Kabut tebal menyeruak dari balik bukit, selamat pagi baliem, segarnya udara, indahnya sungai baliem di depan mata, kehidupan kontras dari hiruk pikuk Jakarta, tanpa bising kendaraan, dering telpon genggam, udara berdebu.Terisolasi dalam kenyamanan.Sarapan sup hangat terenak yang dirasa di sudut Timur Indonesia, mengawali pagi.
Satu persatu bapa menyapa, selamat pagi dengan senyum ramah, sang bapa sudah lengkap dengan pakaian koteka dan tombak, bulu-bulu ayam yang dibentuk seperti topi menempel di kepala. Takjub sejenak menyaksikannya, sesaat saya meminjam tombak dan mencoba menirukan gerakan yang diajarkan bapa. Sebentar lagi kita akan menari perang, semua mace (sebutan bagi kaum perempuan) berkumpul dilapangan, berhias sali ( anyaman akar pohon yang dibentuk seperti rok) di kepala sudah menempel noken, noken bukan saja berfungsi sebagai tas namun sudah menjadi bagian dari kostum adat bagi mereka.
Tertegun melihat hiasan kuning dan putih di bawah mata, dan tanpa fikir panjang saya meminta mace membuatkanya untuk saya, dahulu kala hiasan ini dibuat dari tanah lempung, dioleskan di bawah mata, namun sekarang sudah banyak menggunakan pasta gigi yang berwarna putih, dan apabila ingin menjadi warna kuning mereka mencampurnya dengan kunyit.
Kedekatan semakin terjalin, saat mace mengoleskannya di bawah mata saya.Saya kini sudah menjadi Papua, topi berbulu dipinjamkan mace pada saya.Membuncah rasanya, saya bagian dari mereka.Pace juga berhias diri, taring babi di pasangkan dihidung, dan menghadap ke atas, dari posisi taring babi ini bisa melihat “mood”, apabila taring ke bawah itu tandanya sedang murka dan kalau taring menghadap ke atas itu pertanda sedang bahagia,topi bulu ayam melekat di kepala, roncean kerang terkalung bak dasi bertengger di dada, koteka menggantung di pinggang. …”ayoo kita siap berperang”… Sambil memompa langkah dan semangat kami semua berkumpul di lapangan, berhias panggung alam panorama bukit dan lembah baliem, sungai mengalir diantaranya, sekumpulan pace berteriak menyerukan perang akan dimulai.Drama perangpun disajikan, tak ingin melewatkan sedikitpun adegan demi adegan.Kamera saya terus memburu setiapgerakan tari perang ini.
Perselisihan dahulu selalu diselesaikan dengan perang, peperangan selalu mewarnai kehidupan masyarakat wamena, namun kini tari perang menjadi sajian seni nan indah, karena kelengkapan adat yang digunakan, dari tombak, bulu, taring, kalung kerang, rok sali, semua lengkap dan menciptakan suasana tersendiri.Taring babi diturunkan ke bawah, panah dan tombak diayun-ayunkan dan siap dihunuskan ke pihak lawan, teriak-teriakan semangat terus bergemuruh, dengan kata-kata tanpa makna, tapi jiwa ksatria begitu tergambar.Dan akhirnya perang usai dan kemenangan berhasil di raih, tari-tarian dan nyanyian senandung kembali keluar dari pace dan mace.Dan Kamipun turut serta tenggelam dalam tarian perang ini, bergoyang suka-suka dan berteriak suka suka. Karena semua itu menggambarkan kebahagiaan.
[caption id="attachment_300887" align="aligncenter" width="630" caption="Tari Perang bentuk Patriotisme"][/caption] Tak lengkap tarian perang tanpa suguhan bakar batu, karena upacara bakar batu ini sebagai bentuk rasa syukur, penghormatan pada tamu dan bentuk rasa kebahagiaan dan kebersamaan. Berjalan dengan riang kembali kekawasan Honai, kaum wanita pergi ke kebun memanen ubi (hipere),memetik daunnya dan menebas rumput-rumputan, sedangkan kaum lelaki mempersiapkan batu, menyusun kayu diatas sebuah lubang tanah berukuran 2 meter.Batu ditumpuk setinggi hampir setengah meter. Pak Albert selaku kepala suku mengambil sebuluh kayu, di tangan kanannya seutas tali rotan, …“ini untuk membuat api” …kata pak Albert.Kayu di letakkan di tanah, tali digesekkan berulang, semakin kencang dan asap mulai muncul dari celah kayu, jerami kering digenggaman pak Albert di dekatkan pada asap, dan menyambarlah api.Walau zaman sudah berteknologi tinggi, pemantik api tersedia, namun di desa ini adat dan tradisi tetap dipegang, hingga mulai dari memantik apipun masih dilakukan secara tradisional.Rasa Bangga menyeruak melihat kekayaan budaya ini.Semoga tradisi tetap utuh terjaga dan tak musnah di telan kemajuan teknologi [caption id="attachment_300888" align="aligncenter" width="630" caption="daun ubi sebagai sayuran siap di tata"]
Api kini sudah berkobar, kayu-kayu kering menjilat liar di setiap celah batu, batu kali yang terlihat pucat kini legam oleh bara api.Di tanah berlubang sisi lainnya para mace hilir mudik menumpuk hasil panen ubi mereka, daun ubi, alang-alang dan aneka rerumputan beraroma khas sebagai bumbu, tanpa garam, tanpa bumbu penyedap, ini adalah makanan organik sesungguhnya.Mengandung protein dari babi, karbohidrat dari ubi dan vitamin dari sayuran
[caption id="attachment_300889" align="aligncenter" width="630" caption="para Mace sibuk menata sayur diatas perapian, sebuah bentuk kebersamaan"]
…” hmmm enak sekali mace”... ucap saya dengan mata berbinar, ..“ayoo ini ambil… ambil yang banyak”.Rasa sentimentil mulai muncul, kerinduan akan sosok ibu yang telah tiada tiba-tiba merasuk, saya sudah seperti anak mereka, ingin rasanya memeluk mereka satu persatu.
Dari sebuah tampilan tari perang, kearifan lokal , dimana perselisihan diselesaikan dengan jiwa patriotisme, dan kemenangan di sajikan dalam kebersamaan dengan bakar batu.Cara memasak bakar batu yang sederhana, namun syarat akan gizi tinggi, mengapa tidak, karena kelengkapan karbohidrat telah disajikan oleh Hipere (ubi), daging babi dari protein, dan vitamin dari daun-daunan sebagai sayur.Dan tidak ada bumbu penyedap sintetis, minyak buatan pabrik, atau garam dan bumbu lainnya.Semua aroma dipadu padankan daam sebuah tungku batu panas, dalam asupan bumbu daun rempah, lemak babi dan manisnya hipere.
Jadilah bagian dari kekayaan budaya kita di jadilah satu dari saksi kekayaan Indonesia di Indonesia Travel . Terimakasih atas kesempatan yang diperoleh saya telah menjadi bagian dalam saksi kearifab budaya Papua, atas apa yang dirasa dan dilihat, turut merasakan keminiman gaya hidup, kesederhanaan bersahaja, mereka yang tak banyak menuntut apa-apa selain perut kenyang untuk menyambung hidup. Rasa haru menyaksikan saudara-saudaraku memakan hasil racikan makan siang mereka, seekor babi yang kami persembahkan, di sambut hangat dengan acara bakar batu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H