25 Februari 2012 12.41 WiTa @ Home Mengejar Kebahagiaan dengan Kekayaan?!?
Kebahagiaan adalah hal yang dicari oleh semua orang. Banyak cara yang dilakukan untuk memperolehnya. Mulai dari cara-cara yang baik dan sopan hingga cara2 yang kurang baik menurut agama maupun norma masyarakat. Mengapa bisa demikian? Memangnya apa definisi kebahagiaan sehingga orang rela melakukan apapun untuk mendapatkannya? Apakah kebahagiaan identik dengan harta yang banyak, teman yang banyak, semua keinginan tercapai, atau apa? Mampukah kita mendapatkan kebahagiaan, meski kita tidak memiliki hal-hal di atas? Hal pertama yang perlu kita bahas adalah pengertian kebahagiaan itu sendiri. KBBI mendefinisikan kebahagiaan sebagai suatu keadaan atau perasaan senang tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan). Senada dengan definisi di atas, situs Wikipedia mendefinisikan kebahagiaan sebagai suatu keadaan pikiran atau perasaan yang ditandai dengan kesenangan, cinta, kepuasan, kenikmatan, atau kegembiraan. Para filsuf dan pemikir agama telah sering mendefinisikan kebahagiaan dalam kaitan dengan kehidupan yang baik dan tidak hanya sekadar sebagai suatu emosi. Definisi ini digunakan untuk menerjemahkan eudaimonia (Bahasa Yunani: εὐδαιμονία) dan masih digunakan dalam teori kebaikan. Para peneliti dari Oxford mengidentifikasikan beberapa hal yang berhubungan dengan kebahagiaan: hubungan dan interaksi sosial, status pernikahan, pekerjaan, kesehatan, kebebasan demokrasi, optimisme, keterlibatan religius, penghasilan, serta kedekatan dengan orang-orang bahagia lain. Sebuah pertanyaan yang menggelitik pemikiran saya saat membaca definisi-definisi di atas adalah apakah saat kita sudah memiliki semua hal di atas atau jika semua kriteria di atas telah terpenuhi, apakah serta merta akan mendatangkan kebahagiaan bagi kita? Ternyata tidak. Mengapa tidak? Jika kita kebingungan saat mendapat jawaban ini maka saya memberanikan diri bahwa hampir 100% dari kita yang bingung tadi, belum merasakan atau memiliki hal-hal yang kita sangka bisa mendatangkan kebahagiaan ini. Contohnya saja kekayaan, saya beri contoh sebagai berikut, saya bertanya kepada beberapa orang siswa dan mahasiswa yang saya tidak kenal latar belakangnya. Saya bertanya “seandainya anda setiap bulan diberikan Rp 50.000.000 sebagai uang saku apakah itu cukup dan akan membahagiakanmu?” Jika jawabannya seragam, saya akan menaikkan atau menurunkan jumlah tertentu dimana jawabannya menjadi berbeda-beda. Saya cukup kaget, bahwa ada seorang mahasiswa yang diberi uang makan Rp 50.000/bulan dan itu sudah cukup baginya sedangkan ada yang mendapatkan uang saku Rp 500.000/bulan namun tidak merasa jumlah itu cukup untuknya. Hei... What’s the problem? Mengapa hal ini menjadi relatif? Setelah saya menganalisanya, saya temukan bahwa pada saat seseorang terbiasa dengan uang yang banyak dan mulai terbiasa untuk membelanjakannya, maka di suatu saat ia akan merasa bahwa itu tidaklah menjadi cukup dan membutuhkan uang yang lebih banyak lagi dan bersamaan dengan itu ia mulai merasa tidak bahagia. Hal ini memaksa saya untuk mengambil kesimpulan bahwa uang secara khusus atau materi dan kepemilikan secara umum tidak membawa kepuasan yang abadi. Suatu saat itu akan tidak akan membawa kebahagiaan lagi. Contohnya saja adalah miliuner Austria, Karl Rabeder. (http://internasional.kompas.com/read/2010/02/12/1043560/Tidak.Bahagia..Miliuner.Austria.Jual.Semua.Hartanya). Ia mengatakan bahwa kekayaannya yang melimpah itu tidak membahagiakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H