Aktivitas puasa selalu diartikan dan memang benar demikian sebagai peperangan melawan nafsu. Cuma barangkali karena pengetahuan dan ilmu kita tentang musuh yang harus diperangi itu tidak bertambah, strategi dan taktik perang kita pun kurang berkembang.
Kalau kita mendengar tentang nafsu makan, asosiasi kita menunjuk ke makan, bukan nafsunya. Maka ketika seorang istri kita ke pasar, yang dibeli terutama adalah pesanan-pesanan nafsu bukan kapasitas kebutuhan makan yang diperlukan. Setiap pelaku puasa punya pengalaman untuk cenderung mendambakan dan menumpuk berbagai jenis makanan dan minuman sepanjang hari. Kemudian, ketika saat berbuka tiba, ia baru tahu bahwa perut sama sekali tidak membutuhkan sebanyak dan semewah itu.
Pelajaran yang diperoleh dari peristiwa semacam itu seharusnya adalah kesanggupan memilahkan antara dorongan nafsu dengan kebutuhan makan. Kegiatan puasa jadinya bukanlah pertempuran melawan “tidak boleh makan” atau “tidak adanya makanan”, melainkan melawan nafsu itu sendiri yang menuntut pengadaan lebih dari sekedar makanan.
Puasa adalah penguraian “nafsu” dari “makan”. Untuk tidak makan dari subuh hingga maghrib, anak kecil yang baru duduk di kelas III SD saja sudah sanggup. Untuk “tidak makan” jauh lebih gampang dan ringan dibandingkan untuk “tidak bernafsu makan”.
Padahal, ilmu “makan sejati” atau “makan pas” nya Rasulullah Muhammad juga berlaku untuk segala makan dalam kehidupan.
Puasa mengajarkan dan melatih pelaku-pelakunya untuk makan, untuk bersedia menggnggam kekuasaan; untuk menjadi ini itu atau melakukan apa saja hanya ketika benar-benar dalam keadaan “lapar sejati”, bukan dalam keadaan “merasa lapar karena nafsu”.
Jika orang menjalankan puasa dengan pengetahuan, ilmu, cinta dan ketakwaan, ia akan berlatih untuk bertahan pada “makan yang sejati” yakni berlatih untuk mengambil jarak dari nafsu. Tetapi alangkah sedihnya menyaksikan betapa dunia ini diisi oleh banyak manusia yang tak henti-hentinya makan, padahal ia tak lapr, serta oleh banyak manusia yang tidak habis-habisnya makan, padahal ia sudah amat kekenyangan.
Untungnya bahwa bagi para pelaku “puasa sejati” kesabaran untuk menyaksikan keburaman hidup semacam itu bisa justru dapat meningkatkan perolehan kemuliaan dan kesejatiannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H