Mohon tunggu...
Rizqiani Putri
Rizqiani Putri Mohon Tunggu... -

ada (bukan) berarti ada...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Balik Rona Purnama

24 Maret 2012   13:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:32 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Never so weary, never so in woe.
Bedabbled with the dew, and torn with the briers.
I can no further crawl, no further go…

*

Tak pernah begitu letih, tak pernah begitu sengsara.
Tercebur bersama embun, dan tercabik tanaman berduri.
Aku tak lagi mampu merangkak, tak lagi mampu pergi…
Dead Poet Society, judul buku yang ada dalam genggamanku saat ini. Sebuah novel terjemahan. Hmm, barang bagus, pikirku sejak pertama kali melihat cover design-nya. Minimalis, dan didominasi warna hitam. Ya, hitam… warna favoritku. Aku melayangkan pandangan keluar jendela kamarku. Jalanan tampak lengang dibandingkan biasanya. Dasar bodoh, terang saja lengang, ini kan tengah malam…!!

Kuatur posisi tubuhku senyaman mungkin, agar aku dapat meneruskan kembali bacaanku sembari tiduran di atas pulau kapuk kesayanganku. Tapi, ah… kenapa selalu terhenti pada bagian ini? Ini sudah yang kelima belas kalinya aku membaca ulang
buku ini, dan sudah kelima belas kali ini pula aku menyimak puisi
yang satu ini. Kenapa harus selalu yang ini? Kenapa? Huffh…

Kutarik nafasku sepanjang mungkin, kubolak-balik halaman-
halaman sebelum dan sesudahnya. Ada begitu banyak puisi hebat yang terdapat dalam buku ini dan selalu saja puisi ini yang paling menarik minatku. Memangnya apa yang menarik dari puisi picisan macam ini?!

Hmm…, mungkin ada baiknya kalau aku mengizinkan otakku
menyelaraskan kerja mereka sejenak. Maka kubiarkan saja ketikap sang pusat saraf memerintah ragaku untuk bangkit dan menjejakkan telapak kakiku di atas lantai. Menempel sesaat, merasakan dinginnya hawa malam. Brrr…, kurapatkan selimut tipis yang sejak tadi membalut diriku. Dan buku itu masih tetap berada dalam genggaman tanganku.

Kemudian aku berjalan
perlahan, menembus cahaya lampu dalam kamarku. Menuju
jendela bertirai cantik itu. Perlahan mendekat… kusingkap tirai lebih lebar dengan jemari tangan kananku, dan menatap kelam malam. Purnama tampak begitu mempesona, sedang bintang mengerjap nakal padaku. Dasar polos! Membuatku teringat akan peristiwa di sekolah siang tadi…

“Kau sadar tidak, betapa beruntungnya dirimu?“ tanya April, salah satu teman baikku, “Ibarat ramalan cuaca, kau selalu cerah. Bak dewi malam, kau adalah purnama…” lanjutnya, dengan roti isi keju yang dikunyahnya susah payah. Dan akupun tersenyum… “Kau ini aneh! Apa tak pernah sekalipun merasakan susah, sehingga kerjamu hanya menyemangati orang untuk selalu
optimis dalam menjalani hidup. Lha…, kau sendiri?! Apa tak
pernah punya masalah??” lanjutnya lagi. Kali ini, roti isi keju itu telah tandas dikunyahnya. Pandangannya tajam, seolah ingin ditelannya aku hidup-hidup. Dan akupun masih tersenyum…

Hmm…, pur-na-ma. Apa benar aku secerah purnama malam ini?
Purnama…, yang merona karena pantulannya terhadap sinar
mentari. Purnama yang tak tampak jika tak sanggup menerima sinar mentari. Purnama yang sesungguhnya bukan apa-apa, bukan siapa-siapa…

“Hei, apa yang terjadi pada diriku? Tak ada satupun yang
kurang, ataupun salah! Aku bahagia menjalani kehidupanku.
Bahagia menjadi diriku. Bahagia membuat orang lain bahagia. Dan, semua orang menyayangiku…”

Malam masih kelam. Sepi…, tak ada jawaban. Memangnya siapa
yang kuharap mampu menjawab pertanyaan bodoh ini?!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun