Punk sendiri lahir di London pada tahun 1970-an yang dibentuk atau diprakarsai oleh remaja-remaja yang berprofesi sebagai buruh sebagai bentuk protes terhadap kemapanan. Di Inggris pada masa tersebut gampang sekali membedakan orang dari penampilannya. Seperti kelas pekerja, menengah dan bangsawan memiliki bahan dan model pakaian yang berbeda secara signifikan.
Punk pun kerap kali disalah diartikan oleh pandangan masyarakat, mereka menganggap bahwa punk adalah kultur yang mempromosikan kekerasan dan kebebasan yang terlalu frontal. Seperti di Indonesia sering kali kita temukan bahwa pemikiran masyarakat Indonesia terhadap punk ialah yang sering kali mengamen di jalanan atau lampu merah dengan pakaian yang urakan, padahal sejatinya punk itu ialah ideologi yang mengusung terhadap kebebasan.
Pengaruh Musik Terhadap Gerakan Sosial Di Indonesia
Di Indonesia sendiri musik juga turut ambil bagian di dalam sejarah negara. Di era Orde Lama musik berhasil mencuri perhatian pemerintah untuk bersikap, mengeluarkan aturan dan kebijakan karenanya. Seperti yang kita tahu pada masa Orde Lama musik dan budaya-budaya barat dilarang oleh Bung Karno yang bisa kita lihat dari kebijakan Manipol yang berisikan Tri Program dimana berdampak pada larangan musik-musik barat, seperti Elvis Presley dan The Beatles.
Orde Lama akhirnya menutup pintu masuk tren budaya dari barat yang membuat anak muda menjadi gelisah dan resah saat itu karena sesuatu yang mereka nilai mewakili hasratnya dilarang oleh pemerintahnya. Demam rock n roll yang memuncak kala itu membuat anak muda saat itu gundah, peraturan pemerintah yang mengekang tetapi hasrat rock n roll mereka tak terbantahkan. Hingga suatu momen tak terlupakan di sebuah pesta seorang perwira pada 29 Juni 1965, Koes Bersaudara dan Dara Puspita berbagi panggung membawakan beberapa lagu The Beatles yang berujung penangkapan terhadap Koes Bersaudara dan Dara Puspita, Koes Bersaudara masuk ke BUI sedangkan Dara Puspita hanya terkena wajib lapor.
Setelah melewati masa tahanannya, Koes pun merilis album To the So Called “The Guilties” pada tahun 1967. Dimana terdapat sebuah 3 lagu perlawanan didalamnya, seperti “To the So Called The Guilties”, “Di dalam Bui”, dan “Poor Clown”. Untuk Dara Puspita sendiri yang saat itu terkena wajib lapor dalam setiap kedatangannya, mereka diharuskan menghibur para aparat dengan menyuguhkan beberapa lagu dan ternyata aparat tidak menyadari dan tidak mengerti kalau Dara Puspita menyematkan lagu-lagu The Rolling Stones ke dalam repertoirenya. Oleh karena peristiwa tersebutlah tonggak sejarah perlawanan lewat musik di Indonesia dimulai.
Setelah runtuhnya Orde Lama dan berdirinya Orde Baru. Kehadiran Orde Baru menjadi harapan yang ditunggu oleh generasi muda saat itu sebab arus informasi deras meluncur ke Indonesia dan pemerintah juga menggunakan musik barat sebagai propaganda kepada rakyatnya. Hal ini akhirnya mulai menghadirkan pertanyaan yang kemudian berubah menjadi perlawanan.
Pada era 90-an ada nama-nama seperti Iwan Fals dan Kantata Takwa sebagai contoh, mereka mengusung musik perlawanan yang mampu membawa massa dalam jumlah yang begitu besar, melalui jenis musik yang sangat sekali dekat dengan rakyat. Hingga pada akhir runtuhnya Orde Baru, musik selalu mengiringi aksi demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat yang menginginkan pergantian rezim pemerintahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H