Sesudah di Inggris dipelopori oleh Thomas Hobbes (1588-1679) dan DavidHume (1711-1776) dan di Jerman oleh mahzab Hukum historis, maka Positivisme hukum menguasai pemikiran hukum barat dalam abad ke-19 dan dalam bagian pertama abad ke-20. Bentuk yang paling murni dan canggih diperoleh dalam ajaran hukum murni Hans Kelsen (1881-1973).
Dalam pendekatan yang dilakukan oleh Kelsen yang disebut The Pure of Law mendapatkan tempat tersendiri karena berbeda dengan dua kutub pendekatan yang berbeda antara mahzab hukum alam dengan positivisme empiris. Beberapa ahli menyebut pemikiran kelsen sebagai "Jalan Tengah" dari dua aliran hukum yang telah ada sebelumnya.
Empirisme hukum melihat hukum dapat direduksi sebagai fakta sosial. Sedangkan Kelsen berpendapat bahwa interpretasi hukum berhubungan dengan norma yang non empiris. Norma tersebut memiliki struktur yang membatasi interpretasi hukum. Di sisi lain, berbeda dengan mahzab hukum alam, Kelsen berpendapat bahwa hukum tidak dibatasi oleh pertimbangan moral. Tesis yang dikembangkan oleh kaum empiris disebut dengan The Reductive Thesis, dan anti tesisnya yang dikembangkan oleh mahzab hukum alam disebut dengan Normativity Thesis.
Posisi Positivisme Hukum dapat diterangkan dengan mudah, karena bersifat jelas. Positivisme hukum menganut dua prinsip dasar. Yang pertama, hanyalah hukum positif adalah hukum. Kedua, walaupun suatu isi hukumm hukum ditolak, misalnya karena dianggap melawan prinsip-prinsip moral, namun hukum itu tetap berlaku. Atau dengan kata lain, setiap Undang-undang yang terjadi sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum, berlaku sah entah apa isinya. dengan demikian apakah sebuah norma berlaku sebagai hukum atau tidak, tergantung isinya, melainkan dari apakah norma itu diperundangkan sesuai dengan prosedur perundang-undangan yang berlaku. Sebagaimana dirumuskan oleh Hobbes, “Otoritas, bukan kebenaran, merupakan hakikat undang-undang”.
Dengan demikian berlainan dan ruang sudah tertutup bagi fungsi sebuah hukum kodrat. Keberlakuan norma-norma hukum tidak tergantung dari apakah isinya sesuai dengan suatu hukum prapositif yang dianggap normatif lagi. Satu-satunya kriteria keberlakuan adalah perundangnya yang resmi. Hukum adalah Undang-undang.
Posisi ini mengimplikasikan perpisahan tajam antara hukum dan moral. Hukum adalah sistem norma-norma, itulah mengapa hukum bersifat normatif. hukum yang bersistem norma norma yang ditetapkan oleh penguasa yang sah dengan cara yang sah juga. Hukum tidak ditaati karena dinilai baik, melainkan telah ditetapkan oleh otoritas yang sah. Secara konsekuen Karl Bergbohm menuntut bahwa "juga hukum yang paling jahat, sejauh diadakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan formal", harus diakui keberlakuanya.
Anggapan ini tidak mengimplikasikan bahwa seseorang positivisme hukum harus menolak adanya norma-norma moral yang secara moral mengikat. Yang ditolaknya ialah bahwa keberlakuan norma-norma hukum tergantung dari norma-norma moral. Positivisme pun tidak harus menyangkal kemungkinan bahwa ada peraturan-peraturan hukum yang tidak adil dalam artian moral. Tetapi penilaian itu tidak mempengaruhi keberlakuan peraturan-peraturan itu. Selama peraturan itu tidak ditarik kembali, ia tetap mengikat.
Positivisme hukum tidak menutup pintu agar hukum diperbaiki. Tetapi perbaikan itu harus menurut prosedur perubahan Hukum. Jadi apabila kita karena alasan apapun tidak puas dengan suatu ketentuan hukum, kita dapat saja mengambil jalan legal untuk mengusahakan suatu perubahan. Tetapi selama perubahan itu belum efektif, ketentuan lama berlaku.
Positivisme Hukum kiranya juga dapat menerima kalau seseorang, karena suara hatinya, jadi berdasarkan penilaian moralnya, tidak mau taat kepada hukum yang berlaku. Itulah kasus Conscientious Objector. Penolakan ini bisa saja merupakan tindakan terpuji secara moral. Tetapi hakim tetap harus menjatuhkan sanksi hukum atasnya. Dengan demikian bisa disimpulkan anggapan positivisme adalah bahwa hakim wajib untuk selalu mendasarkan keputusan-keputusanya pada hukum yang telah diresmikan atau dilegalkan dengan tidak memperhatikan pertimbangan-pertumbangan keadilan dan lain-lainya di luar hukum positif.
Dalam praktiknya, penggunaan pardigma positivisme dalam hukum modern ternyata menghambat pencarian kebenaran dan keadilan yang benar sesuai dengan hati nurani. Pencarian itu terhalang oleh tembok-tembok prosedural yang diciptakan oleh hukum sendiri. Kemudian yang mucul dipermukaan adalah keadilan formal ataupun prosedural yang belum mewakili atau memenuhi hati nurani. Dimulai sejak akhir abad 20 dan memasuki abad 21, perkembangan pemikiran tentang hukum dan keadilan didominasi dengan rasa prustasi, skeptis, dan pesimistis.
Dampak dari perkembangan paham positivisme tersebut terhadap moderinisasi hukum dengan munculnya kekakuan kekakuan hukum yang dianggap bahwa hukum di dalam hukum modern itu tidak mampu menciptakan keadilan yang sesungguhnya. Hal ini menandakan, hukum hanya merupakan alat (tool)yang diposisikan sebagai kuda penarik beban sesuai dengan keinginan sang majikan, yaitu punguasa yang mempunyai kewenangan dan pengusaha sebagai pemilik modal. Kondisi semacam ini akan membawa konsekuensi yang tidak baik terhadap perkembangan hukum modern, baik saat ini maupun masa yang akan datang.