Mohon tunggu...
Ratna Nataliani
Ratna Nataliani Mohon Tunggu... -

Green Building Consultant. Interested in Language, Music, Culture, and Sport.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Triple Helix dan Peran Konsil Bangunan Hijau di Indonesia

21 Januari 2014   16:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:37 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam beberapa dekade, isu terkait perubahan iklim dan pemanasan global telah menjadi diskusi hangat di berbagai kalangan. Bukan hanya pada lapisan masyarakat yang berafiliasi pada komunitas lingkungan tertentu, namun isu ini telah menjadi pengetahuan umum. Meski tidak dapat dipungkiri, berbagai mitos terkait pemanasan global yang tidak jelas asal-usul pokok pikirannya pun muncul di tengah-tengah masyarakat itu sendiri.

Manusia terus menerus berkembang dari hari ke hari. Baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Secara kuantitas, sulit untuk menekan laju pertumbuhan pembangunan rata-rata manusia. Permintaan dan pemenuhan kebutuhan terus menggenjot roda pembangunan yang seakan tiada henti. Jika manusia hidup dengan pertumbuhan yang tinggi namun kualitas tidak membaik atau bahkan malah buruk, maka akan makin sulit menahan diri dari pertumbuhan tersebut agar dapat mengimbangi laju pertumbuhan Bumi. Maka perbaikan yang paling perlu dilakukan dan akan berdampak signifikan dalam sektor lingkungan adalah perbaikan kualitas hidup.

Sebagai penyumbang polusi karbon terbesar, bangunan merupakan sektor yang strategis untuk direncanakan perbaikannya dalam rangka mereduksi tingkat pencemaran yang dihasilkannya. Berdasarkan penelitian pun, telah dibuktikan bahwa ketimbang sektor industri dan transportasi, sektor bangunan memiliki investasi paling rendah dalam melakukan konservasi agar memberikan dampak positif terhadap lingkungan.

Green Building atau Bangunan Hijau, merupakan sebuah konsep yang mulai marak di Indonesia saat ini. Bangunan hijau membawa konsep sustainability, atau keberlangsungan. Keberlangsungan yang dimaksud adalah keberlangsungan Bumi dalam memenuhi kebutuhan manusia. Saat ini ecological footprint manusia dunia adalah sebanyak 1,4 Bumi yang artinya, Bumi harus tumbuh 1,4 kali lebih cepat dari semestinya untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia.

1390295598168382097
1390295598168382097

Membangun bangunan-bangunan hijau merupakan langkah untuk berinteraksi secara benar dan bijak dengan Bumi. Bangunan hijau memiliki standar-standar yang telah ditentukan oleh Green Building Council di masing-masing negara. Standar-standar ini dibuat dan disesuaikan pula dengan kondisi negara terkait. Kriteria-kriteria bangunan yang disyaratkan oleh dewan ini mengarah pada semangat keberlanjutan.

Bangunan-bangunan hijau pun mulai marak di kota-kota besar, di Indonesia terutama Jakarta. Sudah ada beberapa bangunan yang telah tersertifikasi oleh konsil-konsil bangunan hijau, baik itu dari Indonesia maupun dari negara lain. Segolongan kecil masyarakat mulai dicerdaskan dengan adanya pelatihan-pelatihan mengenai bangunan hijau. Dapat diprediksi bahwa dalam beberapa tahun ke depan, bangunan hijau akan menjadi salah satu tren yang penting, bahkan bisa dianggap vital dalam sektor pembangunan.

Oleh karena itu, respon dari negara ini pun mestinya tidak bisa hanya dengan secara pasif menerima berjamurnya isu terkait bangunan hijau. Indonesia harus memiliki rencana dan implementasi strategis dalam sektor ini. Sehingga di masa mendatang, generasi penerus bukan hanya akan menjadi technology user, namun juga innovator bahkan creator.

Salah satu teori untuk memahami keterkaitan elemen-elemen penting dalam suatu negara adalah teori Triple Helix yang diperkenalkan oleh Henry Etzkowitz, seorang peneliti dari Stanford University. Triple Helix merupakan suatu hubungan resiprok antara tiga elemen besar dalam suatu negara, yakni pemerintah, akademisi, dan industri. Ada berbagai model hubungan yang dapat memodelkan atau menjelaskan suatu hubungan antarelemen dalam suatu negara. Dan model yang digunakan tentunya harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi riil dari negara tersebut.

Dalam teori ini, pemerintah diperkenalkan sebagai public control. Pemerintah memiliki fungsi untuk memberikan batasan dari kegiatan di dalam negara tersebut dalam bentuk regulasi atau peraturan-peraturan dalam tingkat cakupan daerah tertentu. Akademisi diperkenalkan sebagai novelty production. Lembaga pendidikan, terutama perguruan tinggi atau universitas tentunya diharapkan dapat menjadi garda terdepan dalam memperbaharui dan melahirkan inovasi-inovasi yang menunjang aktivitas negara di berbagai disiplin ilmu. Dan industri diperkenalkan sebagai wealth generation. Tentu saja, proses bisnis dilakukan oleh industri dan dari pintu inilah seharusnya negara memperkaya dirinya, untuk menyejahterakan seluruh rakyatnya.

Fungsi yang dimiliki oleh masing-masing elemen ini tentunya harus dicapai dengan berbagai langkah-langkah strategis yang saling berkaitan. Tidak bisa satu elemen saja bekerja dan tidak mempengaruhi elemen lainnya, kemudian tercapailah perbaikan secara signifikan. Dalam konsep bangunan hijau yang masih terbilang baru Indonesia, perlu dikaji lebih mendalam terkait hubungan triple helix di dalamnya untuk kemudian menentukan langkah-langkah strategis dalam mewujudkan Indonesia yang lebih sehat dan ramah lingkungan.

A. Pemerintah

Telah disahkan beberapa regulasi pemerintah, baik itu tingkat nasional maupun daerah, yang menetapkan perihal konservasi energi. Pada cakupan yang lebih sempit, yakni provinsi, DKI Jakarta sudah memiliki Peraturan Gubernur No. 38 tahun 2012 tentang Bangunan Gedung Hijau. Dalam peraturan ini, telah ditetapkan ketentuan-ketentuan terkait pembangunan bangunan hijau di Jakarta hingga dalam tataran teknis. Sebaiknya dokumen ini dimiliki oleh tiap daerah yang sudah memiliki ataupun merencanakan banyak pembangunan bangunan, terutama high-raise building, seperti Balikpapan, Medan, Surabaya, dan kota-kota besar lainnya. Dalam pembuatannya pun mestinya tidak akan memulai dari nol sekali, tapi sudah ada provinsi DKI Jakarta sebagai benchmark, begitu pula sertifikasi bangunan hijau yang telah dilakukan.

B. Perguruan Tinggi

Membangun bangunan hijau bukan hanya tentang menanam pohon di sekitar bangunan tersebut. Membangun bangunan hijau membutuhkan teknologi yang lebih canggih, terutama dalam hal efisiensi energi. Berbagai teknologi yang diimplementasi dalam konteks bangunan hijau pun banyak yang ditransfer dari luar negeri, bahkan mungkin semuanya. Sebut saja energi baru terbarukan, otomasi bangunan, pengondisian ruangan, pemantauan dan pengendalian jauh, dan sebagainya membutuhkan riset yang berlanjut seiring dengan permintaan pembangunan oleh manusia. Jika infrastruktur penelitian tidak dipersiapkan sejak sekarang, sangat mungkin negara ini lagi-lagi menjadi sekedar pengguna teknologi.

C. Industri

Pelaku industri yang bergerak di dunia pembangunan telah semakin banyak pula. Berbagai perusahaan kontraktor, konsultan, pengembang, dan lain-lain makin bersaing. Meskipun persaingan ini terlihat semakin seru, namun masih perlu dikhawatirkan terkait pasarnya. Apabila pencerdasan terhadap pengguna mengenai bangunan hijau masih minim, ataupun hal-hal lain yang sensitif terhadap perekonomian industri –semisal subsidi listrik—masih menjadi masalah, maka bisa jadi pembangunan bangunan hijau tidak akan meningkat. Hal ini pun dapat mengganggu sektor penelitian karena juga akan ikut tidak berkembang untuk penggunaan dalam negeri.

Dari pemaparan terkait analisis singkat hubungan triple helix dalam konsep bangunan hijau di Indonesia, beberapa hal penting dan strategis yang sebaiknya dilakukan antara lain:

(a) Membuat dan menyosialisasi peraturan-peraturan pemerintah serta mengintegrasikannya dengan regulasi-regulasi lain agar tetap ebrjalan efektif, baik dalam hal adanya peraturan di setiap daerah maupun adanya peraturan yang dibuat hingga tataran teknis;

(b) Membuat rencana strategis terkait penelitian dalam sektor bangunan hijau dan tentunya disesuaikan pula dengan kebutuhan pasar, namun tidak mengacuhkan teknologi yang berkembang di belahan dunia lain; dan

(c) Memberikan insentif bagi peneliti maupun pengembang teknologi yang berkaitan dengan bangunan hijau, terutama yang berlatar belakang institusi pendidikan milik negara.

Dari paparan ini, dapat disintesis bahwa Green Building Council Indonesia (GBCI) memiliki posisi yang strategis sebagai katalisator untuk mewujudkan langkah-langkah di atas.

GBCI dapat menjadi badan dengan legitimasi yang memiliki daya tawar terhadap pemerintah dalam menelurkan regulasi-regulasinya maupun industri dalam ekspansi bisnis dan marketisasi. Di sektor akademisi, GBCI dapat mengembangkan suatu divisi tertentu yang fokus dengan riset dan pengembangan teknologi maupun sosial yang bekerjasama dengan berbagai perguruan tinggi di Indonesia. GBCI pun dapat men-trigger dalam meningkatkan kesadaran masyarakat dengan berbagai kampanye bangunan hijau maupun mengadakan event pemberian penghargaan bagi bangunan-bangunan yang telah tersertifikasi Greenship (rating tools bangunan hijau Indonesia).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun