Hari ini, banjir kembali melanda Jakarta. Seperti anak bayi yang terkena diare, bencana ini pun kemudian dianggap lumrah dan masyarakat pun mulai beradaptasi dengan keadaan abnormal yang amat tidak nyaman ini. Mengapa saya sebut abnormal? Pada musim hujan, air hujan yang merupakan berkah dari Tuhan ini begitu saja “dibuang” ke saluran drainase kota. Namun pada musim kemarau, sebagian besar daerah di Jakarta justru mengalami kekurangan air yang bahkan harus memaksa beberapa daerah tersebut “mengimpor” air bersih dari daerah lain.
Hal yang harus kita sadari bersama adalah bahwa banjir yang terjadi sesungguhnya merupakan salah satu efek dari perbuatan kita sendiri. Dengan atau tanpa kita sadari, kita pun bisa jadi agen-agen yang turut menyukseskan program banjir. Namun tentu saja, kita bisa jadi solusi terhadap banjir ini. Dalam jangka waktu yang panjang dan tentu saja bukan hanya aksi kuratif. Sebelumnya, mari kita bersama-sama mengubah paradigma bahwa air hujan diberi Tuhan bukan karena tanpa manfaat. Justru hujan merupakan berkah yang besar. Nah, karena ia merupakan berkah, masa iya mau kita buang begitu saja? Seharusnya, benda berharga yang kita miliki dapat kita simpan dalam jangka waktu yang lama dan harus kita manfaatkan untuk kita sendiri dan masyarakat.
Ok, jadi kita sudah sepakat kan bahwa air hujan adalah teman?! Bukan banjirnya ya, tapi air hujan.
Sirkulasi Air Perkotaan
Kita sudah mengenal siklus hidrologi sejak bangku sekolah dasar. Air yang jatuh dari langit, yang kita sebut sebagai hujan, akan mengalir ke saluran drainase, kemudian ke sungai menuju ke laut. Di laut, air terevaporasi menjadi awan lalu awan bergerak tertiup angin, dan pada keadaan tertentu akan tersaturasi maka terjadilah hujan.
Sekarang mari kita gambarkan sirkulasi air dengan lebih detil, dalam konteks ini daerah perkotaan. Ketika air hujan jatuh ke Bumi, maka hujan bisa jatuh ke berbagai material. Bisa tanah, sawah, aspal, bebatuan, dan sebagainya. Selain jatuh ke tanah, air dapat juga ditampung dalam berbagai skala penampungan, dan sisanya akan diteruskan (atau disebut saja dibuang) ke saluran drainase kota.
Air yang diserap oleh tanah akan tersimpan di dalam tanah dan dapat bermanfaat dalam jangka waktu yang lama terutama saat musim kemarau. Tak kalah penting, air tanah pun berfungsi menjaga stabilitas lapisan tanah. Semakin besar debit yang dibuang ke drainase kota, semakin sedikit air hujan yang tersimpan di dalam tanah. Debit air yang dibuang ini kita nyatakan dalam satuan koefisien run-off, yang semakin besar artinya semakin sedikit lah cadangan air tanah kita. Gambar di bawah ini menunjukkan bahwa banyaknya bangunan dapat mempengaruhi koefisien run-off.
Sisa air yang dibuang ini akan mengalir ke saluran drainase kota, berupa selokan, kanal air, pintu air, dan sebagainya menuju sungai. Jika debit air yang masuk ke aliran sungai memiliki rentang minimum dan maksimum yang lebar, akan berdampak pada erosi pada badan sungai. Erosi ini dapat menyebabkan endapan di daerah hilir yang tentunya akan mengganggu aliran air, atau endapan ini dapat juga membuat sungai menjadi lebih dangkal sehingga kapasitas aliran mengecil.
Debit air yang besar ini pun masih bisa berdampak setelah tiba di laut. Dalam bulan-bulan tertentu yang menunjukkan waktu pasang, hempasan air laut dapat naik ke sungai maupun ke daerah pesisir. Jika saluran drainase tidak dapat menampung hempasan ini, maka kiriman air dapat menyebabkan banjir yang kita kenal dengan sebutan rob. Selanjutnya, perjalanan air akan terus begitu adanya.
Jakarta; Pertumbuhannya dan Banjirnya
Sebenarnya saya masih newbie di Jakarta, belum sampai lima bulan bahkan. Jadi, saya ingin berbagi pengetahuan dengan mengadaptasi dari tulisan Ir Fatchy Muhammad, seorang Hydrogeologist anggota Dewan Sumber Daya Air Provinsi DKI Jakarta. Beliau juga menjadi salah satu pioneer dalam gerakan “Zero Run-off” oleh Masyarakat Air Indonesia (MAI) yang juga ikut digagas oleh alumni-alumni ITB angkatan tahun 1973, atau biasa disebut Fortuga (Forum Tujuh Tiga).
Jakarta, yang dalam beberapa dekade ke belakang memiliki perkembangan penduduk maupun pembangunan yang luar biasa pesat. Tahun 2005, penduduk di region ini jumlahnya 8.842.346 jiwa, kemudian pada tahun 2008 meningkat menjadi 9.146.181 jiwa dan pada tahun 2010 sudah mencapai 9.500.000 jiwa.
Saat musim hujan tiba pada tahun 1994, terdapat 40 titik banjir di Jakarta. Pada tahun 1996 meningkat menjadi 80 titik daerah banjir. Bahkan tahun 2002 silam, banjir telah menenggelamkan hampir sepertiga luas Jakarta dan terulang kembali pada tahun 2007, dengan banjir lokal yang berhasil menenggelamkan Jakarta. Kita ingat akhir tahun 2012 lalu, selain curah hujan yang tinggi sejak Desember 2012, sistem drainase yang buruk, dan jebolnya berbagai tanggul ini juga disebabkan meningkatnya volume 13 sungai yang melintasi Jakarta. Bahkan Bogor, Bekasi, Depok, dan Tangeran pun mengalami hal yang sama pada saat itu. Dan hingga pertengahan Januari 2013, Jakarta tercatat mencapai rekor curah hujan hingga 250-300 mm, melebihi kondisi Banjir Jakarta pada tahun 2002 yang mencapai 200 mmdan banjir Jakarta tahun 2007 yang mencapai 340 mm. Sebagai informasi tambahan, curah hujan 1 (satu) milimeter artinya dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar tertampung air setinggi satu milimeter atau sebanyak satu liter.
Curah hujan DKI yang merupakan karunia dari Tuhan adalah sebanyak 2.000-3.000 mm per tahun. Catchment Area (sarana penampung air alamiah) pun dikaruniakan Tuhan kepada DKI berupa 8 (delapan) Daerah Aliran Sungai yang terdiri dari sungai Angke, Grogol, Krukut, Mampang, Ciliwung, Cipinang, Sunter, dan Cakung, yang mengalirkan membelah Jakarta Selatan ke Utara. Kawasan Ruang Terbuka Hijau DKI Jakarta pada tahun 2010 adalah seluas 9,8%. Sumber air tanah Jakarta secara umum bersumber di dua sumber lapisan yang dinamakan lapisan air tanah bebas yang berada di kedalaman 1-30 meter dan Lapisan Air Tanah Tertekan yang berada di kedalaman 40-300 meter. Pemerintah DKI telah mengeluarkan segala bentuk peraturan yang berkaitan dengan Air yang dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas manajemen air bagi masyarakatnya.
Korelasi dan Solusi
Dengan pertumbuhan pembangunan seperti saat ini, jelas sirkulasi air perkotaan perlu mendapat perhatian ekstra. Untuk menyederhanakan pembahasan, mari kita bagi menjadi dua scope, yakni bangunan dan drainase kota. Bangunan mencakup pergerakan air mulai hujan turun hingga sebelum masuk drainase kota, sedangkan drainase kota mencakup pergerakan air mulai run-off ke drainase hingga ke laut (termasuk pula air hujan yang langsung mengalir ke saluran drainase kota).
Pertama di lingkungan bangunan. Seperti yang sudah disebutkan, air hujan dapat disimpan ke tangki penampungan (stormwater storing) maupun disimpan di dalam tanah (rainwater harvesting). Sebanyak mungkin, di rumah atau di gedung menyediakan tangki-tangki penyimpanan air hujan yang kemudian dapat dimanfaatkan untuk menyiram tanaman, flushing, cooling tower untuk gedung, atau keperluan secondary water lainnya . Sehingga kebutuhan air bersih dapat diminimalisasi.
Tidak perlu bingung untuk menentukan kapasitas penyimpanan air hujan (stormwater harvesting), cukup mengukur atau memperkirakan luas atap bangunan. Rumusnya adalah V = C x A x I; atau volume kapasitas penyimpanan dalam liter sama dengan koefisien runoff (C sebenarnya bernilai 0.95 karena faktor kondensasi, tapi boleh juga bernilai 1 untuk mempermudah perhitungan) dikali area atau luas atap dalam satuan m2 dan dikali intensitas curah hujan rata-rata (bisa menggunakan nilai 250 mm untuk Jakarta).
Selanjutnya, untuk rainwater harvesting ada banyak cara yang bisa dilakukan. Bisa dengan sumur resapan, detention pond, biopori, embung/kolam, dan sebagainya. Poinnya adalah sediakanlah jalan bagi air untuk menelusuri tanah. Jika kamu benar-benar perlu halaman bersemen, bisa juga dilakukan untuk membuat lubang-lubang kecil di halamn tersebut. Agar lebih bermanfaat, air yang diresap tanah tersebut terintegrasi dengan suplai air bangunan. Untuk itu, perlu dilakukan filterisasi berupa sand filter dan carbon filter, tergantung kebutuhan. Dengan ini, kamu sudah sangat membantu beban drainase kota yang begitu beratnya dan tentu saja menjaga kestabilan struktur tanah minimal di rumah kamu.
Kedua di saluran drainase kota. Sebenarnya fungsi drainase adalah untuk “merapikan” air yang jatuh ke Bumi di kawasan publik agar tidak mengganggu aktivitas masyarakat. Metode rainwater harvesting pada scope bangunan sangat bisa diaplikasi di scope perkotaan, hanya perlu kesepakatan bersama. Misalnya suatu RT menggagas untuk memiliki detention pond atau sumur resapan untuk menjaga kenyamanan dan kelestarian lingkungan di RT tersebut.
Masalah yang banyak terjadi untuk scope perkotaan adalah konstruksi dan sampah. Konstruksi yang terjadi banyak mengganggu saluran drainase alami maupun buatan. Beberapa contohnya adalah perumahan liar di bantaran sungai yang mempersempit badan sungai tersebut, atau penanaman kabel yang tidak rapi sehingga banyak sampah yang nyangkut di kabel-kabel tersebut seperti yang ditemukan pak Jokowi beberapa waktu lalu di sekitar jalan TB Simatupang.
Namun masalah konstruksi yang paling utama adalah bangunan apapun yang dibangun di atas catchment area dan tidak melakukan manajemen air yang benar, baik untuk rainwater harvesting maupun stormwater storing. Bangunan-bangunan yang dibangun dan secara otomatis mengurangi akses air menuju tanah inilah yang terjadi secara signifikan di Jakarta. Lihat kan? Masalahnya kembali ke bangunan. Seperti lingkaran.
Di samping konstruksi, masalah yang tidak kalah pamor juga adalah sampah. Buang sampah pada tempatnya atau di tempat sampah memang sesuatu hal yang amat remeh temeh namun berdampak besar. Saya tidak akan secara normatif menjelaskan dampak dari buang sampah sembarangan atau terutama di saluran drainase. Perlu kamu ketahui bahwa volume sampah Jakarta per hari mencapai 27.000 m3. Angka ini lebih dari setengah volume candi Borobudur yakni 50.000 m3. Jadi, sampah dua hari orang Jakarta sudah bisa membuat candi Borobudur baru!
Bayangkan saja kalau setiap orang berpikir bahwa sampah yang dibuang sembarangan itu sedikit. Memang sedikit, tapi kalau semua orang berpikir yang sama, dapatkah lagi kita berpikir serakan-serakan candi Borobudur ada di saluran-saluran drainase Jakarta? Nyangkut di leher-leher selokan atau di hilir-hilir sungai yang telah menyempit akibat sedimentasi?
Banjir Jakarta bukan hanya beban kerja Jokowi dan rekan-rekannya. Pemerintah Jakarta Baru cukup responsif dalam menangani masalah banjir dan segera melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait, baik pemerintah maupun industri. Pun, Pergub No. 38 tahun 2012 peninggalan Fauzi Bowo juga turut mendukung Bangunan Hijau. Kini saatnya masyarakat benar-benar menyadari bahwa what goes around comes back around. Banjir ini terjadi karena tangan-tangan kita sendiri. Mari berteman dengan air hujan. Mulai dari kebiasaan diri kita, rumah kita, dan bisa jadi diusulkan ke gedung tempat kamu bekerja untuk membantu saluran drainase Jakarta sedikit terlepas beban hidupnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H