Mohon tunggu...
Muhammad Rizqi Gumilar
Muhammad Rizqi Gumilar Mohon Tunggu... karyawan swasta -

senyum trus....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pusaran Rindu

2 April 2013   04:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:53 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kutatap langit gelap di luar kamarku. Sebuah senyum pahit kucoba hiasi wajah resahku. Aku pun mencoba menertawakan diriku. Menertawakan kebodohanku. Metode melupakan masalah, begitulah kata para facebooker. Terasa agak ringan beban resahku. Metode yang sangat efektif dan simpel.

Namun, di lubuk hatiku yang terdalam, aku masih menunggu sebuah pesan darinya. Mungkin sebuah keajaiban jika tanpa sebab ia mengirimiku sebuah pesan. Entahlah. Aku mencoba dan memaksakan hati untuk tidak memikirkannya.

Empat hari pun berlalu tanpa terasa. Dan jiwaku pun semakin sepi. Aku seperti sedang berjalan dalam bayang-bayang semu. Atasanku terkadang sering menegurku, katanya aku sering melamun. Ah, aku telah gagal menjadi laki-laki gagah. Aku harus melupakannya. Harus. Selamat tinggal cinta. Selamat tinggal masa lalu.

Kutancapkan sedalam-dalamnya dalam hatiku. Aku harus melupakannya. Bukankah sedari awal aku sudah tahu jika akhirnya adalah harapan hampa. Harapan kosong belaka.

Ba'da sholat maghrib sebuah nada sms masuk mengagetkan hatiku. Aku harap dia. Cesss.. Dingin sekali dadaku. Ah, ternyata rekan kerjaku

Dunia kembali mewangi dan mewarna, indah nian. Aku akan datang.

---***---

Ia tak berani menatapku. Berkata pun tidak. Padahal, pesannya masih terbaca jelas, ia ingin menyampaikan sesuatu padaku. Aku kecewa, namun aku mencoba tersenyum saat ia berpamitan. Kucoba menatap mata beningnya. Dan aku menemukan sesuatu, sesuatu yang membuatku ingin berteriak bahagia. Sebuah cahaya, cahaya harapan.

Aku terdiam laksana patung saat ia perlahan meninggalkan kami, keluarganya dan diriku, tentu saja. Kutundukan wajah syahduku.

"Mas Rizqi, sebentar." Sebuah suara mengagetkan anganku yang melayang bersama bayangnya.

"Nggeh pak!" Seorang lelaki paruh baya menghampiriku. Aku tidak tahu siapa beliau. Mungkin ayahnya. Tapi, bagaimana beliau tahu namaku. Entahlah. Aku belum sempat berbasa - basi berkenalan dengan keluarganya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun