Tolak RUU PT! Wujudkan Pendidikan Tinggi Berkebebasan Akademik ke Arah Gratis!
Rencananya, DPR akan mengesahkan RUU PT (Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tiggi) pada sidang paripurna hari ini, 13 Juli 2012. Terlepas dari penolakan berbagai elemen dunia pendidikan (Komite Nasional Pendidikan, Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia, beberapa guru besar dari beberapa universitas, dll.), nampaknya DPR dan Pemerintah sangat bersikukuh untuk mengesahkan RUU ini saat ini juga. Entah kelompok masyarakat yang mana lagi yang diwakili olh DPR sebagai wakil rakyat.
Perkembangan draft (10 Juli 2012) menunjukkan perubahan-perubahan yang tampaknya signifikan dan menggiurkan, seolah-olah RUU ini benar-benar tulus disusun demi masa depan pendidikan Indonesia yang biayanya terjangkau sekaligus berkualitas. Namun tetap saja pasal-pasal kunci, yaitu tentang PTN BH (badan hukum) bersama Otonomi Non Akademiknya (pasal 65), dan Internasionalisasi (pasal 90), tetap bertahan. Hal ini membuktikan bahwa merekalah ruh RUU ini.
Setidaknya ada 3 aspek mendasar yang melandasi Komnas Pendidikan untuk menolak keberadaan RUU PT ini secara keseluruhan:
- Aspek Yuridis. Pasal 24 ayat (4) UU Sisdiknas sudah mengatur bahwa “Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.” Kemunculan RUU PT yang seharusnya cukup berbentuk PP (Peraturan Pemerintah) menjadi bertentangan dengan amanat UU Sisdiknas. Selain itu, substansi pengaturan dalam RUU PT pun sebenarnya sudah ada di berbagai peraturan pemerintah lain, kecuali tentang PTN BH / PT BHMN yang memang belum ada yang mengatur. Keberadaan RUU PT mengancam terjadinya dualisme hukum dalam dunia pendidikan tinggi Indonesia.
- Aspek Substansi. Dalam RUU PT terdapat materi-materi pengaturan yang menunjukkan bahwa RUU ini tidak sesuai dengan cita-cita menuju pendidikan Indonesia yang lebih baik di masa depan. Di antaranya adalah:
- Pelepasan peran negara dalam pasal 65 tentang PTN BH. Pasal inilah yang merupakan salahsatu ruh dari RUU PT yaitu memberikan landasan hukum yang kuat yang akan melegalisasi praktik BHMN. BHMN/PTN BH sendiri walaupun tidak secara langsung berhubungan dengan kenaikan biaya kuliah, dan terkesan diamankan oleh berbagai pasal lain yang mengindikasikan persoalan biaya tidak akan menjadi masalah bagi mahasiswa, sebenarnya memiliki definisi hukum tersendiri dan konsekuensi logis yang pada praktiknya kelak akan menganulir pasal-pasal pengamannya yang bertentangan, dan menjadikan mereka tidak bisa diterapkan. BHMN dan pasal-pasal surga di PP-nya sekarang telah menjadi contoh akan hal itu. Konsekuensi logis tersebut adalah pemisahan keuangan perguruan tinggi dari keuangan negara yang berarti pula otonomi non akademik, dalam hal ini otonomi keuangan. Negara menjadi tidak bisa ikut campur selain sebagai salahsatu “pemegang saham” dalam keuangan perguruan tinggi tersebut, padahal berdasar logika hak atas pendidikan, negaralah yang harus menjadi administrator bagi pendidikan.
- Pasal 76 ayat 2 C tentang sistem student loan yaitu pinjaman tanpa bunga bagi mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi. Hal ini bertentangan dengan semangat tujuan bernegara Indonesia yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”, pasal 31 ayat 1 UUD 1945 (hak warganegara terhadap pendidikan), dan Kovenan Hak Ekosob (UU No. 11 Tahun 2005) pasal 13 ayat 2 C (pendidikan tinggi harus diadakan cuma-cuma secara bertahap). Alih-alih berusaha menanggung biaya atas pendidikan, negara justru memberikan pinjaman yang berarti pula melepaskan tanggungjawabnya.
- Komersialisasi pendidikan dalam pasal 73 tentang penerimaan mahasiswa baru yang bisa dilakukan melalui bentuk lain selain penerimaan mahasiswa secara nasional. Bentuk lain ini rentan dan telah terbukti menjadi lahan komersialisasi pendidikan di mana secara tidak langsung juga menyeleksi mahasiswa secara ekonomi dan juga menjadi ladang perguruan tinggi meraup keuntungan dari calon mahasiswanya.
- Pasal 74 tentang pengkuotaan 20% bagi mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi. Hal ini rentan menjadi dalih bagi perguruan tinggi untuk berlepas tangan setelah memenuhi kuota mahasiswa kurang mampu tersebut. Lagipun, seharusnya seleksi masuk sama sekali tidak memperhatikan kemampuan atau ketidakmampuan secara ekonomi, melainkan hanya menyeleksi kemampuan akademik.
- Pasal 90 tentang Internasionalisasi. Di negara-negara dunia pertama, pendidikan tinggi adalah sebuah bisnis yang sangat besar yang menyumbang pemasukan yang sangat besar pula bagi APBN. Kehadiran perguruan tinggi negara lain di Indonesia, selain berpotensi tidak akan menanamkan nilai-nilai keIndonesian dan justru menanamkan nilai-nilai yang tidak sesuai dengan keIndonesiaan, patut diposisikan sebagai sebuah ekspansi bisnis mengingat potensi pasar yang sangat besar di Indonesia sebagai negara dunia ketiga dan sepinya pesaing. PTS akan tergeser, dan skema liberalisasi GATS (General Agreements on Trade in Services)akan mulai dijalankan. Pendidikan benar-benar dilihat sebagai jasa yang bisa dijual dan dibeli, bukan lagi hak warga negara yang harus dipenuhi oleh negaranya sesuai tujuan bernegara, UUD 1945, dan Kovenan Hak Ekosob. Pendidikan yang disebut oleh konstitusi kita sebagai public goods berubah menjadi private goods.
- Aspek Historis. Sewajarnya tidak terlalu mengagetkan bahwa ditemukan unsur-unsur liberalisasi, komersialisasi, dan privatisasi pendidikan dalam RUU PT, mengingat RUU PT tidak berdiri sendiri dalam sejarah kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia. Setelah Indonesia bergabung di WTO tahun 1994 dan menandatangani GATS beberapa tahun setelahnya, skema liberalisasi 7 sektor jasa tinggal menunggu waktu untuk dijalankan satu per satu. Dokumen World Bank telah menunjukkan tekanan terhadap pemerintah untuk membentuk kebijakan yang memisahkan pendidikan tinggi dari pengelolaan negara supaya kemudian bisa diperdagangkan. Tekanan ini dijalankan melalui penyusunan UU BHP (Badan Hukum Pendidikan) yang pada kemudian hari berhasil digugat ke Mahkamah Konstitusi dan dikabulkan untuk dibatalkan. Pasca gugurnya BHP tahun 2010, World Bank melangsir dokumen baru yang menargetkan munculnya kebijakan baru pengganti BHP pada tahun 2012, yaitu tak lain dan tak bukan adalah RUU PT ini. Jika RUU PT gagal disahkan, maka BHMN akan berhenti karena tidak memiliki landasan hukum yang kuat, yang rencananya akan disediakan oleh RUU PT. Oleh karena itu wajarlah pada dinamika advokasi penolakan RUU PT, seluruh usulan terhadap draft dengan mudah diterima, karena memang intinya adalah meluluskan dulu agenda landasan hukum BHMN.
Berdasar pemaparan di atas, jelas bahwa legislasi perumusan RUU PT bukanlah aspirasi dari rakyat melainkan transaksi atau bahkan instruksi dari kepentingan-kepentingan lain yang tidak memihak pada rakyat. Di antara efek langsung yang akan timbul jika RUU PT diterapkan, pada dasarnya adalah berlangsungnya terus apa yang sudah dirasakan oleh universitas-universitas BHMN, dan akan melebar ke PTN-PTN lain, seperti 1) melambungnya biaya pendidikan karena mahasiswa dijadikan sumber pemasukan, 2) orientasi pendidikan yang bergeser dari pemenuhan HAM Ekosob dan memanusiakan manusia menjadi pemenuhan permintaan pasar tenaga kerja, 3) terpinggirkannya PTS karena dipaksa bersaing dengan PT-PT dari negara-negara dunia pertama, 4) semakin elitisnya lembaga pendidikan karena aksesnya yang eksklusif terhadap kaum berpunya, dan 5) semakin sulitnya rakyat mengakses pendidikan.
Berdasarkan pemaparan di atas, Komite Nasional Pendidikan (KOMNAS-Pendidikan) menyatakan sikap:
1. Batalkan rencana pengesahan RUU PT!
2. Hentikan skema liberalisasi, privatisasi, dan komersialisasi pendidikan!
3. Kembalikan orientasi pendidikan Indonesia menuju pemenuhan HAM dan memanusiakan manusia!
4. Wujudkan pendidikan Indonesia yang menuju cuma-cuma, berkebebasan akademik, dan berkualitas!