Kita tahu betul bahwa ketika kita meminta, jawaban Tuhan ada tiga macam: “Ya silakan”, “Ini lebih baik”, dan “Tunggu.” Mengapa Tuhan harus memberi pilihan tunggu? Mengapa pilihan jawaban-Nya “Tidak” saja sekalian?! Buat apa menyediakan kata “Tunggu”?? Beberapa pekan lalu saya membaca sebuah artikel tentang delayed gratification. Sebuah artikel tentang salah satu teknik parenting di Prancis. Sebenarnya bukan teknik juga, karena mereka (orang di dalam artikel) mengaku bahwa orang-orang Prancis ya melakukan hal tersebut begitu saja tanpa harus dipersiapkan. Sama halnya dengan orang Batak yang kebanyakan berbicara dengan suara berdesibel tinggi, itu bukan suatu hal yang direncanakan apalagi dipaksakan. The Marshmallow Test. Saya pikir banyak yang pernah dengar. Sebuah tes psikologi menarik yang ditujukan pada anak-anak. Sekitar tahun 1960-an Walter Mischel, seorang pakar psikologi, melakukan uji coba dengan menjadikan 653 (enam ratus lima puluh tiga, saya hanya ingin memastikan bahwa saya tidak salah ketik) anak-anak usia 4-5 tahun sebagai objeknya. http://drdeborahserani.blogspot.com/2009/09/marshmallow-test.html Begini cara kerjanya. Anak dibawa masuk ke dalam ruangan, kemudian ia diminta untuk duduk di depan meja yang di atasnya diletakkan sebuah marshmallow dengan manisnya. Aturan mainnya hanya satu dan sederhana, si anak tidak boleh mengambil marshmallow tersebut hingga 15 menit. Jika ia berhasil, maka si anak akan mendapat hadiah satu marshmallow lagi. Sedangkan jika ia gagal, maka ia hanya akan mendapatkan satu marshmallow itu saja. Kemudian sang penguji meninggalkan ruangan tersebut. Ternyata! Dari 653 anak yang diuji, jumlah anak yang berhasil untuk tidak menyentuh marshmallow tersebut selama 15 menit adalah tiga orang. Ya, hanya tiga orang. Anak-anak lainnya tidak mampu menahan diri mereka, dan tingkatannya pun berbeda-beda. Ada yang langsung meraup marshmallow tersebut seketika sang penguji keluar ruangan, ada yang mampu menahan diri selama lima menit, sepuluh menit, dan lainnya. Dua puluh tahun berselang. Mischel kemudian mendata kembali anak-anak yang dulu pernah mengikuti The Marshmallow Test-nya. Hasilnya adalah semakin lama anak-anak mampu menahan diri untuk tidak mengambil marshmallow tersebut, semakin tinggi pula daya konsentrasi dan logikanya. Dalam hal persahabatan, mereka pun relatif mampu menjaga hubungan dan bertahan di bawah tekanan. They don’t crack under pressure.Sangat menarik! Ketika Walter Mischel memutar ulang video The Marshmallow Test miliknya, ia mendapati bahwa anak-anak yang mampu menahan diri agak lama memiliki kemampuan dalam menghibur diri mereka. Untuk mengalihkan perhatiannya dari marshmallow, ada yang bernyanyi-nyanyi sendiri, ada yang memainkan jari-jemari, atau apapun hal yang dapat mengalihkan perhatian mereka dari si marshmallow. Delaying gratification, suatu hal yang membuat anak-anak di Prancis lebih kalem dan tenang ketimbang anak-anak di Amerika. Budaya ini melekat amat kuat dalam keseharian mereka. Mari kembali ketika Tuhan mengatakan, “Tunggu” pada kita. Dia sedang mengajarkan kita tentang delayed gratification. Bukan hanya tentang menunggu, namun tentang ketegaran, kemampuan menahan diri, self-soothing, dan sebagainya. Dengan segala macam alasan semisal “waktunya belum tepat” atau “diri kita belum pantas” terhadap apa yang kita citakan itu, sesungguhnya kita sedang belajar untuk menenangkan diri sendiri, menahan agar kontrol masih dalam genggaman. Dengan satu catatan, proses pengusahaan cita tersebut masih dan akan terus berlanjut. Saya pikir ada baiknya kita sudah khatam dalam pikiran tentang tiga kalimat ini: “Mintalah kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan,” [QS Al Mu’min: 60], “Maka bersabarlah kamu dengan kesabaran yang baik,” [QS Al Ma’aarij: 5] dan “Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat,” [QS Al Baqarah: 45]. Ayat-ayat ini menguatkan sekaligus menenangkan. Ajaibnya, di saat yang sama ayat-ayat ini mampu membuat kita merasa lemah dan tak berdaya, dengan menyadari bahwa Tuhan seluruh alam sedang memainkan konspirasi-Nya dan kita hanya bisa melakukan satu hal, yakni bertahan. Dalam konstelasi jagad raya yang telah Ia desain sedemikian rupa indahnya, sayapun yakin tak satupun akan Ia biarkan hal menjadi sia-sia. Mungkin kita melihat kerusakan di depan mata kita, namun pada saat itu saya pikir Allaah sedang membedakan. Ya, bagaimana mungkin kita tahu bagaimana itu kebenaran tanpa kesalahan? Bagaimana kita tahu sesuatu tersebut adalah kebaikan tanpa kemungkaran? Dan seterusnya. Di sini, Allaah sedang menyetting agar manusia membaca dan terus mempelajari kehidupannya. Begitu pula ketika cita-cita besarku, cita-cita besarmu, atau cita-cita besar kita semua bersama belum kunjung tiba, mungkin Allaah ingin menaikkan level kita dalam konteksdelayed gratification. Bahwa setiap hal itu ada harganya. Bahwa setiap barang mahal yang kita dapat adalah sulit meraihnya, dan bahwa setiap barang murah yang kita miliki adalah tanpa peluh sebesar zarrah pun. Jika memang hal ini kita temui berbeda, tak lain hal tersebut adalah karena kasih sayang-Nya semata. Lebih dari itu, delayed gratification adalah sebuah seni. Seni menikmati karunia di tingkat terbaiknya, di saat tertepatnya, dalam keadaan terbenarnya, dan seterusnya. Delayed gratification menjadikan makanan lebih lezat ketika memasuki perut yang lapar atau juga membuat tidur lebih nyenyak ketika selimut malam menyergap lelah raga. Seni ini tentang mengolah rasa, tentang penyembuhan diri, agar tak terjerat nafsu semu dan bisik-bisik ketidaksabaran. Maka nikmatilah waktu-waktu menunggu dengan membaca detik-detik yang menjalar pelan ataupun yang terburu, dan reguklah hikmah yang menggantung rendah ataupun yang terbalut malu-malu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H