Istilah "pinjam dulu seratus" yang sempat viral di media sosial menggambarkan kondisi masyarakat Indonesia yang biasa untuk saling pinjam-meminjam uang.
Kebiasaan saling pinjam-meminjamkan uang tak bisa dilihat hanya dari sudut pandang saja. Karena kebiasaan saling pinjam-meminjam bisa baik dan buruk.
Baik jika peminjam benar-benar dalam keadaan darurat, kepepet dan segera mengembalikan pinjaman jika sudah punya uang.
Tapi bisa sangat buruk jika meminjam uang kepada teman atau saudara hanya untuk keperluan yang tidak penting seperti untuk gaya hidup dan lain sebainya.
Keadaan ini akan bertambah buruk, jika yang meminjam susah untuk mengembalikan uang pinjamannya.
Padahal meminjamkan uang antar teman, saudara, keluarga, akan benar-benar menjadi solusi di tengah banjirnya pinjol atau koperasi ilegal dengan bunga yang sangat tinggi.
Terlebih jika dalam keadaan darurat seperti untuk membiayai pengobatan, pendidikan, dan lain sebagainya, pinjam ke teman, saudara, keluarga, bisa sangat membantu.
Meminjam ke teman, saudara, keluarga, biasanya tak perlu mengembalikan dengan bunga, dan juga tempo pengembalian yang lebih fleksibel.
Namun "pinjam dulu seratus" biasanya justru digunakan untuk menyindir orang-orang yang bersikap baik jika ingin meminjam uang, tapi berubah menjadi brutal jika ditagih.
Dan orang yang seperti itu berada di mana-mana, dan mungkin berada di sekitar kita. Pinjam-meminjam yang tadinya jadi solusi darurat, kini berubah jadi kecurigaan jika ingin meminjamkan uang, "nanti dikembalikan tidak, ya?", "jangan-jangan nagihnya susah," dan lain sebagainya.