Pendidikan: Jasa atau Hak?* Dalam melihat carut marut regulasi pendidikan hari ini (RUU PT, UN sebagai tes masuk PT, kebijakan jurnal ilmiah untuk S1, sertifikasi seniman, Judicial Review RSBI, dmbl.), perlu diperhatikan paradigma apa yang melatarbelakanginya; seperti apa sebenarnya pendidikan dimaknai. Setidaknya ada dua perspektif yang berkembang dan bisa diperdebatkan dalam melihat pendidikan, yaitu pendidikan sebagai jasa alias komoditas bisnis, diperdagangkan bagi yang ingin membeli, dan pendidikan sebagai Hak Asasi Manusia yang harus terpenuhi demi ‘pembebasan dari dan untuk’ dan memanusiakan manusia. Kedua-duanya memiliki landasan normatif dan konsekuensi yang mengikuti. Kedua hal inilah, landasan normatif dan konsekuensi, yang akan dibahas di sini. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi General Agreement on Trade in Services (GATS) dari World Trade Organization (WTO), yang memasukkan pendidikan menjadi bagian dari 12 komoditas perdagangan jasa internasional. Namun hingga kini, berbagai pihak menolak ratifikasi ini dan menuntut negosiasi atau pembatalan ratifikasi. Berbagai pihak tersebut di antaranya koalisi-koalisi pemerhati pendidikan seperti Komite Nasional Pendidikan (KNP) yang sebelumnya Aliansi Advokasi Pendidikan Nasional. Ratifikasi tersebut dianggap bertentangan dengan falsafah pendidikan bangsa yang telah digariskan oleh Bapak Pendidikan Nasional sekaligus Mentri Pendidikan Nasional pertama yaitu Ki Hajar Dewantara, yaitu untuk membebaskan dan memanusiakan manusia, dan juga amanat konstitusi yaitu Preambule UUD 1945 (1 dari 4 tujuan bernegara: mencerdaskan kehidupan bangsa) dan pasal 28 tentang Hak Asasi Manusia dan pasal 31 tentang Pendidikan dan Kebudayaan. Pendidikan = Jasa Landasan normatif dari memandang pendidikan sebagai jasa adalah logika ekonomi dan perdagangan, yaitu melihat suatu hal sebagai bagian dari proses ekonomi (perencanaan, produksi, distribusi, konsumsi). Pendidikan dilihat sebagai jasa dagangan yang ditawarkan oleh penyelenggara pendidikan dalam suatu pasar pendidikan, dan pihak yang ingin dan mampu membeli, bisa memilih untuk membelinya, sedangkan yang tidak, tidak membelinya. Apabila pendidikan diselenggarakan oleh pemerintah, hal ini dilihat sebagai investasi human capital negara terhadap rakyatnya sendiri, yaitu dibutuhkan SDM yang unggul untuk mendukung persaingan perekonomian negara di tingkat global pada puluhan tahun pasca masa pendidikan tersebut, maka negara perlu memberikan value addedterhadap proses pendidikan yang sedang berjalan. Namun perspektif pendidikan sebagai jasa tersebut memiliki konsekuensi-konsekuensi, di antaranya adalah pendidikan menjadi jasa eksklusif yang hanya bisa dinikmati oleh pihak yang mampu menanggung biayanya. Tanpa permintaan efektif, transaksi tidak akan berjalan karena pihak yang ingin namun tidak mampu tersebut hanya menjadi permintaan absolut. Selain itu, pihak yang dianggap memiliki modal kecerdasan kurang, akan tidak diberikan ‘investasi value added’ oleh pemerintah dalam pendidikan karena tentu lebih strategis dan menjanjikan untuk pemerintah mendanai pihak yang lebih potensial untuk berkembang dan menjadi SDM unggul. Karenanya, pihak yang memiliki kecerdasan di bawah rata-rata tidak dibantu oleh pemerintah dalam membeli jasa pendidikan. Pendidikan = Hak Tanpa kemampuan untuk mengakses jasa pendidikan, dan tanpa bantuan dari pemerintah, mereka yang tidak mampu akan mengalami keterbelakangan (kemiskinan dan kebodohan) struktural. Secara struktural, posisi mereka dalam struktur sosial telah terkunci di bagian bawah, dan terhambat untuk melakukan mobilitas sosial ke atas karena terbatasnya akses terhadap pendidikan hanya bagi yang mampu membayarnya dan terbatasnya pula kemampuan mereka untuk ‘membeli’ pendidikan. Lain hal nya jika pendidikan dilihat sebagai hak. Secara common sense, kita mengetahui bahwa kebutuhan dasar bagi manusia itu ada tiga: sandang, pangan, dan papan. Dengan memakai baju, bisa makan, dan tidur di bawah atap, maka seorang manusia telah terpenuhi kebutuhn dasarnya, telah termanusiakan. Pandangan yang berdasar pada piramida kebutuhan dasar Abraham Maslow ini perlu dikritisi, karena, dengan hanya berpakaian, makan, dan tidur di bawah atap, apa bedanya seorang manusia yang merdeka dari seorang budak? Seseorang yang tidak merdeka dapat memiliki ketiganya kecuali kebebasan untuk berpikir, bertanya, memilih, berencana, dan tindakan-tindakan pikiran lainnya. Seorang manusia dengan hanya tiga kebutuhan dasar tersebut akan merasa cukup dan tidak memiliki kesadaran, consciousness, untuk memenuhi esensi keberhidupannya yaitu berkembang. Oleh karena itu selayaknya persepsi bahwa kebutuhan dasar itu adalah sandang, pangan, dan papan, dirubah dengan memasukkan pendidikan sebagai unsur keempat. Ketiga unsur pertama adalah aspek material dari kebutuhan manusia, padahal manusia sebagai makhluk hidup tidak terdiri dari aspek material saja melainkan dua sisi dengan aspek ideasionalnya. Pendidikanlah yang mewakili aspek ideasional dari kebutuhan manusia. Dengan mengenyam pendidikan sebagai hak dan juga kebutuhan lah, keberhidupan seorang manusia dapat seimbang dan harmonis. Peran Negara Lalu, jika manusia berhak, siapakah yang berkewajiban untuk memenuhinya? Konsep hak-kewajiban selalu bersifat dua arah, terjadi antara dua pihak. Dalam kontek bernegara modern saat ini—pasca Traktat Westphalia tahun 1648, jawabannya sudah jelas. Subjek hukum dalam suatu negara dibagi menjadi dua, yaitu warga negara yang dalam tindakan-tindakan hukumnya selalu berhubungan dengan negara, dan badan hukum yang dipisahkan dari negara. Di samping aspek-aspek lain, dalam aspek ekonomi, peran negara yang paling konkrit adalah pembayaran pajak, pengakumulasiannya di APBN, lalu pengadaan fasilitas-fasilitas umum dan pelayanan publik. Seorang warga negara hampir tiap hari pasti berinteraksi secara tidak langsung dengan negara melalui transaksi jual beli, yang mana semua komoditas dalam teritorial suatu negara telah terkenai pajak dalam berbagai bentuknya. Dengan kesediaan warga negara untuk selalu memenuhi kewajibannya yaitu membayar pajak ke negara, sudah sewajarnya untuk warga negara juga meminta haknya dipenuhi. Di sini lah peran negara sebagai pemerata dan jangkar sosial berjalan; jika yang diinginkan adalah perbedaan dan ketimpangan, untuk apa ada negara? Apakah justru untuk menjamin terlanggengkannya perbedaan dan ketimpangan tersebut? Menurut Stiglitz, seorang Ekonom Keynesian, mantan penasehat World Bank, pendidikan adalah sebuah ’publicly provided private goods’. Terlepas dari anggapan teori ekonomi mainstream bahwa pendidikan bersifat non-rivalry dan non-excludable sehingga menyebabkannya secara esensial menjadiprivate goods, aspek penyediaannya, providing, menurut Stiglitz, tetaplah publicly, secara publik, alias oleh negara. Tujuan bernegara dalam Preambule UUD NRI 1945 dan substansi pasal 28 dan 31, menyuratkan bahwa konsitusi kita, terlepas dari perdebatan teoretis yang terus berjalan dan tidak terbendung, telah memilih dan mengamanatkan pendidikan sebagai public goods. Dengan segala hormat terhadap segala proses dialektika yang harus terus berjalan, perlu disadari bahwa perdebatan ideologis tersebut telah terjadi dan selesai puluhan tahun lalu. Mengutip Taufik Basari, Pakar Filsafat Hukum dan Lawyer pada Judicial Review UU BHP ke Mahkamah Konstitusi, “Pendidikan itu seperti air, udara dan jalan raya”. Kovenan HAM Ekosob yang telah diratifikasi Indonesia menjadi UU No. 11 tahun 2005 juga telah memberikan basis norma internasional untuk melihat pendidikan sebagai hak, bukan sebagai jasa seperti yang disuratkan oleh ratifikasi GATS beberapa tahun sebelumnya. Dalam Kovenan HAM Ekosob pasal 13 ayat 2 C, dinyatakan bahwa “Pendidikan tinggi juga harus tersedia bagi semua orang secara merata atas dasar kemampuan, dengan segala cara yang layak, khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-cuma secara bertahap”. Lalu? Melihat Pendidikan sebagai HAM berkonsekuensi pemenuhan, perlindungan, dan penghormatannya (to fulfill, to protect, to respect) oleh negara. Hak seluruh warga negara terhadap pendidikan harus diusahakan untuk dipenuhi karena ini adalah bentuk timbal-balik dari pajak dan kedaulatan yang diberikan oleh warga negara terhadap negara, walau tentunya jika melihat realita, itikad ini tidak realistis dan tidak perlu juga untuk dilakukan secara serta-merta, revolutif, sekali jadi saat ini juga. Selain itu, hak atas pendidikan yang telah terpenuhi harus juga dilindungi untuk tidak terhilangkan atau dicederai, yang mana perincian lebih lanjutnya sangat luas, mulai dari non-diskriminasi SARA dan kemampuan finansial dalam pendidikan, dan lain-lain. Selain itu, hak atas pendidikan juga harus dihormati yang berarti di antaranya negara juga harus mempersilakan yayasan-yayasan non-pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan swasta dengan caranya sendiri jika diinginkan, yangmana dalam hal ini konteksnya terlepas dari pendidikan sebagai hak yang harus dipenuhi negara, berbeda dari pendidikan sebagai public goods yang bermuatan relasi negara-warga negara. Di sisi lain, logika pendidikan sebagai jasa dan pendidikan sebagai hak, jelas bertentangan. Logika ekonomi yang dijalankan oleh perusahaan sebagai aktor pasar akan melihat pendidikan sebagai jasa yang profit-center, sedangkan logika HAM yang dijalankan oleh manusia sebagia warga negara akan melihat pendidikan sebagai hak yang justru memang cost-center. Dalam penyelenggaraan pendidikan berbasis paradigma HAM, tidak bisa diharapkan return keuntungan ekonomis karena memang bukan itu tujuannya; tujuannya dalah pemenuhan HAM. Kalaupun ada return yang didapat, itu terjadi dalam jangka panjang dan tidak selalu secara langsung bersifat ekonomis karena SDM unggul yang akan terbentuk tidak bisa terlepas dari esensi manusia itu sendiri yaitu unik, kasuistik, berkembang untuk memenuhi esensi keberhidupannya dengan pilihan caranya masing-masing. Merespon fenomena-fenomena tak ternafikan yang berkembang seperti skema besar swastanisasi pendidikan yang terjadi secara global beserta perlawanan masyarakat sipil terhadapnya (Belanda, Chile, Kanada, Indonesia, dmbl.), warga negara selayaknya sadar akan haknya, karena secara otomatis dengan menjadi warga negara itu sendiri, ia sebenarnya telah memenuhi kewajibannya, sedasar-dasarnya: penyerahan kedaulatan untuk diatur oleh negara dan penyerahan pajak. Tekanan yang wajar terberi kepada pemerintah, oleh berbagai pihak untuk dilaksanakannya GATS yang menjadikan pendidikan sebagai jasa alias komoditas dagang, selayaknya diimbangi bahkan dilawan oleh seluruh warga negara yang sadar, supaya pemerintah memilih untuk melihat pendidikan sebagai hak: berdasar falsafah pendidikan nasional oleh Ki Hajar Dewantara (yang notabene diakui secara resmi oleh pemerintah), amanat konstitusi, dan ratifikasi Kovenan HAM Ekosob sebagai norma internasional. Mari kita buat pemerintah memilih: berpihak kepada rezim GATS, atau rakyatnya (sumber sekaligus pemilik penuh dari kedaulatan dan sumber pendanaan negara). *Dipresentasikan di diskusi rutin SPEAK-Suara Pemuda Antikorupsi 12 Mei 2012.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H