Bagaimana Transparansi dan Antropomorfisme dalam Meningkatkan Persepsi?
Di era digital yang semakin maju, algoritma kini memegang peran penting dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam proses rekrutmen. Meskipun tujuan utamanya adalah untuk menghilangkan bias manusia, banyak penelitian menunjukkan bahwa keadilan yang diharapkan dari algoritma tidak selalu sesuai dengan persepsi kandidat. Artikel "Perceived algorithmic fairness: An empirical study of transparency and anthropomorphism in algorithmic recruiting" karya Ochmann, Michels, Tiefenbeck, Maier, dan Laumer (2024) menggali lebih dalam mengenai bagaimana transparansi dan antropomorfisme memengaruhi persepsi keadilan terhadap algoritma rekrutmen. Dalam penelitian yang melibatkan 801 partisipan, penulis berupaya memahami faktor-faktor yang dapat memengaruhi persepsi keadilan, terutama dengan memperkenalkan dua variabel utama: transparansi dan antropomorfisme.
Meskipun secara teoritis, algoritma dinilai memiliki potensi untuk menghasilkan keputusan yang lebih objektif dan adil dibandingkan manusia, kenyataannya banyak kandidat masih meragukan keadilan algoritmik. Hal ini terjadi karena algoritma sering kali dipandang sebagai kotak hitam yang sulit dipahami. Menurut penelitian ini, bahkan dengan kriteria keadilan yang jelas, seperti keadilan prosedural dan distributif, persepsi individu tetap subjektif dan sangat bergantung pada informasi yang mereka terima tentang proses pengambilan keputusan. Transparansi menjadi kunci penting di sini, karena semakin jelas proses di balik algoritma, semakin tinggi pula tingkat kepercayaan kandidat. Sebagai contoh, penelitian menunjukkan bahwa 79% manajer HR mengakui bahwa diskriminasi masih menjadi isu utama dalam proses rekrutmen (Souza, 2020). Pada saat yang sama, data dari Eurostat (2022) menunjukkan bahwa hanya 30,6% perempuan yang menduduki posisi direksi di perusahaan-perusahaan terbesar di Eropa, mengindikasikan adanya ketidaksetaraan dalam kesempatan kerja.
***
Dalam studi yang dilakukan oleh Ochmann dkk. (2024), transparansi dianggap sebagai salah satu strategi efektif untuk meningkatkan persepsi keadilan terhadap algoritma rekrutmen. Transparansi di sini berarti memberikan informasi yang jelas tentang bagaimana algoritma bekerja, termasuk penjelasan tentang kriteria apa saja yang dipertimbangkan dalam proses seleksi. Penelitian menunjukkan bahwa ketika transparansi diterapkan, hal ini berpengaruh langsung pada peningkatan keadilan prosedural dan distributif yang dirasakan oleh kandidat. Dalam eksperimen yang melibatkan 801 partisipan, kelompok yang diberi penjelasan transparan mengenai algoritma menunjukkan peningkatan persepsi keadilan secara signifikan. Bahkan, transparansi terbukti meningkatkan keadilan prosedural sebesar 25% dibandingkan kelompok yang tidak diberi penjelasan mendetail.
Namun, transparansi saja ternyata belum cukup. Penggunaan antropomorfisme yakni memberikan sifat-sifat manusia pada algoritma menjadi faktor kedua yang turut memengaruhi persepsi keadilan. Algoritma yang dipresentasikan secara lebih manusiawi, misalnya melalui nama atau avatar yang terpersonalisasi, membantu kandidat merasa lebih "terhubung" secara emosional dengan proses rekrutmen. Studi ini menemukan bahwa kelompok yang berinteraksi dengan algoritma antropomorfik memiliki persepsi keadilan interpersonal yang lebih tinggi. Ini penting karena dalam beberapa penelitian sebelumnya, algoritma sering dianggap sebagai entitas yang terlalu kaku dan tidak empatik (Newman et al., 2020). Dengan menambahkan elemen-elemen seperti avatar dan pesan personalisasi, penelitian ini menunjukkan peningkatan 18% dalam persepsi keadilan interpersonal dan informasi.
Lebih jauh lagi, dampak dari keadilan algoritmik ini tidak hanya sebatas persepsi, tetapi juga memengaruhi tindakan nyata dari kandidat. Kandidat yang merasa diperlakukan dengan adil oleh algoritma lebih cenderung merekomendasikan perusahaan kepada orang lain. Data dari penelitian ini menunjukkan bahwa kandidat dengan persepsi keadilan algoritmik yang tinggi memiliki peluang 1,5 kali lebih besar untuk memberikan rekomendasi positif kepada perusahaan dibandingkan kandidat dengan persepsi keadilan yang rendah. Ini menjadi penting bagi perusahaan yang ingin menjaga reputasi mereka di tengah persaingan pasar tenaga kerja yang semakin kompetitif.
Dalam keseluruhan temuan ini, ada pesan yang sangat jelas: algoritma tidak bisa hanya sekadar diandalkan untuk pengambilan keputusan tanpa memperhatikan aspek persepsi manusia. Transparansi dan antropomorfisme adalah alat yang kuat dalam membangun kepercayaan dan memaksimalkan keadilan dalam rekrutmen berbasis algoritma. Jika perusahaan ingin menerapkan algoritma dalam skala yang lebih luas, mereka perlu mempertimbangkan tidak hanya aspek teknis tetapi juga bagaimana algoritma tersebut dipersepsikan oleh pengguna, dalam hal ini kandidat pekerja.
***
Dari penelitian yang dilakukan oleh Ochmann dkk. (2024), jelas bahwa penerapan algoritma dalam proses rekrutmen harus disertai dengan strategi untuk meningkatkan persepsi keadilan. Transparansi dan antropomorfisme terbukti menjadi dua pendekatan yang efektif untuk meningkatkan kepercayaan dan rasa adil di mata kandidat. Transparansi memberikan pengetahuan dan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana keputusan dibuat, sementara antropomorfisme membantu menciptakan hubungan yang lebih empatik antara kandidat dan algoritma.
Bagi perusahaan yang ingin menggunakan teknologi ini secara luas, penting untuk mempertimbangkan bahwa persepsi manusia sangat mempengaruhi keberhasilan adopsi teknologi. Sebuah algoritma yang dianggap adil tidak hanya akan meningkatkan kualitas rekrutmen, tetapi juga reputasi perusahaan secara keseluruhan. Dalam dunia yang semakin didominasi oleh teknologi, manusia tetap mencari keadilan dan koneksi dalam setiap interaksi, termasuk dalam rekrutmen. Jadi, tantangannya adalah bagaimana teknologi dapat dioptimalkan untuk memenuhi harapan ini.