Lagi-lagi kita di timpa oleh kebohongan perasaan sendiri. Seolah-olah dengan kesanggupan yang kita miliki kita dapat memenangkan peperangan. Ada orang yang tiba-tiba berlali, mengambil pedang, dan dengan beringasnya dia memenggal urat keputusan.
Waktu memang terkadang tepat, pada purnama yang pertama, diadakan konferensi untuk mengakulturasi perasaan-perasaan kita untuk jangka panjang.
Tepat satu purnama setelah acara itu, para bosan-bosan unjuk rasa di depan gedung hati, mereka membakar dan melempari dengan batu. Mereka adalah hitam yang menutupi segala warna kebahagiaan. Sebenarnya itu hanya bentuk penentangan para lemah, hanya saja mereka terlihat banyak dan di sangka kuat untuk menjahannamkan perasaan-perasaan.
Bosan layaknya pekerja jalan raya pos yang membentang dari Anyer sampai Panarukan, paksaan dan kekerasan terus menghujani, namun mereka berhasil walau harus dengan keringat dan air mata darah.
yatanya perasaan sampai sekarang tengah bingung, perasaan yang lain mampu menerima dengan segala keluasaan dengan bukti-bukti yang masif. Oh, ternyata dia tidak memiliki sentral perasaan yang signifikan, cenderung berlebihan pada perasaan-perasaan yang berdiaspora.
Terlepas dari segala macam anomali, perasaan cenderung berubah, penyakit mulai menyerangnya. Di penghujung peperangan dia pun harus mati tertusuk bayang-bayang kebosanan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H