[caption id="attachment_152088" align="aligncenter" width="614" caption="Sambutan KH. Anwar Iskandar Dalam Halaqah RMI-NU"][/caption] Asalamualaikum Wr. Wb.
Bismillah Alhamdulillah. La haula wa la quwata ila billah.
Bapak ibu yang kami muliakan khususnya kepada Dr. Miftah Faqih dari PP RMI pusat yang pada sore hari ini mewakili pimpinan RMI. Yang saya hormati Bapak Walikota Kediri yang kali ini diwakili bapak Sekda. Kepada Dr. Ahmad Bakir Ketua NU cabang Kota Kediri yang sebenaarnya mewakili NU-Nu kita Kediri. Juga Gus Muid perwakilan dari RMI Kota Kediri. Dan seluruh panitia Serta peserta yang terdiri dari Kyai dan calon Kyai. Saya katakan Kyai karena memang sudah Kyai, sedang saya katakana calon Kyai itu karena masih Gus-gus. Gus-gus itu suatu saat akan menjadi Kyai kalau bapaknya sudah meninggal. Jadi penting juga Kyai itu meninggal, kalau bapak belum meninggal itu Gus-nya tidak bisa menjadi Kyai, masih Gus saja.
Kyai itu memang terhormat, tetapi tidak boleh sembarangan. Di sini ada Kyai yang baru, karena ada yang baru ditinggal mati bapaknya, kemarin Gus sekarang sudah Kyai, yakni Gus Ibad.
Pertama-tama atas nama tuan rumah kami ucapkan terima kasih kepada RMI baik pusat maupun cabang yang telah mempercayai kami sebagai tuan rumah. Kepercayaan ini satu kehormatan bagi kami karena untuk menjadi seperti ini ada seleksi yang ketat. Saya tidak tahu seleksinya seperti apa yang akhirnya dipilihlah al-Amin ini menjadi tempat kegiatan ini.
Tetapi bila ada hal yang kurang, tentu kami mohon maaf yang sebesarnya.
Selanjutnya kami ingin menyampaikan bahwa, hakikat dari pesantren itu bukan hanya sekedar tempat bagaimana mentransformasi ilmu. Tetapi juga tempat untuk mentransformasi nilai, salah satunya adalah yang terkenal dengan karakter. Jadi tidak ada santri yang pondok, keluar itu tidak memiliki karakter. Jadi pesantren itu hakikatnya itu transformasi Ilmu sekaligus trasformasi nilai. Mungkin lebih tinggi lagi transformasi ajaran. Oleh karena itu pesantren melahirkan bukan saja orang alim, orang pinten, tetapi juga orang yang memiliki prinsip, memiliki kemampuan untuk memimpin, memiliki kemampuan untuk memahami masasalah yang dibutuhkan umat.
Dalam konteks itu kita kumpul di sini. Bahwa yang namanya Gus-gus itu, Ikatan Gus-Gus Indonesia (IGGI). Gus itu maknanya tidak sekedar anak Kyai, tetapi maknanya Gus itu adalah tanggung jawab ke depan. Maka Mustafa al-A’yani mendefinisikan generasi muda itu subanul yaum rijaulu ghot. Gus hari ini nanti itu pemimpin di masa yang akan datang. Jadi artinya apa, bicara tentang transformasi nilai yang jadi tugas pesantren itu, yang mempunyai tugas mentransformasikan ilmu dan nilai, bicara tentang nilai itu antara lain adalah nilai tanggung jawab. Tanggung Jawab! Hakikat Gus itu tanggung jawab. Mungkin orang lain mengatakan bahwa Gus itu anaknya Kyai, tetapi hakikatnya dalam dirinya itu ada sebuah hal yang namanya tanggung jawab.
Tanggung jawab untuk apa? Tanggung jawab untuk membawa pesantren sebagai lembaga yang bahasa agamanya itu sangat sederhana sekali, khoirun nasi anfauhum lin nas. Jadi itu saja. Menjadi lembaga yang terbaik menurut Allah, yaitu yang paling berbuat manfaat bagi manusia. Biar bermanfaat, maka sejak dulu pesantren didesain, bukan hanya mengajarkan ilmu kepada santri tetapi pesantren juga sebagai sayap dakwah, pesantren sebagai pemberdayaan ekonomi masyarakat dan umat, pesantren adalah lembaga untuk bertanya tentang problem yang dihadapi umat, dalam kata lain pesantren itu match dengan kehidupan umat. Pesantren sanggup membenarkan Ibadah masyarakat, akidah masyarakat, dan juga akhlak umat. Tetapi masyarakat adalah jawaban ketika pesantren itu hidup di situ, itu masyarakat diberdayakan, bisa ngopeni masyarakat di sekitarnya.
Kita bisa kembali ke belakang di tahun 1949, ketika Mbah Hasyim mengeluarkan Komando Resolusi Jihad, itu pesantren ternyata Match dengan kepentingan Bangsa dan Negara. Maka ada Resolusi Jihad. Jadi Pesantren ini bagian dari kehidupan masyarakat, dan kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini. Tidak bisa kita menilai hanya bagian dari nasrul ilmi saja. Kalau kita mengartikan pesantren demikian itu kita terjebak dalam kesempitan berfikir dan akan menjadikan pesantren itu tak ada nilainya, kecuali hanya bernilai ilmu. Oleh karena itu ada ucapan, ini syiirnya ulam besar, Abul A’la al-Ma’ari. Apa kata beliau, wa innamal ummamu akhlakuma bahgyat, wa in humu dzahabadz akhlakuhu dzahabu. Sebuah bangsa itu akan dikatakan sebagai bangsa yang eksis kalau karakternya itu ada. Kalau bangsa itu karakternya tidak ada itu tidak ada nilainya. Ini bagian dari apa yang saya katakan sebagai tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan tadi itu. Jadi di depan kita itu ada tanggung jawab besar. Ketika pendahulu kita menanamkan sebuah filosofi hidup yang menjadi way of life kita yaitu Pancasila. Yang menjadi national in character building. Dan itu hakikat kesejatian bangsa Indonesia itu ya itu. Bangsa yang berketuhanan, itu bangsa yang berperikemanusiaan, bangsa yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan, dan bangsa yang berkeadilan sosial. Dan itu habis ketika gelombang reformasi itu datang di negeri ini. Bagaikan bangsa yang kebingunan sekarang ini. Yang ada adalah caci maki, tawuran, ukuran hidup ini bukan lagi kebenaran, tetapi berapa anda berani membayar saya. Jadi transaksional ini terjadi di mana-mana. Ini anak buah dari Liberalism. Ketika reformasi ini datang Liberalisme ini datang juga membawa kebebasan, membawa kehidupan yang matrealistis. Habislah bangsa kita. Hampir dikatakan kita kehilangaan karakter. Kalau kita kehilangan karakter, kata ulama, ketika karakter bangsa ini tidak ada, ya tidak ada artinya bangsa ini. Kalau sudah tidak artinya bangsa ini, tinggal dibuat permainanlah bangsa ini oleh orang lain. Tidak usah Amerika yang permainkan kita, kegedean, Malaysia itu saja mempermainkan kita. Dijahati, tapal batas digeser, geger. Belum kita bicara ekonomi, siapa yang digebuki diluar negeri karena jadi TKI, siapa yang dikejar-kejar polisi di hutan-hutan Malaysia. Itu orang-orang kita semua, apa kepedulian kita pada itu semua?
Hal-hal itu yang kita musti pikirkan. Ini yang artinya, subanul yaum rijalul ghoth. Gus hari ini adalah pemimpin di masa depan. Itu artinya ada responbility, ada tanggung jawab. Bukan menikmati kehidupan di pesantren yang seolah-oleh dimanjakan oleh keaadaan. Kemanjaan di pesantre, semua mencium tangan. Itu baik di satu sisi, tetapi kalau tidak hati-hati itu membuat Gus-gus terlena dan akhirnya menjadi bodoh karena keadaan.
Kyai-kyai itu menjadi besar karena ia hadir tidak hanya dalam ilmu, tetapi hadir dalam berbagai bidang kehidupan. Karena dia hadir di tengah masyarakat, karena ia hadir di kehidupan. Bukan hanya hadir dalam segi dakwa yang bersifat lisan, tetapi dakwa yang bersifat hal.
Dari sinilah Pesantren harus merasa terpanggil ketika bangsa ini ketika sedang duka, pesantren harus hadir ketika bangsa ini sedang hampir kehilangan pegangan tongkat, pesantren harus hadir ketika bangsa ini hampir kehilangan way of life, pesantren harus hadir saat bangsa ini sedang hampir kehilangan national in character building.
Karena itu perlu pemahaman bersama tentang apa yang musti bisa lakukan. Apakah ketika bicara tentang karakter kebangsaan ini juga termasuk bahasan agama, atau juga jadi bagian dari perjuangan pesantren. Itu semuanya harus kita ratakan pemahamannya. Jangan muncul, itu bukan tugas pesantren itu tugas NU misalnya.
Itu harus kita ratakan dulu pemahamannya agar kita tidak terjebak dalam pojok yang tersempit dalam percaturan politik, sosial, dan budaya bangsa ini. Karena pesantren dan ulama pesantren senantiasa hadir di tengah perjuangan bangsa ini. Bahkan ikut menjadi bagian, seperti halnya founding father ini mendirikan bangsa ini.
Ada keterpanggilankah kita yang notabene mengatakan sebagai penerus perjuangan para ulama. Kalau kita katakana iya, maka kita harus sanggup untuk menerima tanggungjawab itu tadi. Saya kira ketika kita bicara soal dalil, saya kira sudah cukup bagi kita para pemimpin pondok pesantren ini harus meningkatkan pemahaman akan muskilat bangsa dan Negara ini.
Ketika bangsa Indonesia ini tidak mampu mengekspor teknologi, orang lain mengekspr teknologi ke kita, kita baru bisa mengekspor manusia. Hal ini harus menjadi bagian kita fahami yang sebagai menantang kita untuk kita jawab dan apa jawaban kita. Kalau pesantren bisa didirikan di setiap desa, dan pesantren menjadi sentra bagi pemberdayaan umat, saya kira hal itu semua tidak akan terjadi.
Ini wajah kita sedang tecoreng, bangsa kita menjadi babu, ada yang didzalimi. Dan kita tidak bisa berbuat apa-apa. Ada yang dibunuh, dipancung. Di Cina ada 285 orang Indonesia yang akan dihukum mati, tidak hanya di Arab. Apa jawaban kita atas itu semua?
Jadi salah satu sudut yang perlu kita pahami bagaimana karakter bangsa ini. Dan kita sudah memiliki pedoman yang jelas, ketika bangsa ini masih memiliki karakter yang kuat, masih eksislah bangsa tersebut. Dan ketika karakter bangsa itu sudah tidak ada tidak ada artinya bangsa itu. Mengapa orang Korea, mengapa orang Jepang, kenapa mereka bisa membuat teknologi yang sangat besar menggetarkan dunia. Tetapi mereka itu masih berpegang pada karakter kebangsaannya. Kimono misalnya, itu masih menjadi hal terpenting dari kehidupan mereka. Ini bapak ibu sekalian yang bisa saya sumbangkan sebagai pikiran orang pesantren, ya tentu tak berharap, pesantren akan absen dari persoalan bangsa ini. Dan saya harap pesantren mampu memahami persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa ini. Belum lagi tentang radikalisme yang mau tidak mau menohok Islam dan pesantren. Ketika bicara radikalisme dan terorisme itu citra Islam dan pesantren kita yang dipertaruhkan. Bahkan ada yang menunjuk langsung. Perdana menteri Singapura, Lee Kuan Yew mengatakan pesantren-pesantren itu adalah persemaian terorisme internasional. Kalimat ini berbahaya sekali, bukan Islam saja yang dikatakan tetapi juga pesantren. Apa jawaban kita. Ucapan ini tidak boleh hanya dengan ucapan, dijawab dengan realitas. Umat Islam bukan seperti yang dikatakan Lee Kuan Yew. Dan Barat lebih percaya Lee Kuan Yew dari almukarom di Negara kita. Kalau Lee Kuan Yew bicara begitu, Amerika pasti percaya dan CIA sudah datang di tempat kita. Kalau kita sudah bicara seperti ini, kita sudah bicara jati diri bangsa kita. Sesuatu yang tidak bisa kita anggap remeh, akan menentukan eksistensi bangsa kita.
Selamat semoga kuat sampai tiga hari, kalau mau bisa tidur di sini. Kalau mau pulang silahkan pulang karena punya istri, dan menggauli istri itu bagian dari ibadah yang paling ikhlas di dunia. Tetapi kami ingin sempurna memahami ini karena ilmu yang akan didapat dari halaqah ini akan bermanfaat bagi kita. Terima kasih. Wasalamualaikum Wr. Wb.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H