Analisis Konsep Otonomi Daerah dan Implementasinya di Indonesia;
Menguji Wacana Federalisme
Pendahuluan
Dalam artikel ini penulis berusaha menguji seberapa pantas ide federalisme diperbincangkan lebih lanjut dalam dunia akademis, atau lebih jauhnya dipertimbangkan untuk diterapkan secara nyata di Indonesia. Sebelum memasuki topik federalisme tersebut, penulis terlebih dahulu berusaha menggambarkan konsep desentralisasi dalam bentuk Otonomi Daerah dan sejarah implementasinya di Indonesia. Hal ini dilakukan sebagai bentuk perbandingan mengingat federalisme dan otonomi daerah adalah sama-sama bentuk desentralisasi walau dalam taraf yang berbeda.
Penulis berusaha menghadirkan perdebatan yang cukup menggambarkan keadaan di dunia nyata akademis beserta argumen-argumen yang penulis perkirakan dipakai oleh para anggota dari dua kubu pendebat baik pro maupun kontra. Perdebatan akademis ini penting menurut penulis mengingat ilmu, teori, dan pengetahuan adalah apa yang diketahui hingga saat ini. Fakta atau data baru yang didapatkan di masa depan bisa saja meruntuhkan konstruksi teori yang telah terbangun mapan dalam waktu yang lama. Dan perdebatan positif ini akan saling mengoreksi tiap kubu untuk kemudian datang kembali dengan argumentasi yang lebih kuat sehingga mengembangkan disiplin keilmuan yang dibahas.
Harapan penulis adalah supaya sedikit banyak diskusi yang penulis lemparkan di sini bisa mendapat feed back yang konstruktif. Hal ini berguna untuk memerkaya khazanah gagasan tentang kenegaraan dan kebangsaan di Indonesia.
Hakikat Bernegara
Lord Acton (1834-1902), seorang ahli sejarah dari Inggris, pernah berkata, “power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely”. “Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya secara tak terbatas pula”. Peribahasa lama berkata; “homo homini lupus”. “tiap manusia adalah serigala bagi manusia lainnya”. Thomas Hobbes (1588-1679) mendefinisikannya sebagai keadaan anarchy; “the condition of man is a condition of war of everyone against everyone”. Manusia pada dasarnya diasumsikan memiliki sifat-sifat jahat dan bertendensi untuk menyalahgunakan hak orang lain demi pemenuhan hak pribadinya.
Untuk mendapatkan kenyamanan dari keteraturan dan memitigasi chaos dari the anarchy state of nature itulah manusia bernegara. Jean Jacques Rousseau (1712-1778) mengabstraksikan pemikirannya tentang kasus Revolusi Prancis bahwa pada hakikatnya masyarakat bersepakat atas sebuah Social Contract untuk menitipkan sebagian tertentu dari kebebasan pribadinya kepada sebuah pihak yang bertanggung jawab menjaga keteraturan, yang disebut pemerintah, dalam sebuah negara. Hobbes membayangkan kemunculan seekor monster raksasa yang kuat dan menyeramkan dari dalam goa yang gelap, yang membuat orang-orang tunduk kepadanya lalu masyarakat menjadi teratur. Immanuel Kant (1724-1804) merekomendasikan sebuah bentuk negara republik daripada kerajaan yang dianggapnya cenderung bersifat menekan kebebasan rakyatnya. Bentuk negara republik dianggapnya lebih adil dan menjamin kedamaian mengingat bahwa itu dibentuk berdasar kesepakatan.
Pemecahan Kekuasaan
Namun ternyata, bentuk negara republik pun bisa terkesan merebut kebebasan rakyatnya alih-alih mengelola dengan baik kebebasan yang dititipkan. Demokrasi yang dibayangkan Rousseau dan Kant tidak selalu terjadi pada realita. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa norms and laws yang sebenarnya bertujuan mengatur power-power untuk mencapai order, terkadang justru diciderai atau bahkan dimanipulasi oleh power itu sendiri demi tujuan-tujuan pribadi. Berangkat dari pemikiran serupalah konsep pemisahan kekuasaan dikembangkan. John Locke (1632-1704), dalam Two Treatiseson Civil Government, membagi kekuasaan pemerintah republik menjadi legislatif untuk membuat peraturan, eksekutif untuk melaksanakannya dan juga mengadili, dan federatif untuk menjaga keamanan negara (hubungan luar negeri). Montesquieu (1689-1755), dalam L’Esprit des Lois, kemudian memperbaikinya menjadi eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang hingga kini populer dengan sebutan Trias Politica.
Searah dengan Trias Politica, konsep desentralisasi juga telah dibahas sejak dulu oleh Aristoteles dan pemikir-pemikir lain sebagai cara untuk mencegah kekuasaan absolut. Miriam Budiardjo (1923-2007) mengklasifikasikan Trias Politica sebagai pembagian kekuasaan secara horizontal sedangkan desentralisasi baik dalam bentuk politik atau administrasi pada berbagai taraf mulai dari otonomi daerah, federalisme, hingga konfederasi, sebagai pembagian kekuasaan secara vertikal.