corona virus Disease 2019 atau yang sering disebut COVID-19 saat ini telah menjadi perbincangan di seluruh penjuru dunia. Berawal dari munculnya sebuah virus di kota bernama Wuhan, China yang saat ini sudah menginfeksi lebih dari 20 juta umat manusia di dunia. Sebuah kejadian luar biasa yang tidak terbayangkan sebelumnya akan menjadi separah ini. Fenomena yang dapat mematikan banyak sektor di suatu negara, bukan perang senjata, melainkan perang terhadap sebuah mikroorganisme, sehingga memaksa manusia untuk merubah gaya hidup menjadi lebih sehat. Di Indonesia sendiri, sudah terdapat 100.000 lebih penduduk yang terinfeksi oleh COVID-19. Angka yang sangat fantastis untuk menyebut jumlah pasien.
Di samping itu, bertambahnya angka ini setiap harinya menyebabkan berbagai kalangan mulai paranoid dan cemas. Masyarakat merasa tidak diberi kepastian akan banyak hal, seperti pandemi yang tidak kunjung selesai, tetapi justru meningkat terus tiap harinya. Hal ini mengakibatkan mereka mulai kehilangan pekerjaan dan memicu munculnya kasus kematian baru yang disebut “kelaparan”. Berdasarkan sebuah penelitian, jumlah yang mengalami kelaparan tingkat krisis mencapai 270 juta pada 2020 sebagai akibat dari pandemi virus corona (CNN Indonesia, 2020). Data ini mengalami peningkatan yang sangat luar biasa dari tahun sebelumnya.
Selama pandemi COVID-19 ini pula, masyarakat terpaksa untuk tetap #DiRumahAja demi memutus rantai penyebaran virus. Hal ini berdampak pada makin bertambahnya jumlah orang yang menghabiskan waktunya dengan berselancar di media sosial. Berdasarkan statistika suatu badan yang mengkaji data-data dari 170 industri di lebih dari 50 negara, April lalu melaporkan konsumsi media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram naik hingga 44 persen (Berty & Yulianingsih, 2020). Paparan berita pun menjadi sangat mudah untuk dapat diakses. Berdasarkan penelitian pada 4827 partisipan yang dilakukan oleh Gao et al. (2020), ditemukan terdapat 82% partisipan yang sering mengonsumsi berita tentang COVID-19 di media sosial. Sejatinya fenomena ini dapat berdampak positif maupun negatif. Apabila literasi masyarakat sudah cukup baik, maka mereka akan mendapatkan informasi yang kredibel, sehingga dapat lebih waspada akan adanya terhadap COVID-19. Namun, realitanya masyarakat Indonesia memiliki tingkat literasi yang cukup buruk, sehingga tidak dapat menyaring informasi yang tersebar dengan baik. Hal tersebut mengakibatkan beredarnya banyak hoaks yang meremehkan ataupun melebih-lebihkan pandemi ini, sehingga masyarakat mudah terprovokasi tanpa mencari tahu kebenaran ataupun sumber informasi tersebut.
Berbagai stigma pun saat ini beredar dengan deras pula. Stigma sosial dalam konteks kesehatan adalah hubungan negatif antara seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kesamaan ciri dan penyakit tertentu (WHO, 2020). Dalam hal ini berarti terdapat sekelompok orang yang diberi label atau diperlakukan secara terpisah karena memiliki keterkaitan dengan suatu penyakit, sehingga dapat menyebabkan seseorang menyembunyikan penyakitnya agar terhindar dari diskriminasi. Bahkan, kemungkinan terburuknya dapat mencegah seseorang untuk melakukan perawatan pula. Hal ini dikarenakan stigma sangat melukai hati seseorang atau kelompok bahkan lebih berdampak negatif bagi kesehatan mental dibandingkan virus Corona itu sendiri (Herdiana, 2020). Maka dari itu, dalam kasus stigma negatif ini terdapat beberapa kelompok yang paling berdampak, yaitu masyarakat umum, tenaga kesehatan, serta pasien dan keluarga terdampak COVID-19.
Pada masyarakat umum yang terjadi adalah terdapat pihak yang merasakan kecemasan berlebih serta pihak yang menyebarkan hoaks pula. Kelompok ini menjadi target yang rentan karena kesehariannya dihabiskan dengan melihat media sosial, sehingga sangat diperlukan adanya edukasi dari pemerintah ataupun pihak-pihak terkait untuk menyampaikan fakta maupun klarifikasi atas beredarnya rumor dari sumber yang tidak jelas. Hal ini diperlukan guna melatih berpikir kritits serta meningkatkan kepercayaan masyarakat pada pemerintah. Namun, pada kenyataannya masyarakat sering di ambang kebingungan pada pernyataan pemerintah yang tidak tegas dan labil, seperti penggunaan masker medis atau kain pada awal pandemi serta larangan mudik yang sempat menuai berbagai kontrofersi.
Tenaga kesehatan merupakan kelompok yang paling memprihatinkan. Tekanan yang mereka peroleh sebagai garda terdepan untuk dapat menyembuhkan pasien COVID-19 sangatlah berisiko untuk dapat tertular. Ironisnya, tidak hanya tekanan fisik yang harus mereka dapatkan, tetapi juga munculnya beragam stigma yang memengaruhi mental mereka. Salah satu contohnya, terdapat sejumlah perawat yang terintimidasi, yaitu diusir dari kontrakan karena khawatir dapat menularkan virus penyebab COVID-19 (Abdillah, 2020). Hal tersebut tentunya sangat mengenaskan. Selain itu, beberapa tenaga medis juga sudah gugur karena harus berkontak langsung dengan pasien COVID-19 setiap harinya. Hal ini justru merugikan bagi kita sebagai masyarakat karena semakin menipisnya jumlah tenaga medis, semakin sulit pula untuk menangani pasien COVID-19 yang terus bertambah setiap saat. Maka dari itu, sudah sepatutnya masyarakat lebih menghargai para tenaga kesehatan yang sudah berjuang mati-matian dengan tidak menyebarkan stigma tak berdasar yang hanya akan memberi tekanan psikis bagi mereka.
Kelompok yang terakhir yaitu pasien serta keluarga terdampak COVID-19. Kelompok ini juga mengalami masa yang teramat sulit. Pasien yang harus berjuang melawan virus ini kerap dijauhi oleh banyak kalangan, seakan-akan penyakit ini sebuah aib yang memalukan. Padahal, mereka inilah yang seharusnya mendapat dukungan penuh agar tetap kuat menghadapi virus ini, tanpa perlu merasa terkucilkan. Dari media sosial pula, beredar sebuah informasi terkait penolakan warga terhadap pemakaman jenazah penderita COVID-19. Bukankah hal ini menjadi pukulan yang amat menyakitkan bagi keluarga pasien? Padahal, menurut William Adu-Krow, juru bicara PAHO/WHO dalam sebuah konferensi pers, dikatakan bahwa belum ada bukti khusus bahwa jenazah dapat mentransmisikan virus pada mereka yang masih hidup (BBC Indonesia, 2020). Namun, demi keamanan bersama, tetap perlu dilakukan upaya preventif selama pemakaman.
Berbagai macam stigma negatif yang ditujukan pada ketiga kalangan tersebut tentunya dapat menyebabkan kekhawatiran atau tekanan psikologis mereka semakin meningkat, sehingga memicu munculnya gejala baru, yaitu psikosomatis. Menurut Zulva (2020) dalam Kartini Kartono (1986), psikosomatis didefinisikan sebagai bentuk macam-macam penyakit fisik yang ditimbulkan oleh konflik psikis dan kecemasan kronis. Pada umumnya, ketika muncul sebuah ancaman, tubuh merespon dengan rasa takut serta cemas berlebih sebagai bentuk untuk menjaga rasa aman. Hal ini pun memengaruhi fungsi fisiologis secara negatif hingga menimbulkan munculnya rasa sakit pada tubuh kita (Fadli, 2020). Jika ditinjau dari fenomena virus Corona yang saat ini sedang terjadi, maka rasa sakit yang timbul akibat kecemasan berlebih berupa gejala semu yang menyerupai COVID-19, seperti demam, batuk, sakit tenggorokan, sesak napas, dan gejala lainnya. Hal ini menjadi sebuah gejala baru yang perlu mendapatkan perhatian khusus, bukan hanya dari kalangan tenaga medis, melainkan diri kita sendiri agar lebih memerhatikan orang-orang sekitar kita jikalau mengalamai tekanan psikis yang cukup serius karena gejala ini dapat mengakibatkan menurunnya sistem imun tubuh. Padahal, penyakit COVID-19 ini pada dasarnya menyerang sistem imun tubuh yang lemah. Oleh sebab itu, kita harus secara tenang, tetapi tetap waspada dalam menyikapi fenomena ini.
Stigma negatif ataupun rumor selama masa pandemi COVID-19 ini memang teramat sulit untuk dikendalikan, sehingga sangat wajar apabila terdapat beberapa kalangan yang mengalami kecemasan berlebih serta gejala kesehatan mental lainnya hingga menyebabkan munculnya gejala psikosomatis. Stigma negatif ini sejatinya berawal dari kurangnya informasi atau fakta yang diterima oleh masyarakat, apalagi COVID-19 ini adalah sesuatu yang baru. Oleh karena itu, WHO pun sebenarnya sudah memberikan beberapa anjuran untuk masyarakat terkait fenomena stigma ini, di antaranya adalah perlu adanya upaya untuk penyebaran informasi yang detail dan akurat agar masyarakat tidak lagi merasa kebingungan. Penyebaran informasi dapat kita lakukan melalui media sosial. Dari sudut pandang positif, media sosial sebenarnya memudahkan dalam penyebaran informasi mengenai COVID-19 karena dapat langsung menjangkau jutaan orang dalam satu waktu dengan sangat praktis (Sampurno et al., 2020). Namun, dikembalikan lagi pada pembaca agar dapat secara bijak memilah informasi yang akurat serta berasal dari sumber terpercaya. Dalam penyebaran informasi tersebut, perlu diperhatikan pula kata-kata yang akan disampaikan, seperti mengganti kata “korban COVID-19” menjadi “orang yang dirawat karena COVID-19”, dan sebagainya. Hal ini disebabkan cara berkomunikasi dapat memengaruhi sikap orang lain dalam memandang sesuatu guna tidak menimbulkan stigma negatif. Selain itu, kita juga dapat berupaya untuk memperkuat cerita inspirasi dari orang-orang yang telah pulih dari COVID-19, sehingga memberi kepercayaan pada masyarakat bahwa penyakit ini dapat disembuhkan. Pelaporan berita pun menjadi solusi yang paling mutakhir, yaitu bukan hanya mengenai penyebaran kasus yang terus meningkat maupun konspirasi yang mengerikan, melainkan lebih memfokuskan pada konten mengenai gejala, pencegahan, serta perawatan dari COVID-19. Menurut salah satu psikolog Herdiana (2020), langkah terakhir yang dapat dilakukan adalah dengan menciptakan lingkungan positif yang menunjukkan rasa peduli dan empati pada sesama. Bukankah akan jauh lebih indah negara ini, tanpa adanya stigma negatif yang tak berdasar?