Farhan memainkan jari-jemarinya dengan gugup. Sudah hampir waktunya.. tinggal 5 menit lagi sampai akhirnya selesai sekolah.
"Nah sekarang, buka buku kalian ke halaman 178," ucap Pak Galih sambil membetulkan kacamatanya.
Farhan memutar bola matanya. Sekolah kan hampir selesai jadi ngapain mereka baca baca lagi? Tapi gapapa lah.. daripada nyari masalah, nurut aja.Â
Konten halamanya biasa-biasa aja sih. Ga ada yang mencolok, cuma gambar-gambar anatomi hewan realistik ditemenin sama diagram yang ngejelasin bagian-bagian tubuh mereka secara lebih detail.
Farhan merasakan seseorang menoelnya dari belakang.Â
"Woi.. minta penghapus, dong." Oh. Ternyata si Fatur. Tampaknya masih berantakan kayak biasa.Â
Farhan membuka tempat pensilnya tapi ga menemukan penghapus. Kotak tersebut dihuni oleh pensil-pensil tumpul tak terpakai dan pulpen yang telah habis tinta. "Maaf, bro. Gue ga punya." Fatur menggerakan kepalanya. Sepertinya ia sedang mengangguk, tetapi akibat posturnya yang buruk, ia justru terlihat seperti orang barusan bangun tidur yang masih teler.
"Jangan ngrobrol di kelas!" Bentak Pak Galih dari depan ruangan. Ia mengetuk penggaris plastik besarnya ke permukaan papan tulis. Leher Farhan langsung merinding. Amarah Pak Galih bukanlah hal yang bisa diremehkan. Orang semacam Fatur pun juga ngerti, kok -- postur badanya yang awalnya asal-asalan langsung ditegakin.
Ah, males banget, Farhan menggerutu di kepalanya. Sekolah kan udah hampir selesai. Kenapa malah marah-marah? Oh iya..Â
Farhan menoleh ke belakang kelas di mana jam dinding dipasang.
12:29 siang.
Ya ampun!
Suara Pak Galih berubah menjadi bunyi asing bagi kuping Farhan. Lututnya melompat-lompat di bawah meja, bola matanya berenang kesana kesisni, jari-jemarinya mengetuk mejanya dengan cepat.
"Woi.. woi bro."
Ada suara yang memanggilnya dari belakang. Si Fatur ga sih? Kayaknya Fatur, deh -- kan kusinya memang ditempatkan di sana. Maunya apa?
"Lu ada penghapus ga?"
Hah? Orang ini. Farhan menggerutu. Bukanya ia sudah mengatakan bahwa ia tidak membawa penghapus?
"Gue ga punya--"
"JANGAN ADA YANG NGOBROL!" Pak Galih menghentakan sepatunya ke lantai, membuat kelas yang awalnya sudah diam menjadi lebih sunyi."
Fatur membuat suara dari hidungnya -- suara yang agak terdengar seperti sedotan ingus. Ia menggaruk-garuk kepalanya, rambutnya berkeliaran -- berdiri ke setiap arah. "Gue cuma pengen penghap--"
Tapi, sebelum Fatur bisa menyelesaikan kalimatnya, bel telah berdering.
Kriiiiiiing!
Anak-anak lainya mulai mengobrol satu sama lain, mengisi kehampaan kelas dengan suara-suara mereka -- suara yang lama-kelamaan mengalahkan kerasnya bunyi bel sekolah. Akan tetapi, mereka masih belum bisa menandingi bunyi deretan yang singkat namun keras yang Farhan hasilkan saat ia berdiri dari kursinya dengan cekatan. Anak-anak yang lain menoleh ke arah nya untuk beberapa saat. Bahkan Pak Galih juga melirikinya dengan tatapan yang agak menghakimi. Tetapi, setelah beberapa detik, mereka melupakan suara buatanya tersebut dan kembali berbincang dengan rekan-rekanya.
Farhan tidak perlu diingatkan dua kali, begitu dia berdiri, dia mulai memasukkan semua barangnya ke dalam tas punggungnya yang compang-camping. Kebanyakan orang di dalam kelas masih terlalu sibuk berbicara dengan satu sama lain untuk pergi, tapi Farhan tidak sama, dengan cepat, ia melangkah ke arah pintu.
"Berhenti di sana!"
Pak Galih tak pernah gagal membuat tubuhnya membeku dengan suara seraknya. Farhan memutar bola matanya. Sekolah sudah berakhir jadi apa yang dia inginkan?
"Nih penghapusnya," Pak Galih mengeluarkan penghapus kecil dari sakunya. Itu terlihat seperti penghapus putih biasa akan tetapi ada  beberapa bintik abu-abu yang menutupi separuh badanya -- Farhan benar-benar perlu membeli penghapus yang lebih bersih. "Pastikan untuk meninjau halaman 178 hingga 234 di rumah, nilaimu benar-benar kacau balau."
"Oh. Terima kasih," katanya, mengambil penghapus dengan canggung dari tangan Pak Galih sebelum bergegas keluar dari ruangan sempit itu.
----
Matahari bersinar cerah, rerumputan menghijau, dan sepatu Farhan dipoles bersih saat berderak di tanah semen alun-alun kota.
Alun-alun kota adalah tempat tujuan untuk "mengamati burung" setiap hari karena terdapat banyak pergerakan di area tersebut. Orang-orang selalu sibuk, belum lagi banyaknya perangkat elektronik yang berada di sana. Ada beberapa apartemen dan Farhan bersumpah bahwa sebagian besar orang di sana menggunakan TV kabel -- sempurna!
Smartphone Farhan berdering. Ah, pasti itu bosnya.
Ia mengeluarkan perangkat tersebut dari saku seragamnya. "Halo?" ucapnya. "Farhan, lu di mana?" Ternyata ia salah. Orang yang menelponnya bukanlah atasan, melainkan cuma Kak Nurul. Nurul merupakan rekanya yang juga bekerja untuk Telkom Indonesia. Akan tetapi, pekerjaan Nurul jauh berbeda dengan pekerjaan Farhan.
"Udah sampe di alun-alun kota kok, kak. Maaf tadi telat. Sempet ditegur guru."
"Ya makanya, kalo sekolah lebih serius!" Ujar Nurul. Farhan mengeluarkan tawaan kecil.
"Ok, coba duduk di tengah tengah kota. Di deket air mancur biar lu bisa keliatan di monitor gue." Nurul adalah seorang pemantau. Tugasnya adalah memastikan Farhan tidak melakukan hal-hal bodoh saat pekerjaanya berlangsung. Ia juga merupakan operator yang dapat membimbing Farhan dalam mengerjakan tugas-tugasnya jika ia merasa kebingungan.
Farhan menuju ke arah air mancur.
Dari tempat dia duduk, dia bisa melihat sekelompok orang yang berbeda, semuanya berurusan dengan situasi unik mereka sendiri. Seorang pelayan yang sedang diomeli oleh pelangganya terlihat di sudut kiri -- ya .. Hal sperti itu bukan urusan Farhan. Di pojok kanan kota, sepasang suami istri sepertinya sedang memperdebatkan sesuatu, wajah sang suami merah padam seperti tomat -- nah, bukan yang itu juga. Ada toko video baru di dekat kafe dan seorang karyawan keluar dengan wajah yang terlihat frustrasi. Farhan memilih untuk mengamatinya lebih jauh. Sepertinya dia tidak tahu bagaimana cara menampilkan televisi di jendela agar berfungsi dengan baik. Ya! Sempurna! Mata Farhan berbinar saat dia menyerbu masuk ke kafe.
"Tapi bukankah targetnya adalah toko video? Kenapa dia pergi ke kafe?" Anda mungkin bertanya. Nah, para pembaca yang budiman, di sinilah cerita kita akan dimulai. Perhatikan dan lihat.
Kafe ini hanya memiliki satu kamar mandi karena ukurannya yang kecil. Untung kebetulan kosong sehingga Farhan bisa dengan mudah masuk ke sana dan mulai membongkar pakaian khususnya dari ranselnya. Dia melepas seragam sekolahnya yang berantakan tanpa perasaan dan memasukkan semuanya ke dalam tasnya tampa melipatnya terlebih dahulu. Pakaian khususnya agak kusut karena terjepit di antara semua buku cetak yang tidak pernah dia baca, tetapi tidak apa-apa karena begitu dia memakainya, ia dan setelan tersebut mengalami transformasi yang luar biasa!
Farhan bukan lagi bocah ingusan berusia 13 tahun, dia berubah mencadi pria dewasa yang kuat dan berotot dengan setelan spandeks. Dan itu bukan satu-satunya hal yang berubah. Transformasi yang paling aneh adalah kepalanya. Itu bukan lagi wajah manusia melainkan TV raksasa!
Dengan rangka merah terang yang menjaga posisi kepalanya, tombol warna-warni, dan antena yang dapat beralih ke ratusan saluran.. Dia bukan Farhan, dia IndiHome-Man!
IndiHome-Man merupakan seorang pahlawan yang bekerja untuk Telkom Indonesia -- perusahaan rahasia yang memiliki satu objektif, yaitu: memenuhi kebutuhan internet dan TV masyarakat Indonesia. Ada puluhan varian IndiHome-Man yang tersebar di setiap area Indonesia dan Farhan memainkan peran pahlawan di kota kecilnya ini.
IndiHome-Man keluar dari kamar mandi kecil yang sempit dengan gagah dan teguh lalu bergegas membantu karyawan toko video yang malang itu.
"Halo, warga negara yang baik, apakah ada masalah di sini?"
Karyawan tersebut -- seorang pria bernama Muhammad menurut kartu namanya -- menoleh ke IndiHome-Man. Awalnya dia terlihat sangat bingung dan bahkan khawatir. IndiHome-Man tidak menyalahkannya, Anda tidak melihat pria dengan TV raksasa sebagai kepala berjalan-jalan di tempat terbuka setiap hari, apalagi dia mendatangi pria itu secara tiba-tiba.. Dia membuat catatan untuk mendekati orang-orang sekitar dengan cara lebih baik lain kali.
"Oh, saya sedang memasang beberapa TV untuk diperlihatkan lewat kaca toko kita. Akan tetapi, sinyal sangat jelek! Tidak ada channel yang berfungsi!" Cetuhnya.
"Hm.. Ya, hal itu benar-benar menyebalkan."
"Psst," bisik Nurul. Antena IndiHome-Man memperbolehkannya untuk berkomunikasi dengan Nurul secara bebas. Ia dan Nurul dapat berbincang secara daring tampa gangguan orang lain -- orang lain pun juga tidak dapat mendengar percakapan mereka. "Tanyain orangnya tentang jaringan TV kabel yang dipake." IndiHome-Man menurut.
"Permisi pak, bolehkah saya tahu jaringan TV kabel apa yang toko Anda pakai?"
"Oh, kami tidak memakai kabel, pak."
Tiba-tiba, semuanya masuk akal. IndiHome-Man menyadari masalahnya, itu adalah hal yang biasa. Dan untungnya baginya -- dan karyawan tersebut -- dia memiliki solusinya!
"Pak, apakah Anda sudah mencoba menggunakan IndiHome?"
Karyawan itu mengangkat alisnya. "Um.. tidak. Saya rasa kami tidak mampu membayar layanan kabel. Lihat, kami adalah toko baru dan kami tidak memiliki banyak anggaran. Kabel terlalu mahal, setidaknya untuk saat ini."
"Aku tahu kamu akan mengatakan itu! Sekarang Pak, maaf atas masalah ini tetapi bisakah Anda menekan tombol ke-2 di wajah saya? Yang di tengah - ya! Yang itu!"
Layar hitam yang sebelumnya menempati wajah IndiHome-Man berkedip-kedip. Pada awalnya, tidak ada apa-apa selain statis yang muncul tetapi perlahan, sebuah sosok mulai muncul di layar. Itu dari seorang wanita.
"Halo pemirsa sayang! Selamat datang kembali di dapurku! Jadi di episode hari ini--"
Sebuah acara memasak sepertinya ditampilkan. Wanita itu sedang mengumpulkan semua bahan yang dibutuhkan untuk membuat kue keju, tetapi sebelum dia bisa memberi tahu penonton berapa gram gula yang digunakan, layar berkedip lagi. Statis memenuhi kepala TV IndiHome-Man sekali lagi, dan seperti terakhir kali, sesuatu mulai terbentuk. Itu sosok lain, tapi bukan wanita dari sebelumnya.
Sebaliknya, sosok ini bahkan bukan manusia, itu adalah binatang, yang antropomorfik! "Halo, anak-anak! Hari ini kita akan belajar tentang semua warna pelangi!" Makhluk itu terkekeh hangat sambil mengulurkan tangannya -- lengan 2D-nya. Ya, itu benar, itu kartun.
"Lebih dari 80 saluran melalui kabel. Semua itu bisa diakses hanya dengan berlangganan ke saya! Oh, dan jangan khawatir dengan harganya, harganya sangat murah -- tidak lebih dari Rp. 410.000," ujar IndiHome-Man. Karyawan itu benar-benar bingung! Mulutnya ternganga kaget. "Wah, itu sangat terjangkau.. Tapi aku harus membicarakannya dengan bosku dulu. Terima kasih, bagaimanapun juga," katanya sambil menegakkan punggungnya. Dia tampak lebih tenang dan baik, seolah-olah dia tahu solusi untuk masalahnya sekarang. "Tidak masalah!" IndiHome-Man selalu merasa bangga dan gembira setiap kali melihat dirinya membantu seseorang. Dia berharap karyawan muda yang baik itu bisa berbicara dengan bosnya -- tawaran IndiHome-Man sepertinya membebaskannya dari banyak tekanan.
Nah, cukup itu kalau begitu. Menjadi IndiHome-Man itu tidak mudah, dia adalah orang yang penuh aksi dan harus bepergian ke tempat lain. Dia memberikan tepukan di bahu disertai dengan sedikit "semoga berhasil, Nak" kepada karyawan tersebut (Farhan seperti ingin mengutuk dirinya sendiri karena itu -- dia jelas lebih muda dari pria itu) sebelum meninggalkan tempat kejadian.
"Kerja bagus, Farhan," sahut Nurul. "Sekarang ke mana?"
Selain kepalanya -- alat yang bisa menampilkan hampir semua saluran siaran -- IndiHome-Man juga punya kemampuan lain. Yang paling menonjol adalah penglihatan. Dia dapat dengan mudah melihat hal-hal yang terjadi dari jarak bermil-mil hanya dengan memusatkan perhatian pada pikirannya, membuatnya mudah untuk menemukan orang yang membutuhkan bantuan. Kemampuan lain yang sangat dihargainya adalah terbang. Begitu matanya tertuju pada target tertentu, sebuah lokasi, dia bisa langsung meluncur ke langit dan berada di sana dalam waktu kurang dari beberapa menit.
InidHome-Man memindai area di sekitarnya. Sebuah apartemen terlihat beberapa blok dari tempat yang ia injaki. Apartemen selalu menyenangkan, banyak orang di sana berarti lebih banyak kesempatan baginya.
Dia menguatkan dirinya untuk melakukan lompatan besar -- sesuatu yang dia butuhkan untuk meluncurkan dirinya ke udara -- dan bersiap untuk membantu warga apartemen itu. Setelah beberapa detik, ia lepas landas, tanpa meninggalkan jejak dirinya di alun-alun kota.
---
Sebuah bangunan besar berwarna merah pastel berdiri di tengah lalu lintas yang padat dan hiruk pikuk. IndiHome-Man mengamati konstruksi tinggi tersebut dengan seksama, memblokir semua kejadian di luar untuk fokus ke bagian dalam gedung.
Sepasang anak dan ibu terlihat berjalan di koridor lantai 1. Sang ibu membawa dua kantong kertas cokelat -- dia bisa melihat beberapa sayuran mencuat dari salah satunya. Mereka tampak seperti baru saja selesai berbelanja. Tidak ada hal yang tampak aneh. Ada seorang wanita tua melatih pudelnya di dalam salah satu kamar, tetapi selain itu dia tidak dapat mencatat sesuatu yang menarik terjadi di lantai 1, jadi dia terus memindai seluruh apartemen.
Lantai 2 menarik. Tidak ada seorang pun di koridor, mereka semua sepertinya berada di luar gedung atau di dalam salah satu kamar. Kamar 203. Seorang pria duduk di sofa sambil membaca buku -- membosankan. Kamar 202. Seorang pria dan putrinya sedang makan sereal kering dalam diam -- sedih, tapi tidak ada yang bisa IndiHome-Man lakukan terhadap situasi tersebut. Kamar 205. Seorang gadis menatap laptopnya dengan cemas. Sepertinya dia sedang menunggu sesuatu. Hm. Menarik. IndiHome-Man akhirnya masuk ke dalam apartemen dan naik lift untuk membawanya ke lokasi gadis itu.
Gadis itu tampak berusia sekitar 20 tahun. Dia tinggal sendirian. Gabungan dua informasi ini membuat IndiHome-Man percaya bahwa dia adalah seorang mahasiswa. Apartemennya yang selalu berantakan semakin mendukung keyakinan ini. Pintunya mengeluarkan sedikit suara berderit ketika dia mengetuknya - gadis itu benar-benar perlu memperbaiki hal itu. Gadis tersebut tidak menjawab, membuat IndiHome-Man mengetuknya lagi.
"Ya! Datang!"
Dia memiliki ekspresi grogi di wajahnya ketika dia membuka pintu. Kantung mata yang berat duduk di wajahnya, menandakan bahwa dia sudah lama tidak tidur -- ya, dia pasti kuliah, pikir IndiHome-Man dalam hati.
Matanya memindai IndiHome-Man dari atas ke bawah. "Um, apakah kamu di sini untuk mengantarkan paket?" IndiHome-Man tidak tahu apa yang dia bicarakan.
"Paket? Oh tidak. Saya bukan kurir," katanya.
"Oke. Um. Lalu apa yang kamu lakukan," gadis ini terus-menerus melihat ke depan dan ke belakang. Satu detik matanya tertuju padanya, dan kemudian dia melirik ke belakang - melihat bagian dalam apartemennya.
"Nama saya IndiHome-Man," dia menahan dengusan saat mengatakan ini "dan tugas saya membantu warga sipil mengakses dunia luar dengan media seperti tv kabel, wi-fi dan semua itu. Saya menyediakan layanan untuk teknologi informasi. Saya melihat Anda mengalami sedikit masalah dengan PC Anda. Saya pikir saya bisa membantu Anda."
Gadis itu masih tampak tidak yakin, dia memiliki ekspresi datar di wajahnya seolah-olah dia berkata "oh, benarkah?" dengan cara yang sangat sarkastik. Dia tidak menyuruhnya pergi, itu adalah sesuatu. Sebaliknya, gadis itu memintanya untuk melakukan hal yang berbeda.
"Yah, kamu benar tentang itu," dia memainkan jari-jarinya dengan gugup. "Saya mengalami kesulitan dengan hal ini sekarang. Ini bukan tentang laptop saya." IndiHome-Man mengangguk. "Kamu bilang kamu berspesialisasi dalam hal-hal internet, kan? Kamu pikir kamu mungkin bisa membantuku...? Entahlah."
"Tentu saja, itu sebabnya aku ada di sini. Selalu senang untuk membantu!" Gadis itu memberinya senyum kecil dan membuka pintu lebih lebar agar IndiHome-Man bisa masuk ke dalam. "Baiklah kalau begitu, masuk!" Jadi dia melakukannya.
Laptop tua duduk di sofa. Benda tersebut tidak dimatikan. IndiHome-Man melihat sekilas ke layar. Jika dia memiliki mata, mereka akan melebar. Dia tidak menyangka gadis ini memiliki masalah seperti itu.
"Weirdest Things season 5 ALL EPISODES FREE TORRENT DOWNLOAD GRATIS DOWNLOAD FILE" adalah apa yang tertulis di layar. "Ya, saya sudah mencoba untuk membajak acara itu tetapi saya tidak tahu mengapa itu tidak mau diunduh. Saya terus mengklik tombol unduh tetapi halamannya tidak mau bergerak."
"Whoa, gue kira udah sedikit orang yang ngebajak dari situs itu," sahut Nurul. "Coba tawarin dia paket streaming kita, Farhan."
"Menurut saya, Anda seharusnya tidak membajak barang-barang dari internet," katanya. Gadis itu mengejek. "Mengapa tidak?"
"Pertama, itu ilegal. Kedua, mencegah perusahaan mendapatkan uang. Dan alasan ketiga dan yang paling penting: itu bisa membuat laptop Anda berhenti bekerja. Virus dan semacamnya." Dia yakin ada virus yang sudah menginfeksi laptopnya, layarnya masih beku.
"Begini, saya mengerti - saya benar-benar mengerti. Tapi pernahkah Anda melihat betapa mahalnya untuk mendapatkan langganan streaming? Maaf, tetapi saya tidak memiliki pohon yang secara ajaib dapat menghasilkan uang."
"Saya tidak punya solusi untuk itu, tapi saya bisa menawarkan Anda pilihan yang lebih murah. Pegang tangan saya!" Dia mengulurkan tangan padanya. Dia tampak agak skeptis pada awalnya tetapi akhirnya menerimanya. "Ok, tapi jangan melakukan hal yang aneh-aneh," katanya. "Saya berjanji."
Tiba-tiba, mereka berdua menghilang dari ruangan.
---
Vanessa dipindahkan ke jurang yang gelap. Dia sangat ketakutan. Sangat takut dia bisa kencing di celananya -- tetapi dia memilih untuk tidak melakukannya. Apa yang terjadi? Semuanya sangat kosong dan hitam, dia tidak bisa melihat apa-apa. Apakah lampunya kehilangan daya? Tidak, itu tidak mungkin. Bahkan jika itu yang terjadi, ini masih jam 1 siang jadi meskipun semua lampu buatan di kamarnya dimatikan, matahari yang masih bersinar di luar jendela akan memberikanya kemampuan untuk melihat.
Lalu, tiba-tiba, kecerahan menyerangnya dari setiap sudut. Dia melihat sekeliling dan ternyata, pria TV aneh itu masih berdiri di sampingnya. Dia menyadari bahwa tempat dia berada bukan sembarang tempat, itu adalah tempat yang penuh dengan layar.
Lantai, dinding, semuanya -- semuanya adalah televisi. Dan mereka semua menampilkan acara dan iklan yang berbeda sekaligus. "Apa ini? Dimana aku?!"
---
Farhan mengutuk dirinya sendiri. Mungkin dia harus berpikir sebelum membawa gadis sembarangan ke tempat ini tanpa memperingatkannya tentang hal itu. Dia ketakutan. Nah, ia tidak dapat mengubah masa lalu sehingga ia mencoba untuk menenangkannya.
"Maaf, Nona, saya sangat menyesal. Tapi lihat," dia menunjuk ke layar di depan mereka. "Solusi murah untuk masalah Anda."
Nah, selain bisa terbang dan punya penglihatan ala CCTV yang keren banget, IndiHome-Man juga punya kemampuan lain. Dia bisa mengunjungi tempat yang dia suka sebut "ruang". Ruang itu adalah tempat yang dipenuhi dengan segala macam pertunjukan. Ruang memiliki katalog lengkap serial TV nasional dan internasional. Ruang itu pada dasarnya merupakan penggabungan dari setiap layanan streaming yang disediakan Telkomsel Indonesia.
Di depan mereka, sebuah serial TV diputar.
"Tidak, tidak, tidak.. Itu tidak mungkin! Demongoardohg tidak mungkin mengambil Tiga Belas!" Aktor di layar berkata dengan air mata berlinang. Sial, momen yang menegangkan.
"Apakah itu serial 'Weirder Things'?" Gadis itu bertanya, masih agak skeptis dan bingung. "Tentu saja! Itu diputar di layanan streaming," IndiHome-Man mengerang. "Ugh.."
"Saya tahu Anda tidak ingin membuang-buang uang tapi.. lihat. Perusahaan saya dan saya memiliki paket ini. Ini memungkinkan Anda untuk mengakses layanan streaming yang menyelenggarakan seri ini dengan harga yang sangat murah. Apa katamu?"
"Entahlah. Aku masih agak ragu tapi kurasa itu lebih baik daripada mendapatkan virus aneh yang menyerang laptopku."
Jika IndiHome-Man punya mulut, dia akan tersenyum. "Itu terdengar baik!" Dia kemudian menepuk pundak gadis tersebut dan kedua kenalan itu kembali ke dunia nyata.
"Fiuh! Sekali lagi, maaf tentang--"
"Ya, ya. Aku tahu. Aku akan mempertimbangkan tawaranmu, oke?"
Sebelum IndiHome-Man sempat membalas gadis itu, Nurul menghubunginya. "Hei Farhan, darurat di Jalan Pisang."
"Uhh.. Maaf tapi aku benar-benar harus pergi."
"Tentu. Kamu boleh pergi, aku tidak peduli."
Itu adalah cara yang cukup langsung untuk mengatakannya, tetapi tentu saja, IndiHome-Man menjawab dengan mengacungkan dua jempolnya. Dia kemudian pergi ke jendela terdekat dan terbang ke kejauhan.
"Ada pintu, lho," kata Vanessa sambil memutar matanya.
---
"Oke, jadi dalam beberapa meter, kamu akan melihat rumah mungil ini. Warnanya abu-abu -- catnya kurang bagus," kata Nurul. "Dimengerti!"Â
IndiHome-Man suka terbang. Dia bisa melihat semuanya dari langit. Kota itu terlihat seperti kumpulan dekorasi mini dari atas sana, agak lucu.
Dia akhirnya mendarat di Jalan Pisang, jalan paling sepi di kota tempat tinggalnya. Nurul benar, rumah itu memang membutuhkan cat ulang. Bangunan tersebut terlihat sangat kotak dan aneh, hampir seperti masih dalam proses penyempurnaan.
IndiHome-Man fokus ke rumah untuk melihat bagian dalamnya. Ada sekelompok anak-anak berkumpul di sekitar satu smartphone di ruang tamu. Tidak ada orang tua -- mereka mungkin bekerja. Baiklah. Waktu untuk masuk ke dalam. Dia dengan lembut mengetuk pintu.
Seorang anak laki-laki -- sekitar 7 atau 8 tahun -- membuka pintu dan menyapa IndiHome-Man dengan senyum lebar. "Halo, anak kecil," katanya. "Saya perhatikan bahwa Anda dan teman Anda mengalami sedikit masalah dengan smartphone di sana. Keberatan jika saya memeriksanya?" Anak itu ragu-ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk, menyambut IndiHome-Man ke rumahnya.
Rumah itu tidak mengesankan, tapi juga tidak terlalu buruk. Tempat tersebut memiliki semua hal yang seharusnya dimiliki sebuah rumah. IndiHome-Man sedang berada di ruang tamu dimana dia bisa melihat dua anak lainnya sedang berkumpul di sebuah sofa berukuran sedang. Salah satunya -- seorang gadis yang tampaknya paling tua -- mengetuk smartphone dengan marah. Yang satunya sedang mengintip melalui bahu sang kakak, menunggu smartphone tersebut melakukan sesuatu.
"Apa yang terjadi di sini, anak-anak?"
"Internet tidak mau memuat!" Yang tertua mengeluh. Ah, masalah internet. Masalah favorit IndiHome-Man untuk dipecahkan. Ini pasti menyenangkan.
"Boleh saya lihat smartphone itu?" IndiHome-Man mengulurkan tangannya ke arah gadis dan anak lainnya. Pada awalnya mereka tampak gelisah -- anak di belakang gadis itu bahkan meringkuk lebih jauh ke dalam dirinya, memeluk saudara perempuannya untuk kenyamanan -- tetapi kemudian anak ketiga angkat bicara.
"Teman-teman, tolong beri dia kesempatan. Aku tidak tahu kenapa tapi aku punya firasat bagus tentang ini."
IndiHome-Man tersenyum mendengar kata-kata baiknya. Gadis itu akhirnya sedikit rileks dan menyerahkan smartphonenya. IndiHome-Man langsung tahu apa yang salah. Mereka kehabisan data seluler.
"Wah, ini cukup mudah. Tunggu saja sampai orang tuamu pulang dan minta mereka untuk membeli beberapa data seluler," katanya. Anak-anak tampaknya tidak menyukai gagasan itu. Yang tertua menggelengkan kepalanya. "Tapi data seluler sangat singkat! Habis dalam waktu yang sangat cepat! Apakah Anda punya pilihan yang lebih baik?" IndiHome-Man mempunyai satu solusi
"Ya. Saya sebenarnya bisa mengimplementasikan wi-fi di sekitar rumah. Perusahaan tempat saya bekerja adalah semacam internet provider."
Anak-anak bersorak. "Yay! Yay! Terima kasih!"
"Tapi kamu harus tanya orang tuamu dulu. Kalau mereka bilang iya, hubungi nomor ini," IndiHome-Man mengeluarkan secarik kertas dari sakunya. Dia akan menulis tetapi kemudian dia ingat sesuatu ..
Oh ya, saya lupa. Saya tidak memiliki pena.
IndiHome-Man bisa mendengar Nurul mendesah di kepalanya.
"Apakah ada di antara kalian yang punya pulpen atau pensil?"
Yang tertua turun dari sofa dan berjalan terhuyung-huyung ke dapur. IndiHome-Man tidak tahu kenapa dia pergi ke dapur untuk mengambil pulpen, tapi dia menepiskan pikiran tersebut karena tidak terlalu peduli. Begitu dia menyerahkan pulpennya, dia menulis nomor kontak 147 di selembar kertasnya.
"Ini," katanya, memberikan gadis itu kertas. "Ingatlah untuk membicarakannya dengan orang tuamu terlebih dahulu," anak-anak terkikik dan tersenyum padanya. "Kami berjanji!"
Dan dengan itu, IndiHome-Man keluar dari gedung.
Langit mulai cukup gelap. Saat itu hampir jam 6 sore. Farhan benar-benar harus pulang, dia tidak ingin ibunya khawatir. Tapi, pertama-tama, dia harus ke kantor pusat Telkom Indonesia untuk mengecek Nurul dan yang lainnya.
Dengan menarik napas dalam-dalam, IndiHome-Man mengudara untuk terakhir kalinya hari itu.
---
Kantor Pusat Telkom Indonesia terlihat indah di langit senja yang menguning. Itu berdiri tegak dan bangga atas lingkungannya.
Farhan melepas jas khususnya di kamar mandi umum. Dia kembali ke wujudnya yang biasa lagi -- seorang bocah SMP ingusan.
"Halo, Nak. Selamat sore!" Pak Geger, sang resepsionis menyapanya. "Ya terima kasih!" Dia membalas.
Nurul berada di lantai 3, di ruang operator yang memiliki terlalu banyak monitor. Biasanya Farhan suka naik tangga karena memberikanya suatu kesempatan olah raga, tapi sekarang dia merasa harus naik lift saja agar tidak terlambat pulang. Ia menggigil memikirkan amarah ibunya.
Alunan musik jazz yang menenangkan menutupi rasa mualnya saat lift bergerak naik turun.
"Aku disini!" Farhan menghambur masuk ke ruang operasi. "Hari yang panjang, ya?" goda Nurul. Selain dia, ada beberapa orang lain di sana melihat komputer mereka masing-masing, tapi jumlah pekerja lain tidak banyak.
Farhan merentangkan tangannya, menjatuhkan pantatnya ke atas busa lembut kursi ruangan operasi "Jadi, bagaimana hasilnya?" Nurul mengklik beberapa tab di komputernya. "Nah, karyawan toko video sedang berbicara dengan bosnya sekarang. Lihat!" Dia menunjuk ke layar yang menunjukkan rekaman CCTV dari pemuda itu berbicara dengan bosnya. "Tapi gue kurang kedengeran. Jadi ga tau reaksi si bosnya gimana."
"Kalo yang lain gimana?"
"Orang tua anak-anak yang tadi menelepon jadi itu bagus. Mereka belum memutuskan paket internet apa yang ingin mereka miliki. Kalo soal cewe apartemen..." Nurul mengangkat bahu. "Dia mungkin memeriksa rekening banknya terus sadar kalo uangnya ga cukup." Farhana menghela napas. "Yah, kamu tidak bisa memaksa mereka. Gue sih cuma berharap dia ga membajak lagi." Bokong Farhan terasa agak keras meskipun sedang dalam posisi duduk. Kursi-kursi ruang operasi sangat bervariasi -- ada banyak yang nyaman ditempati tapi juga ada banyak yang membuat punggung sakit. "Iya, gue setuju," sahut Nurul.
"Well," Farhan keluar dari tempat duduknya "Gue harus ke rumah," ia menepuk pundak Nurul seakan-akan mengatakan "sampai jumpa, bro". "Takut dimarahin Emak, ya?" Nurul tertawa sambil mengotak-atik komputernya. Nurul tidak seperti Farhan, ia sudah dewasa jadi jam kerjanya relatif lebih panjang dibanding jam kerja Farhan. "Nggak lah! Jangan ngaco!"Â
Telkom Indonesia jaraknya dekat dengan rumah Farhan jadi ia tinggal jalan kaki untuk pulang. Ia melihat sekelilingnya saat berjalan. Bangunan-bangunan tersusun rapih, pohon-pohon yang bersih dan hijau. Semua ini dipercantik dengan adanya pandangan langit kuning-oranye sore hari. Jalan kaki ke rumah merupakan hal yang paling Farhan sukai dari pekerjaanya. Pemandangan komplek sekitar rumahnya sangatlah indah, ia ingin mengingat segala detailnya.
Akhirnya ia sampai di rumah. Syukurlah, langit belum gelap. Ia menaruh sepatu hitamnya di lantai dan membuka pintu.
"Hah! Itu dia orangnya!" Suara ibunya dapat terdengar. Sebelum ia bisa berpikir, wanita tersebyt langsung meluncurkan dirinya ke arah Farhan, seolah-olah sudah lama tidak bertemu. Ibu memeluknya dengan sangat kencang, Farhan malah agak susah bernafas. "Anakku, sayangku! Ibu kira kamu tersesat!" Ciuman besar ditempelkan ke pipinya. "Ah, ibu ada-ada aja. Gak kok, cuma main di rumah temen," Farhan menggosok pipinya. "Siapa? Fatur? Indra? Putri?" Farhan menggaruk-garuk lehernya. Kadang, ibunya memang terlalu over-protective. "Ya.. Itu bu.. yang biasanya," ia mengutuk diriya. Farhan memang harus melatih dan memperbaiki alasan-alasan palsunya.
"Gapapa. Yang penting kamu sehat," ayah Farhan muncul dari ruang tamu untuk mengacak-acak rambut anaknya. Farhan tersenyum. "Jadi, bagaimana harimu, nak?"Â
Farhan mengingat kembali hal-hal yang telah ia lakukan hari itu. Ia mengingat bagaimana cemasnya wajah karyawan toko video saat ia kesusahan menyalakan TV-nya. Ia mengingat gadis aneh di apartemen yang laptopnya benar-benar terserang virus akibat membajak. Dan tentu saja, ia mengingat anak kecil umur 7 tahun yang berhasil meyakinkan saudara-saudarinya untuk mendengarkan usulan IndiHome-Man. Ia berharap mereka semua dapat mendapatkan pengalaman berharga dan hubungan internet yang baik, kencang, dan cepat di masa depan. Farhan mencintai pekerjaanya. Ia mencintai senyuman-senyuman manis yang muncul di wajah warga kota kecilnya saat IndiHome-Man berhasil membantu kebutuhan teknologi informasi mereka.
Farhan menghela nafasnya dan berkata, "Hari saya baik, yah."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H