Singkatnya, dari sisi eksistensi, Pesantren dengan corak multikultural mampu mempertahankan keberadaannya. Bahkan sampai kapan pun juga, dengan mempertahankan cita rasa perpaduan adat (budaya) dengan proses pendidikan keagamaan terbukti membawa pesantren diterima di tengah kehidupan masyarakat (Indonesia). Lebih jauh Paul C. Gorski, menjelaskan bahwa tujuan pendidikan multikultural sebagai proses transformasi.Â
Ketiga tujuan transformasi ini dimasukkan dalam rumusan kurikulum pendidikan dengan melakukan pemeriksaan dan pengukuran terhadap segala aspek pendidikan, seperti persiapan guru, materi pendidikan, kurikulum, ruang kelas, praktik konseling, dan assessment (Paul C. Gorski, 2005:12-15). Apa yang dikatakan oleh Gorski itupun secara keseluruhan tercover dalam bingkai pesantren.
Bagaimana dengan (pengakuan) oleh negara? Apakah pesantren yang demikian besar kiprahnya pada generasi bangsa (masih) membutuhkan rekognisi dari negara? Tidakkah pesantren bagian yang tak terpisahkan dengan negara?Â
Memang tidak dapat dipungkiri pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul sebagai reaksi atas besarnya (jasa) pesantren pada negara. Namun, di muka telah disinggung bahwa secara historis justru pesantren lah yang ikut 'membidani' lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.Â
Terlebih, mencerdaskan kehidupan bangsa yang menjadi salah satu elemen penting tujuan pendidikan pesantren termaktub pula sebagai tujuan nasional bangsa Indonesia (Pembukaan UUD NRI 1945).Â
Jadi, kalau berkaca pada landasan filosofis demikian, sebenarnya justru negara yang mendapatkan pengakuan dari pesantren. Sekarang tinggal negara, bagaimana akan bertindak terhadap pihak yang berjasa padanya. Menyingkirkan, mendiskreditkan atau memberikan penghargaan?
Telaah lain dari aspek nilai kepesantrenan, hampir dapat dipastikan para pengajar (sebutan penulis) di pesantren, tidak ada satu pun yang berharap imbal balik atas tindakan yang dilakukan pada santri nya.Â
Semata-mata hanya menjalankan perintah agama, mentransformasi keilmuan agama dan mencerdaskan kehidupan bangsanya sebagai bagian hubbul wathon. Maka jika berbondong-bondong muncul serangkaian pendapat bahwa kelahiran RUU LPKP dalam rangka melegitimasi rekognisi negara pada pesantren, hemat penulis perlu dilakukan kajian mengenai standard nilai di pesantren.Â
Ataukah justru memang nilai-nilai kepesantrenan sudah berubah? Sejak kecil hingga saat ini penulis hidup di tengah iklim pesantren. Sampai saat ini pula, nilai itu tetap dan tidak berubah.
Berdasarkan penelitian Marzuki, dkk., dalam temuannya menjelaskan bahwa pesantren mampu mewujudkan pendidikan Islam multikultural. Kalangan pesantren bisa mengintegrasikan antara tradisi lama dan tradisi baru.Â