Mohon tunggu...
Rizqi Dariza
Rizqi Dariza Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Muhammadiyah

Mahasiswa Aktif, mari kembalikan republik literasi Gladio Galamus Fortior

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dilema dan Kecemasan menuju Pemilu 2024: Sebuah Refleksi dari Rakyat

11 Februari 2024   19:05 Diperbarui: 11 Februari 2024   19:16 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.bbc.com/indonesia/articles/cy0m5el982zoInput sumber gambar

Pemilu 2024 semakin dekat. Dari sekian banyaknya opini dari personal maupun publik mengenai 3 paslon yang maju di kancah nasional beserta 9.919 calon dewan. Di tengah hiruk pikuk kampanye dan berbagai manuver politik, saya, merasakan dilema dan kecemasan yang mendalam. Dilema ini muncul dari kontradiksi antara pandangan ideal dan kenyataan demokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, izinkan saya menuangkan dilema dan kecemasan ini dalam sebuah opini. Perlu dicatat bahwa opini ini murni dari pemikiran saya pribadi dan tidak mewakili pihak manapun.

Saya warga Indonesia, dan saya anak bangsa. Saat ini Saya seorang Mahasiswa aktif, dan "intelektual cosmopolitan". Mungkin juga saya penganut paham tenokrasi atau demokrasi deliberatif. Terlepas dari keragaman pandangan politik, saya melihat bahwa politik di Indonesia sering kali terjebak dalam konotasi negatif. Fenomena oligarki, KKN, dan manipulasi masih menjadi penyakit kronis dalam dunia politik. Saya percaya bahwa politik seharusnya dilandaskan pada etik dan estetika, yaitu moralitas dan keindahan. Oleh karena itu, marilah kita berdialog dengan bahasa cinta dan perdamaian dalam opini kali ini.

Kecemasan terhadap dinamika politik di dalam negeri tidak hanya saya rasakan. Sebuah survei terbaru oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan bahwa 58,7% responden menyatakan kecewa terhadap kinerja demokrasi di Indonesia. Kekecewaan ini didorong oleh berbagai faktor, seperti maraknya politik uang, oligarki, dan rendahnya akuntabilitas pemerintah. Sebagai bagian dari masyarakat, saya merasakan kecemasan mendalam terhadap dinamika politik dalam negeri yang semakin emosional dan terpolarisasi. Perasaan muak adalah satu-satunya kata yang dapat menggambarkan kekecewaan saya terhadap iklim politik di Indonesia saat ini. Kata "democrazy", sebuah istilah yang menggambarkan demokrasi yang kacau dan jauh dari prinsip awalnya, menurut saya tepat untuk menggambarkan situasi saat ini. Pertanyaan yang muncul kemudian, masih relevankah demokrasi di Indonesia ini?

Semakin kesini beberapa aspek demokrasi tersebut rasanya memang benar cukup melenceng, banyak hal hal yang diciderahi tapi malah dinormalisasi. Jika merujuk pada artikel Franz Magnis-Suseno, maka muncul pertanyaan, "Apa demokrasi kita perlu diselamatkan?" Maka izinkan saya untuk berpendapat, saya rasa saat ini saya sedang bernostalgia terhadap Orde Baru yang saya pelajari lewat buku sejarah, beserta pembelajaran-pembejalaran dari berbagai sumber. Pada awalnya saya merupakan seseorang yang berpendapat bahwa Indonesia belum siap dengan sistem demokrasi dan Indonesia haruslah dipimpin secara "tangan besi" sesuai pandangan kwik kian gie, mengapa? Karena demokrasi itu teramat sangat berat untuk dijalankan. Ini berbicara tentang mentalitas. Mental rakyat Indonesia itu belum mampu dalam menerima demokrasi, dan demokrasi tidak bisa diberikan secara langsung, demokrasi harus diberikan secara perlahan. Secara kasarnya "maaf" bahwa rakyat terlalu bodoh untuk bisa menentukan nasibnya sendiri.

Kita pahami sendiri bahwa fenomena bansos, politik uang dan sebagai nya marak terjadi. Istilah dalam demokrasi 50%+1 itu belum bisa dipahami bahkan mungkin sudah tidak relevan lagi karena segala keputusan politik yang diambil tidak lagi meliputi suara terbanyak namun diambil oleh oligark atau elit politik yang justru menjurus ke feodal. Maka dari itu Indonesia haruslah dipimpin oleh seseorang yang bertangan besi dan demokrasi harus diberikan secara perlahan, karena rakyat nya masih belum bisa independen dan moral nya masih hancur.

Namun jika kita beridealisme pada demokrasi yang benar, maka pada dasar nya prinsip utama demokrasi yang saya pahami mengacu pada Kedaulatan rakyat, Persamaan hak, Kebebasan, Penegakan hukum, Akuntabilitas, Pemilihan umum yang bebas dan adil, Pergantian kepemimpinan yang damai, dan Pluralisme yang disenyawakan dalam kedaulatan rakyat untuk rakyat. Dan terdengar menggelitik ditelinga saya bahwa seorang elite politik menggaungkan pembelaan terhadap rakyat dan mati untuk rakyat. Karena pada prisnip demokrasi yang saya pahami para elit politik itu juga termasuk rakyat karena sejatinya Indonesia merdeka harus bukan hanya demi rakyat, melainkan harus dijalankan oleh rakyat dan atas penugasan rakyat. Saya curiga bahwa Indonesia sekarang sudah mengarah pada pemikiran feodalistik. Maka saya rasa, lama-kelamaan kesabaran kita dengan pola pemikiran feodalistik itu perlu diakhiri. Dan pada akhirnya juga saya rasa demokrasi juga masih jalan dan tidak sepenuhnya mandek. Beberapa kampus menyatakan sikap terhadap demokrasi yang ugal ugalan, penyalahgunaan kekuasaan atau power abusing dapat ditekan. Ternyata Rakyat Tidak Diam!

Jika berbicara tentang demokrasi, pemimpin ideal adalah sosok yang tegas dan berwibawa. Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat dan berani melawan intervensi dari elit politik. Memiliki pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang prinsip-prinsip demokrasi dan mampu menerapkannya dalam kebijakan dan tindakannya. Serta edukatif, Mampu memberikan edukasi dan pemahaman tentang demokrasi kepada seluruh rakyat Indonesia. Tentu saja, parameter ideal pemimpin dapat berbeda-beda tergantung pada aspek yang dilihat, seperti ekonomi, sosial-politik, geo-politik, dan lain sebagainya. Namun, pertanyaan yang muncul adalah, apakah ada sosok pemimpin seperti yang saya maksud?

Jawabannya mungkin tidak mudah. Namun, saya percaya bahwa Indonesia memiliki banyak potensi pemimpin yang memiliki kualitas tersebut. Tugas kita sebagai rakyat adalah untuk terus mencari dan mendukung pemimpin yang ideal, serta mendorong mereka untuk mewujudkan demokrasi yang ideal di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun