"Kalo yang lain gimana?"
"Orang tua anak-anak yang tadi menelepon jadi itu bagus. Mereka belum memutuskan paket internet apa yang ingin mereka miliki. Kalo soal cewe apartemen..." Nurul mengangkat bahu. "Dia mungkin memeriksa rekening banknya terus sadar kalo uangnya ga cukup." Farhana menghela napas. "Yah, kamu tidak bisa memaksa mereka. Gue sih cuma berharap dia ga membajak lagi." Bokong Farhan terasa agak keras meskipun sedang dalam posisi duduk. Kursi-kursi ruang operasi sangat bervariasi -- ada banyak yang nyaman ditempati tapi juga ada banyak yang membuat punggung sakit. "Iya, gue setuju," sahut Nurul.
"Well," Farhan keluar dari tempat duduknya "Gue harus ke rumah," ia menepuk pundak Nurul seakan-akan mengatakan "sampai jumpa, bro". "Takut dimarahin Emak, ya?" Nurul tertawa sambil mengotak-atik komputernya. Nurul tidak seperti Farhan, ia sudah dewasa jadi jam kerjanya relatif lebih panjang dibanding jam kerja Farhan. "Nggak lah! Jangan ngaco!"Â
Telkom Indonesia jaraknya dekat dengan rumah Farhan jadi ia tinggal jalan kaki untuk pulang. Ia melihat sekelilingnya saat berjalan. Bangunan-bangunan tersusun rapih, pohon-pohon yang bersih dan hijau. Semua ini dipercantik dengan adanya pandangan langit kuning-oranye sore hari. Jalan kaki ke rumah merupakan hal yang paling Farhan sukai dari pekerjaanya. Pemandangan komplek sekitar rumahnya sangatlah indah, ia ingin mengingat segala detailnya.
Akhirnya ia sampai di rumah. Syukurlah, langit belum gelap. Ia menaruh sepatu hitamnya di lantai dan membuka pintu.
"Hah! Itu dia orangnya!" Suara ibunya dapat terdengar. Sebelum ia bisa berpikir, wanita tersebyt langsung meluncurkan dirinya ke arah Farhan, seolah-olah sudah lama tidak bertemu. Ibu memeluknya dengan sangat kencang, Farhan malah agak susah bernafas. "Anakku, sayangku! Ibu kira kamu tersesat!" Ciuman besar ditempelkan ke pipinya. "Ah, ibu ada-ada aja. Gak kok, cuma main di rumah temen," Farhan menggosok pipinya. "Siapa? Fatur? Indra? Putri?" Farhan menggaruk-garuk lehernya. Kadang, ibunya memang terlalu over-protective. "Ya.. Itu bu.. yang biasanya," ia mengutuk diriya. Farhan memang harus melatih dan memperbaiki alasan-alasan palsunya.
"Gapapa. Yang penting kamu sehat," ayah Farhan muncul dari ruang tamu untuk mengacak-acak rambut anaknya. Farhan tersenyum. "Jadi, bagaimana harimu, nak?"Â
Farhan mengingat kembali hal-hal yang telah ia lakukan hari itu. Ia mengingat bagaimana cemasnya wajah karyawan toko video saat ia kesusahan menyalakan TV-nya. Ia mengingat gadis aneh di apartemen yang laptopnya benar-benar terserang virus akibat membajak. Dan tentu saja, ia mengingat anak kecil umur 7 tahun yang berhasil meyakinkan saudara-saudarinya untuk mendengarkan usulan IndiHome-Man. Ia berharap mereka semua dapat mendapatkan pengalaman berharga dan hubungan internet yang baik, kencang, dan cepat di masa depan. Farhan mencintai pekerjaanya. Ia mencintai senyuman-senyuman manis yang muncul di wajah warga kota kecilnya saat IndiHome-Man berhasil membantu kebutuhan teknologi informasi mereka.
Farhan menghela nafasnya dan berkata, "Hari saya baik, yah."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H