin memburuk dan mengharuskannya untuk pergi ke rumah sakit. Setelah menjalani beberapa pemeriksaan, diketahui bahwa istri menderita penyakit Syringomyelia, sejenis kista yang tumbuh di tulang belakang. Penyakit langka ini diketahui dapat disembuhkan dengan operasi, tetapi karena keadaan Yeni yang sudah sangat lemah, operasi tidak mungkin dilakukan. 

Fidelis kemudian mencari informasi untuk pengobatan penyakit istrinya. Ia banyak bertukar informasi dengan teman-teman media maya nya yang pernah mengalami penyakit yang sama. Ia menemukan bahwa satu-satunya cara agar istirnya dapat membaik adalah dengan cannabinoid, salah satu zat yang terkandung dalam Ganja. Dari situ, Fidelis mulai belajar bagaimana cara mengekstrak Ganja secara otodidak. Percobaan itu dinilai berhasil olehnya, Fidelis melihat perkembangan signifikan pada istrinya seusai pemberian Ganja tersebut. Namun tak lama kemudian, Fidelis ditahan oleh petugas Badan Narkotika Nasional dengan sangkaan kepemilikan Narkoba. Hingga akhirnya ia dijatuhi hukuman penjara selama 8 bulan. Kasus ini dinilai cukup menguras air mata, detik-detik sebelum kepergian istrinya, Fidelis masih berada di tahanan untuk menjalani masa hukumannya. 

Kasus di atas merupakan salah satu dari sekian banyak konsekuensi dari pelarangan ganja untuk kegunaan medis. Masih banyak kasus lain di mana banyak orang benar-benar memerlukan Ganja dalam menjamin kehidupannya. Dari naiknya kasus-kasus tersebut, mosi legalisasi Ganja banyak menyita perhatian publik. Hingga saat ini legalisasi ganja masih dipenuhi pro dan kontra. Sebagian masyarakat masih menstigmatisasi ganja sebagai obat-obatan terlarang dan dapat merusak masa depan generasi muda. Hal ini disebabkan oleh program war on drugs yang diselenggarakan pemerintah. Wajar sekali hal ini dilakukan sebagai upaya pengendalian informal pemerintah,mengingat tanaman jenis ini berpotensi menimbulkan dampak negatif jika digunakan tanpa pengawasan, tetapi dengan adanya 'pencucian otak' ini, orang-orang sukar untuk menerima manfaat-manfaat yang baru diketahui terkandung dalam Ganja. Selain dari sosialisasi tersebut, sebagian yang menolak legalisasi Ganja medis akan mengaitkan argumennya dengan agama atau kepercayaan yang ia anut. Sebagai warga Indonesia yang menganut Pancasila sila Pertama, sulit rasanya menyerang argumen tunggal yang berlandaskan agama. Diperlukan beberapa pendekatan khusus untuk mengubah stereotip perihal ini. 

Namun tak bisa dipungkiri, isu legalisasi Ganja medis harus menjadi salah satu perhatian negara dalam menciptakan inklusivitas hak pelayanan medis. Mengacu pada Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 bahwasanya "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan". Melihat adanya penyakit tertentu yang hanya bisa diobati oleh Ganja medis, pemerintah seharusnya dapat menyediakan layanan terbaik bagi masyarakat. Jika argumentasinya adalah masih banyak pilihan obat-obat legal lain, pemerintah artinya tidak memberi ruang pada masyarakat untuk 'memilih' suatu jenis pengobatan yang ingin mereka tempuh. Alih-alih pemerintah malah mengkotak-kotakkan obat tertentu yang harus dikonsumsi dengan dalih "menjaga keteraturan" tetapi luput memperhatikan perspektif HAM. Pemerintah masih melimitasi perkembangan ilmu pengobatan dengan paham yang regresif. Kemajuan ilmu pengetahuan tentu saja pada akhirnya dapat melindungi keberlangsungan hidup manusia, tentu saja pengetahuan tentang Ganja juga termasuk. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya dapat mengakomodasi penelitian-penelitian lebih lanjut tentang Ganja medis.

Salah satu masalah yang juga tengah dihadapi adalah fakta bahwa Ganja dikategorikan sebagai Narkotika Golongan I dalam Undang-undang. Narkotika Golongan I adalah jenis Narkotika yang hanya digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Artinya, penggunaan Ganja masih dilarang sepenuhnya untuk pengobatan jenis apa pun. Adanya UU ini masih mendistorsi kebutuhan masyarakat tertentu. Walaupun pada Konvensi Tunggal 1961 PBB Ganja masih dikategorikan obat-obatan "illegal", tetapi pada 2020 PBB telah mencoret Ganja dari daftar tersebut. Artinya, sebagian besar perwakilan negara sudah bersepakat bahwa Ganja memiliki manfaat yang signifikan bagi dunia kesehatan. 

Walaupun ternyata Ganja memiliki manfaat, tetapi memang distribusinya harus tetap dikendalikan agar tidak terjadi kekacauan. Agar keperluan Ganja medis terpenuhi, pemerintah dan penegak hukum harus menciptakan regulasi terkait penyediaan Ganja medis. Hal ini untuk membatasi warga-warga yang ingin menggunakan ganja tetapi bukan untuk keperluan medis. Selain itu, regulasi ini juga harus menghindari adanya usaha dagang gelap khususnya di apotek yang dapat memanfaatkan nama 'otoritas' mereka dalam mengurai keuntungan bisnis narkoba. Salah satu konsekuensi yang mungkin dialami di Indonesia adalah tak terkendalinya penanaman ganja. Seperti yang kita ketahui, secara geografis Indonesia sangat dekat dengan garis khatulistiwa, yang mengisyaratkan bahwa Indonesia beriklim tropis. Dengan adanya 'anugerah' ini, penanaman tanaman ganja dapat dilakukan di mana saja karena cuacanya yang memadai. Akibatnya, pemerintah dan penegak hukum akan kesulitan untuk mengawasi jaringan penggunaan atau distribusi ganja (Pangaribuan, A. M. A., & Manthovani, K. 2019). Pemerintah harus dapat menciptakan regulasi yang ketat tetapi juga harus berorientasi pada masyarakat. Jangan sampai masyarakat yang membutuhkan justru dipersulit haknya atau bahkan sampai dikriminalisasi. Dampak-dampak di atas mungkin tidak terlalu penting untuk dibahas sekarang. Yang harus diperhatikan disini adalah kesegeraan pemerintah untuk menyediakan dan mengakomodasi hak kesehatan masyarakat dengan cara melegalkan penggunaan ganja sebagai pengobatan medis. 

Dari adanya kasus kriminalisasi ganja medis dan penolakan pengujian Undang- undang oleh Mahkamah Konstitusi, kita dapat merefleksikan bahwa negara seharusnya dapat melindungi dan memfasilitasi rakyatnya. Pemerintah tidak seharusnya mengabaikan pertimbangan dari perspektif keluarga korban dalam memutuskan persoalan. Akhir kata, penulis menyatakan setuju dengan urgensi pengesahan ganja sebagai alternatif pengobatan, tetapi untuk melakukan dekriminalisasi saya rasa Indonesia belum bisa menerima dan belum cukup teratur untuk penggunaan ganja sebagai media rekreasional. Yang terpenting saat ini adalah hak kesehatan masyarakat dapat terpenuhi tanpa terkecuali

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun