Langit baru saja berhenti menangis saat aku menerima pesan singkat dari Leah. Dalam pesan siangkatnya, dia menyebutkan akan pulang hari ini. Dengan senyum merekah aku menekan beberapa huruf pada ponsel, memberitahu bahwa aku akan menjemputnya di bandara. Tak beberapa lama, pesannya datang lagi. Dia menyetujuinya.
***
Di batas senja aku dan Leah duduk di buritan kapal kayu berukuran sedang. Kapal yang kami tumpangi sedang berjuang memecah gelombang, demi mengantarkan kami kembali ke pelabuhan tempat tadi pagi berangkat.
Seperti biasa, kami duduk di bagian paling belakang, memandang lautan lepas. Kuperhatikan wajah wanita yang sudah mengisi hatiku tiga tahun ini. Segaris dia nampak murung, sangat berbeda dengan tadi pagi saat kami pergi. Dia hanya menatap lautan luas tanpa mempedulikan kekasih yang sedari tadi memerhatikannya. Â Sebenarnya aku ingin membiarkan Leah seperti itu. Tapi akhirnya, aku memegang bahunya.
"Leah ...."Aku mencoba membangunkan dia dari lamunan.
Leah tidak menjawab, masih berkutat pada pikirannya yang entah apa. Aku melepaskan peganganku pada bahunya, kali ini aku kembali membiarkan. Aku ikut hanyut memandang ke arah mana Leah menatap. Kuperhatikan laut lepas dengan latar belakang awan biru yang sedikit demi sedikit mulai menghitam. Mungkin dia juga memerhatikan hal yang sama—belasan ekor burung laut yang sejak tadi terombang-ambing mengikuti gerak gelombang, kemudian mulai terbang satu persatu meninggalkan lautan. Dan setelah semuanya pergi, yang terlihat hanyalah lautan dengan awan yang semakin hitam seperti mengejar kapal yang kami tumpangi.
"Re," katanya pelan, sambil terus menatap laut lepas.
Aku mencoba menatap wajahnya yang sendu, "Iya."
"Setelah kupikir-pikir ...," katanya terputus.
Aku tidak berusaha menjawab. Aku menunggu kalimat yang akan keluar berikutnya, sambil terus berusaha menemukan bola mata indahnya. Tapi sayangnya sampai beberapa detik aku mencarinya, mata indah itu tak kunjung datang.
"Ini tentang hubungan kita," ucapnya lirih.