Mohon tunggu...
rkholil
rkholil Mohon Tunggu... -

~

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mes Que Un Club, Genki Dama, dan Pilgub DKI: Setialah pada People's Power (#gimme5)

11 Juli 2012   04:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:05 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ini bukan sekadar tulisan tentang Barca, bukan juga tentang komiknya Aoyama Gosho. Tulisan ini punya dua tujuan: 1) mempengaruhi mereka (di injury time) yang masih galau dan bimbang dalam menentukan pilihan di pilgub DKI untuk memilih salahsatu calon tertentu (ya, ini buat mereka, dan bukan buat kalian yang memang sudah menetapkan hati untuk memilih salahsatu calon lain. Jadi tidak usah merasa saya mempengaruhi anda), dan 2) kritik (dan otokritik) terhadap pola pikir yang terlalu rasional dan memperhitung-hitungkan untung-rugi menang-kalah relasistis-utopis dalam beraktivisme (dan berdemokrasi, berpolitik).

Lebih dari sekadar klub. Slogan kesebelesan bola asal Katalunya ini bukan sekadar bangga-banggaan menyatakan bahwa timnya itu beyond semua tim yang lain, melainkan memiliki filosofi, akar sejarah, aspek sosial-politik di baliknya. Saat diktator militer terkenal dari Spanyol, Fransisco Franco, melakukan kudeta militernya dan menegakkan feodalisme sentralistik Kastilia Madrid, ketika ia memasuki kota Barca,, ada empat kelompok yang dicarinya dan menjadi prioritas untuk dibantai, dilenyapkan dari muka bumi. Kelompok-kelompok itu adalah: 1) kaum komunis, 2) kaum anarkis, 3) kaum separatis, dan 4) kesebelasan Barca. Barca memang lebiih dari sekadar klub bola, lebih dari sekadar pijakan fanatisme hooligan atau korporasi industri  multinasional berjubah olahraga. Ia merupakan simbol dari nasionalisme masyarakat Katalunya melawan represi dari sejawat-sejawat Madrid-nya. Hanya di Camp Nou lah, di tengah-tengah masa represi keras terhadap kaum minoritas Katalunya, teriakan-teriakan pemberontakan, perlawanan, kebencian terhadap rezim fasis bisa disuarakan--dan dalam bahasa mereka sendiri yang dilarang untuk digunakan. Dan seperti Inter Milan dengan afiliasi poltik kirinya--support dari kaum komunis Italia di komunitas budaya Comua Baires, solidaritas terhadap gerilyawan EZLN, antitesis terhadap AC Milan dan oligarki Silvio Berlusconi, nilai-nilai Barca ini bukan sekadar dianut oleh para suporter, namun juga oleh segenap manajemen klub dan pemain. Johan Cruyff menamai anaknya yang llahir di Kota Barcelona dengan nama Jordi, bahasa Katalunya--bisa dibilang di antara orang-orang pertama yang berani menamai anaknya dengan bahassa Katalunya di tengah otoritarianisme militeristik rezim Franco. Pendiri klub, seorang warga Swiss yang mengganti namanya menjadi bahasa Katalunya, Joan Gamper, sempat diusir keluar Spanyol oleh rezim Sang Generallissimo (sebutan untuk Franco) karena menolak perintah membubarkan tim. Filosofi Barca ini menjadikan sepakboola mereka lebih dari sekadar gol, kemenangan, keeberhasilan, lebih dari sekadar industri olahraga dan komersialisasi fanatisme, melainkan juga kejayaan, kebahagiaan, solidaritas, perlawanan.

Bola Semangat. Senjata andalan Songoku dalam serial komik Dragon Ball, sekaligus seranagn terbesar yang pernah dilakukan, adalah aksi mengumpulkan atau meminjam tenaga dari seluruh penduduk bumi untuk disatukan dalam suatu pusaran besar energi oleh satu petarung, yang lalu menjadikannya sebagai bom terhadap lawan tarungnya. Serangan ini bukan sebuah kumpulan teknik bertarung yang taktis, atau strategi penuh perhitungan untuk memenangkan pertarungan, melainkan sebuah usaha total untuk mengikutsertakan sebanyak mungkin orang dalam pertarungan, mewakilkannya dalam sosok satu petarung: mengeluarkan seluruh tenaga yang ada dengan keyakinan akan menang.

Dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta yang sedang berlangsung pemungutan suaranya hari ini, ada 6 pasang kandidat yang bertarung untuk meraih simpati warga supaya memilihnya dan menjadikannya #DKI1. Sayangnya, kekuatan-kekuatan lama status quo masih bercokol, lebih-lebih mereka memakai topeng figur-figur kharismatik untuk menipu masyarakat dari kebusukan-kebusukannya. Parpol-parpol mengerahkan kader-kader terbaiknya untuk mencalonkan diri menjadi cagub/cawagub, dikawinkan di masa-masa terakhir pendaftaran, hingga jumlah kandidat yang bertarung meningkat signifikan dari pilgub sebelumnya, dua calon menjadi 6 calon.

Tidak ada yang perlu dibahas tentang caguub nomer 1, sang incumbent, yang menjadi agen tempat para konglomerat kapiitalis menitipkan modal dan kepentingannya di Jakarta. Cawagubnya yang merupakan intel TNI AD bagian informasi, teman seangkatan SBY di Akmil, dan kader PD, memperjelas keberpihakan calon ini. cagub nomer 1 merupakan sosol menjanjikan dengan torehan-trehan prestasi di daerah. Kebanyakan kaum sipil demokrat, kelas menengah, masih bimbang antara memilih Jokowi atau Faisal Basri. Sayangnya Jokowi berada dalam kepitan ketiak Megawati dan Prabowo, sedangkan Faisal Basri berada di tengah-tengah warga Jakarta. Cagub nomer 4 merupakan sosok teladan secara kepribadian, namun tingkah laku kelompok di sekelilingnya telah membuat kita tidak yakin akan perbaikan yang dibawa terhaadap Jakarta. Ayo Beresin Jakarta, dengan caraa menempeli semua tiang listrik dan tembok-tembok ruang publik ddengan stiker dan poster yang sulit untuk dibersihkan, merusak pemandangan kota dan merusak mata, dan banyak disisakan menghiasi Jakarta bahkan hingga masuk ke masa tenang. Tingkah laku kelompok di sekelilingnya juga membuat kita takut cagub ini akan menjadi milik hanya kelompok tertentu apabila dia menang. Sedangkan cagub nomer 6, yang dinilai juga menoreh sukses di daerah dan ditemani oleh cawagub dari Marinir,  juga meruppakan calon dari partainnya Orde Baru yang telah mendeklarasikan caresnya di 2014.

Sekarang pertanyaannya diarahkan kepada kita, pemilih di Jakarta. Relakah kita memberikan kesempatan kesekian kali kepada partai politik? Setelah semua dagelan, kebohongan, penipuan, penistaan terhadap demokrasi kita, yang terjadi selama ini khususnya setelah kemunculan sebuah binatang alien dari luar angkasa bernama "Setgab" yang mengokupasi kabinet, membeli pemerintah kita, menyelengkat demo-cracy dan menggantikannya dengan party-cracy? Relakah kita memberikan kesempatan lagi bagi si incumbent berkumis, yang telah berjasa selama puluhan taahun baktinya sebagai birokrat Jakarta (sekwilda, wagub, gubernur) menjadikan Jakarta berantakan kumuh dan miskin? Selemah-lemahnya iman pemilih Jakarta adalah tidak memilih Foke; mendingan golput aja. Relakah pula kita menerima janji dari Jokowi-Ahok dan terpana oleh kesuksesannya, namun sekaligus membukakan jalan bagi penculik aktivis untuk melanggeng ke kancah perpolitikan nasional, bagi mantan presiden penjual laris slogan wong cilik dan pro rakyat padahal menaikkan pula harga BBM di masa kepemimpinannya dan justru paling getol menjajakan BUMN terhadap pihak swasta? Relakah kita membukakan jalan bagi partai pengkomodifikasi agama dan surga bagi keuntungan segelintir elit yang berdakwah alias mendadak mewah? Relakah pula kita membukakan jalan bagi Aburizal Bakrie melalui Alex-Nono nya?

Setialah pada suara rakyat, pada people's power. Independen bukan berarti tanpa afiliasi. Independen adalah membersihkan diri dari lumpur kebusukan rezim partai politik di Indonesia. Independen adalah koreksi besar, menggebrak meja di hadapan para penguasa-pengusaha yang menculik Indonesia dari dekapan rakyatnya sendiri. Independen adalah kritik dan penolakan terhadap partai politik (DPR) sebagai lembaga terkorup. Independen adalah manifestasi lain dari slogan 'Another World is Possible', menghantam mainstream, menjadi hipster dan mengais kejujuran dan hati nurani di tengah banalitas masyarakat.

Lebih dari sekadar  calon yang bertarung di pilgub, Faisal-Biem adalah perwakilan dari sekelompok besar akademisi, aktivis, kelas menengah warga Jakarta yang berani untuk tidak setuju, bersama bernyanyi "Society, have mercy oon me/I hope you're not angry if I disagree/" dan "You may say, I'm  a dreamer/but I'm not the only one". Lebih dari sekadar mencari pemimpin baru untuk Jakarta, Faisal-Biem adalah eksperimentasi terhadap masyarakat dan pranata demokrasi Indonesia, sudah siapkah untuk perubahan yang sebenarnya. Faisal-Biem adalah tombol pause terhadap penjajahan modal terhadap ruang publik Jakarta yang dilakukan dari balik gedung-gedung kantor parpol oleh penngusaha-pengusaha yang fetish terhadap kapital. Supaya lembaga yang bernama parpol bisa beristirahat dari Jakarta selama kurun waktu tertentu, membersihkan daki-dakinya, bertanya kembali apakah masih pantas untuk mewakili suara rakyat dalam alam demokrasi Indonesia. Adalah bagaimana warga Jakarta bisa memimpin dirinya sendiri, bisa menjalankan demokrasi dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat, bukannya partikrasi dari rakyat oleh parpol untuk kapitalis. Mari kembalikan Jakarta ke dekapan warganya, rebut ia dari incumbent, jaga ia dari parpol.

Berikan bola semangatmu  sendiri, dengar seruan dari Son Goku yang disampaikan melalui telepati Raja Kaio ke seluruh dunia, angkat tanganmu, biarkan energimu tersedot  dan bersatu dengan energi manusia selurh dunia untuk mengalahkan musuh ras manusia. Berangkatalh ke TPS, jangan ragu lagi, suarakan kebenaranmu.

Kritik terbesar hari ini adalah bagi mereka yang mendebat kebenaran dengan realita. People's power ditawar-tawar, dijadikan pilihan, digeser oleh strategi politik kirologi (ilmu mengira-ngira). nomer 5 kans menangnya kecil, daripada sia-sia lebih baik saya pilih yang terbaik nomer 2, menurut saya Jokowi saja (katakan ini pada keluarga korban 98, padda lumpen ploretariat yang sudah bosen dininabobokan slogan wong cilik). DKI ini untuk 2014, siapa mengamankan DKI dapat melanggeng ke RI1 2014 (lantas bagaimana dengan kesejahteraan warga DKI? Jangan mau dijadikan sekadar batu loncatan, kita adalah manusia yang punya HAM yang perlu dipenuhi, punya kebebasan yang perku diindahkan, punya kehidupan yang perlu ketentraman, warga negara yang telah memilih demokrasi sebagai alat mnuju kesejahteraan). Saya percayanya sama yang ustadz saja, kalau pribadinya baik pasti bisa memimpin Jakarta. (yang namanya kota itu berbeda dengan lembaga dakwah atau majelis taklim kalau menurut saya).

Kebenaran, People's Power, tidak akan pernah menang kalau semua berpikir realitas, memakai ilmu kirologinya sendiri-sendiri, merasa bahwa kans menangnya kecil lantas bukannya didukung mati-matian malahan ditinggallkan mencari alternatif lain yang lebih realistis. Padalah justru kalau bukan kita ya siapa lagi. Mungkin ini terdengar seperti argumen Trotskyis, namun poin saya adalah, katakan kebenaranmu hanya karena kau tau itulah yang benar, kalau semua orang yang memiliki kebenaran yang sama melakukannya juga, tentu kebenaranmu itu akan menang. Namun jika kau tidak yakin terhadap kebenaranmu sendiri dan memilih untuk meninggalkannya, mencari kebenaran lain yang lebih realistis (??!), kapan kebenaranmu itu akaan menang?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun