Adalah rahasia umum, bahwa masa Orientasi dan Pengenalan Studi Kampus atau Ospek ialah kegiatan yang menyimpang dari tujuan ‘mulia’ sebenarnya. Dengan tujuan mempersiapkan mahasiswa untuk memasuki lingkungan pendidikan yang baru, melalui serangkaian acara yang dapat mendukung proses adaptasi, agar para siswa baru mampu untuk meraih hasil prestasi maksimal di lingkungan barunya.
Sebelumnnya, kegiatan ospek diberlakukan dan dilaksanakan hingga saat ini, didasari dengan Surat Edaran DIRJEN DIKTI No. 5/1995. Dalam surat edaran tersebut menyatakan dengan jelas bahwa kegiatan ospek haruslah bersifat akademis dan mendidik, dan tidak boleh mengandung unsur kekerasan dalam bentuk apapun. Sehingga kegiatan ospek yang berbau perpeloncoan tidak boleh dilakukan.
Namun dewasa ini, makna ospek yang fundamental seolah kehilangan maknanya. Sehingga ada saja disetiap tahunnya korban yang meninggal dunia, saat proses pelaksanaan ospek. Keadaan ini menjadi pukulan yang besar bagi dunia pendidikan di Indonesia saat ini. Kekerasan selalu mengiringi perjalanan ospek setiap periodenya. Ada juga yang mengibaratkan, “ospek tanpa kekerasan, ibarat sayur tanpa garam”. Dan inilah makna ospek yang dianut sebagian besar dari kita.
Alhasil dengan banyak nya kasus Ospek yang menyimpang, bahkan menelan korban jiwa banyak dari kita menyimpulkan bahwa ospek adalah perpelocoan, dan militerisasi. Perpeloncoan adalah aktivitas yang melibatkan pelecehan, penyiksaan, atau penghinaan saat proses penyambutan seseorang kedalam suatu kelompok. Dan itulah tujuan ospek sebenarnya sekarang menurut beberapa orang.
Lalu apakah ospek ‘zaman sekarang’ perlu untuk dihapuskan? Atau terus dipertahankan? Jika dihapuskan maka tidaklah ada proses adaptasi, tidaklah ada proses pengenalan, yang dapat mengakibatkan kegagalan dalam lingkungan barunya. Jika dipertahankan, maka banyaklah generasi penerus bangsa pendendam terhadap juniornya, banyaklah kegiatan kekerasan yang bertentangan dengan hak asasi manusia.
Sudut pandang berbeda-beda mengenai ospek marak terjadi dewasa ini, kebanyakan orang berpendapat hapuskan, namun tak sedikit pula menyatakan lanjutkan. ‘win-win solution’ adalah metode yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini. Di setiap kegiatan pasti ada efek baik maupun buruknya, ibarat dimana ada cahaya pasti ada bayangannya(gelap). Maka yang perlu kita benahi bukanlah menghapus kegiatannya, tetapi meminimalisir efek negatifnya.
Kegiatan ospek perlu untuk dibenahi, bukan dihapuskan. Semoga menjadi sebuah prioritas utama bagi pemerhati pendidikan dan seluruh elemen didalamnya, karena kekerasan bukanlah sebuah jalan terakhir untuk mewujudkan mental yang disiplin. Tanpa memihak kepada siapapun, seharusnya permasalahan ospek dapat menjadi sarana berpikir kreatif, inovatif, dan solutif bagi penyelenggara. Untuk membuat suatu ospek yang berbeda, yang jauh dari kekerasan dalam segala bentukannya.
Sehingga pada akhirnya, ospek akan menjadi sebuah kegiatan yang dirindukan bagi peserta, dan menjadi suatu tantangan bagi penyelenggara, untuk membuat ospek yang berkesan. Jauh dari kekerasan tanpa meninggalkan nila-nilai edudisipliner yang terkandung dalam sebuah konsep pendidikan di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H