Sebelum membicarakan bagaimana sifat Rasulullah SAW. terlebih dahulu akan ditinjau bgaimana kondisi dunia saat kelahirannya. Dikatakan oleh Fazlur Rahman, bahwa Pada abad ke-5 dan ke-6 Masehi dunia beradab telah mendekati tahap kekacauan kultur-kultur lama yang emosional telah memungkinkan tegaknya suatu peradaban, karena suatu naluri kesatuan dan ketaatan manusia atas peraturan-peraturannya telah hancur dan tak satupun yang ditemukan cukup memadai untuk menggantikan kedudukannya. Peradaban pada saat itu diumpamakan oleh J.H. Dension bagai sebatang pohon raksasa yang daun-daunnya melingkupi dunia dan cabang cabangnya telah melahirkan buah-buahan emas berbentuk seni, ilmuwan, dan literatur, telah membusuk sampai ke dalamnya. Sedang di dunia Arab sendiri terjadi pemerkosaan dan perampokan, dan kematian dianggap sebagai akhir dari eksistensi, maka tidak ada yang dinamakan ganjaran untuk kebaikan serta hukuman untuk kejahatan. Kebejatan-kebejatan moral dan religius juga dilakukan oleh mereka. Pada saat yang demikian, lahirlah Muhammad SAW yang kemudian dipilih oleh Allah SWT. sebagai Rasul-Nya. (Fazlur Rahman, 1983)
Tentang akhlak Muhammad SAW. secara tegas dijelaskan oleh sebuah hadits bahwa akhlaknya adalah Al-Qur'an dan Al-Qur'an sendiri menyifati akhlaknya sebagai Akhlak Yang Mulia (Al-Qalam/ 68: 4). Akhlak beliau yang demikian itu dijabarkan oleh Muhammad al-Hufy dalam bukunya Min akhlak al-Nabi, yang secara panjang lebar dijelaskan bahwa beliau berakhlak: saja'ah, karam, adl, iffah, shidqu, amanah, shabr, afwu, thib al-isyrah, hubbu al-amal, bisyru wa al-fukaha (pemberani, pemurah/dernawan, adil, menjaga diri, jujur, dapat dipercaya, sabar, pemaaf, ramah, gemar beramal, ceria dan lain sebagainya. (Ahmad Muhammad al-Hufy (terj.], 1978).
Agak terinci, sifat-sifat beliau ialah, bahwa beliau adalah sosok manusia yang luar biasa, dari segi fisik (lahiriyah) sebagai manusia yang gagah dan ganteng, sulit kiranya mencari kekurangannya. Dari segi rohaniahnya pun demikian, sebagai manusia yang sederhana, baik makan, minum, pakaian, rumah dan perabotnya, sebagai pelindung yang dapat dipercaya, ramah dan menyenangkan bila berkomunikasi, berbicara seperlunya, pembicaraannya berbobot dan penuh tekanan, melakukan pekerjaan sehari-hari di dalam dan di luar rumah adalah menunjukkan ketidaksombongannya, sedikit makan dan minum, dan apabila mempunyai makanan dibagikan kepada orang fakir dan miskin (ashab al-shuffah) yang menjadi tanggungan beliau. Beliau dianugerahi imajinasi yang luar biasa, kemuliaan hati, selera yang halus dan bersih, pemurah kepada bawahan, tidak mengolok-olok dan tidak mendo'akan jelek kepada orang lain, selalu menjenguk yang sakit dan mengiringi jenazah, berjabat tangan dengan mantap, tidak melepaskan tangannya kecuali yang diajak berjabat tangan melepaskannya, dan sebagainya.
Serius atau tidak, perilaku sehari-hari beliau telah menciptakan hukum yang secara sadar dilakukan oleh berjuta-juta umat manusia dewasa ini. Tak seorang pun yang oleh semua lapisan serta semua ras manusia di dunia ini, dipandang sebagai manusia sempurna, yang begitu serius ditiru. Tingkah laku peletak dasar Kristiani tidak begitu menguasai kehidupan para pengikutnya yang wajar, lagi pula tak seorang pembawa agamapun yang mewariskan suatu martabat yang begitu istimewa kedudukannya selain Muhammad SAW.
Pada era teknologi dan industrialisasi seperti sekarang ini Nabi Muhammad SAW. masih perlu dan harus tetap diteladani, baik dari segi moral, sosial maupun keagamaan (al -Ahzab/33: 21).
Situasi yang dihadapi Muhammad SAW. dengan yang kita hadapi sekarang ini mempunyai esensi yang sama. Beliau menghadapi masyarakat yang rusak moralnya, kemudian dibina menjadi baik, maka pada masa sekarang pun demikian, sebab industrialisasi menuntut dan melahirkan nilai-nilai yang berbeda dengan nilai-nilai yang sebelumnya (baca: masyarakat agraris). Salah satu nilai formal masyarakat industri ialah birokrasi (disamping nilai-nilai lain seperti sekularisasi, lunturnya kegotong-royongan, solidaritas dan sebagainya) yang didalamnya tersimpul nilai-nilai seperti kerutinan, kepastian, dan instrumentalisme. Mekanisme seperti itu membuat seseorang berada dalam posisi tanpa pilihan. Hal itu berarti bahwa seseorang telah kehilangan dirinya sendiri. Ia sekedar hanya suatu fungsi dari keseluruhan permesinan, yang apabila berdiri sendiri atau sendirian, akan tidak mempunyai arti apa-apa. Ia akan digunakan atau dibuang semata-mata berdasarkan fungsi yang mungkin ia lakukan; dengan kata lain, nilai instrumentalitisnya. Sedang kemanusiaan yang intrinsik sering tidak diperhitungkan. Di sinilah mulai timbul masalah makna hidup."Hidup ini untuk apa?" adalah suatu pertanyaan yang tidak menentramkan, justru bagi yang makmur materil di negara industri (barangkali di kanan kiri kita juga ada yang demikian) yang mengakibatkan dehumanisasi. Proses industrialisasi akan membawa serta akibat menurunnya religiusitas (Nurcholis Majid, 1987) dan kebejatan moral. Atau menurut istilah dasar SH. Nasr, manusia kehilangan visi keagamaan dan kehampaan spiritual (Dalam Dawam Rahardjo, 1985).
Â
Meneladani Rasulullah
Dengan melihat adanya gejala seperti di atas, maka menuntut kita untuk berbuat, minimal untuk diri sendiri dan merambah kepada masyarakat sebagai perwujudan rahmatan lil 'alamin. Apa yang harus diperbuat tidak lain ialah melakukan sesuatu sesuai dengan keteladanan Muhammad SAW. antara lain: Pertama, memperkokoh moral religius kita, segala tingkah laku kita dijiwai oleh semangat al-Qur'an dan al-Sunnah. Dengan begitu kita akan selamat dunia dan akhirat; Kedua, berusaha menjadikan diri kita sebagai manusia yang ideal, insan kamil, sebagaimana Nabi sendiri adalah demikian. Gambaran manusia ideal  ialah manusia (the liberated man), yaitu manusia pemurah, tak banyak keinginan, kreatif, mampu menyatakan diri dan bakat-bakat nya dalam suatu tindakan penciptaan tanpa paksaan, baik dalam pekerjaan berupa kerajinan tangan, kegiatan intelektual maupun seni, atau dalam hubungan-hubungan dan persahabatan-persahabatan dengan orang lain. Seorang manusia yang bebas mampu secara sepenuhnya merasakan kesendirian pribadi tanpa berhala, dogma, prasangka ataupun pikiran apriori. Dan beesikap toleran, disemangati rasa yang mendalam akan keadilan dan persamaan dan menyadari dirinya sebagai seorang manusia individu dan manusia universal sekaligus (Nurcholis Majid, 1987); Ketiga, berusaha menjadikan religiusitas (iman dan taqwa) kita mempunyai hubungan dinamis dengan industrialisasi, yakni diharapkan industrialisasi dapat menopang dan meningkatkan religiusitas. Religiusitas yang paling murni dan sejati ialah yang berdimensi budaya intrinsik atau cultural consumantory. Yaitu sikap keagamaan yang memandang kepercayaan atau Iman sebagai tujuan pada dirinya sendiri, dan yang menimbulkan perasaan bahagia karena nilai intrinsiknya. Religiusutas dalam dimensi ini tidak mengharapkan di luar imannya sendiri (Nurcholis Majid, 1987); Keempat, berusaha menjadi diri kita sebagai manusia yang berdaya dan mempunyai dua dimensi (bi-dimensional), sebagaimana Nabi SAW adalah seorang dengan dua wajah yang kontras yang mengejawantah secara indah dalam satu spirit. Wajahku keduniaannya mengejawantah dalam perang dan aksi-aksi sosial, dalam memerangi kekuatan-kekuatan yang destruktif di tengah-tengah masyarakat. Sedang wajah atau dimensi sucinya menampakkan diri dalam menyampaikan amanat-amanat Allah bagi umat manusia. Dalam dirinya kenabian dan kepemimpinaan mendua dan menyatu secara sangat serasi, sebagai penuntun yang membimbing kemanusiaan ke arah suatu tujuan tertentu dan sebagai seorang hamba yang soleh, yang selalu berdoa dan mengabdi . (Ali Syati'ati, tt.); Kelima, menjadikan Iman teoritik (nadlary) menjadi Iman penghayatan (qalbi). Ini adalah satu dari tiga kriteria tasawuf yang shohih sebagaimana dikatakan oleh Muhammad al-Ghazali dalam Rakaiz Iman (Muhammad al-Ghazali, 1985). SH. Nasr pun mempunyai gagasan yang sama, bahwa dalam usaha mengobati dua penyakit industrialisasi, yakni hilangnya visi keagamaan dan kehampaan spritual, ialah syahadat, pemahaman, penghayatan, proklamas,i serta tindakan yang bertolak dari kenyataan akan ketauhidan Allah, baik dalam zat maupun rububiyah-Nya. Sufisme yang dihendaki adalah spesifik Islam, sebelumnya di dalamnya seseorang tidak bisa memasuki ke jalur Sufi sebelum memasuki lingkaran syari'at (SH. Nasr, 1985). Alternatif jenjang yang dilalui ialah zuhud, cinta kemudian ma'rifat. Keenam,dalam menatap industrialisasi dan masa depan ialah dengan menumbuhkan kesadaran sendiri, kesadaran masyarakat, kesadaran Ummah, kesadaran kemanusiaan dan kesadaran dunia (Ziauddin Sardar, 1986).
Aktualisasi Uswatun Hasanah Rasul saw. pada masa industrialisasi ialah menanamkan akhlak Nabawi dan akhlak Ilahi (al-takhalluq bi akhlaqi Allah) sebagaimana yang telah dikemukakan di atas pada diri kita masing-masing.
Untuk mengimbangi hilangnya visi keagamaan dan kehampaan spiritual, diperlukan peningkatan komitmen dan misi tauhid dan mengamalkan ajaran Islam secara utuh ,yakni iman, islam dan ihsan sekaligus. Aspek Ihsan, penghayatan terhadap iman dan Islam perlu ditingkatkan. Dan untuk itu perlu menjadi mutasawwifin  (ahli tasawuf) tanpa memasuki kelompok Sufi ekstrim.