Mohon tunggu...
Hasanul Rizqa
Hasanul Rizqa Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

`cah UGM; pecinta sastra, filsafat, dan sejarah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengungkap Sikap Kita dalam Berbahasa

1 September 2012   13:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:03 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sering kali dikatakan bahwa bahasa adalah identitas suatu bangsa. Faktanya, bahasa memiliki kekuatan yang lebih dari itu. Bahasa adalah syarat utama bagi suatu bangsa, sebagai sekumpulan manusia, untuk hidup. Hal itu lebih mudah dipahami jika kita mengandaikan hubungan bahasa dengan manusia sama seperti hubungan ikan dengan air.

Ikan tidak bisa hidup di luar air. Demikian pula, manusia tidak mungkin hidup di luar bahasa. Selain itu, kita mengenali jenis-jenis ikan berdasarkan habitatnya—air tawar, air asin, dan lainnya. Dalam konteks itulah, dapat dimengerti bahwa bagi setiap bahasa terdapat masyarakat dengan ragam watak tertentu.

Namun, tidak seperti ikan, manusia dapat hidup di luar habitat bahasanya, yaitu sebagai subjek bilingual. Dengan demikian, watak masyarakat yang berbahasa lain itu dapat melekat pada diri subjek bilingual. Sehingga di dalam dirinya berdiam karakter yang mendua (bahkan bisa lebih, tergantung jumlah bahasa yang dia kuasai).

Di satu sisi subjek bilingual itu berwatak sesuai dengan masyarakat bahasa aslinya, sedangkan di sisi lain dia terintegrasi dalam kerangka berpikir masyarakat asing yang bahasanya dia kuasai. Acap kali dualisme karakter tersebut tidak disadari oleh subjek yang bersangkutan. Hal itu cenderung disebabkan oleh kebiasaannya yang rutin dalam penggunaan kata-kata berbahasa asli atau asing untuk berkomunikasi (lisan atau tulisan).

Namun, karakter ambivalen yang demikian juga dimungkinkan terdapat pada diri subjek monolingual. Hal itu semakin dimengerti apabila bahasa asli yang digunakan memang mengandung banyak kata-kata yang berakar dari bahasa lain. Maksudnya, bahasa tersebut lebih sering diperkenalkan dengan kata-kata dari masyarakat berbahasa asing daripada memperkenalkan kata-kata sendiri kepada masyarakat lain. Salah satu bahasa yang bernasib demikian adalah bahasa Indonesia. Barangkali sebagian besar dari kita sudah tahu judul buku 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia Adalah Asing karya Alif Danya Munsyi yang populer itu.

Meskipun begitu, di dunia ini tentu saja tidak ada bahasa yang imun terhadap pengaruh kata-kata dari bahasa lain. Fenomena penyerapan kata-kata antarbahasa adalah fakta yang tidak mungkin dipungkiri, karena ia selaras dengan kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Selain itu, proses perkenalan kata-kata dari atau kepada masyarakat berbahasa lain juga dapat memperluas wawasan serta melancarkan arus komunikasi antarbangsa. Malahan, proses itu dapat memperkaya pembendaharaan kata-kata milik bahasa Indonesia.

Dalam kerangka itulah bahasa Indonesia dapat dianggap turut mencerdaskan masyarakat penggunanya di segala bidang. Sebab, tidak ada satu bidang kehidupan pun yang tidak memerlukan bahasa sebagai media penyampainya. Hal itu ditengarai oleh Wittgenstein (1889-1951), seorang filsuf beraliran positivisme, dengan ungkapan “Batas bahasaku adalah batas duniaku”.

Pernahkah kita mengamati penutur asli yang lihai berbahasa campuran? Dengan catatan, penutur itu telah dipastikan berkewarganegaraan dan (sangat) lama tinggal di Indonesia. Ketika berbicara, dia mencampuradukkan kata-kata berbahasa asing dengan bahasa Indonesia. Anehnya, dia tampak merasa unggul berbicara dengan gaya yang rumit seperti itu.

Sebagai contoh, berikut ini disajikan kutipan dari penutur asli yang berperangai demikian. Kutipan ini adalah transkripsi dari bahasa lisannya yang penulis catat pada sesi perkenalan di suatu acara.

“Oh iya, actually, kawan-kawan semua, I’ve been in Saudi Arabia sejak tiga tahun lalu, after lulus SMA. Di sana, saya bekerja not as TKW, tapi nurse. Selain dari Indonesia seperti saya, di sana juga ada yang dari Filipina, Thailand, sama India. Tapi, most of all, banyak yang dari Filipina. Jadi kalau sudah di hospital-nya, sudah kayak di PBB …”

Kata-kata di atas dia ucapkan dengan penuh bangga dan (maaf) bahkan terkesan angkuh. Saat sesi itu berlangsung, kami—penulis beserta para peserta acara—memperhatikan dia dengan sungguh-sungguh. Sampai-sampai seisi ruangan itu hening dan semua pandangan tertuju padanya. Penulis, sebagai seorang mahasiswa sastra, sangat antusias dengan fenomena kebahasaan yang hadir tiba-tiba itu. Lekas saja penulis menyalin kata-katanya di atas buku catatan.

Sampai saat ini penulis sendiri menganggap bahwa dia sedang mengidap inferioritas budaya. Sebuah “penyakit” yang sering kita jumpai, yaitu rasa rendah diri yang akut terhadap identitas budaya sendiri.

Mungkin sebagian besar dari kita mengistilahkannya sebagai tabiat inlander atau dampak dari mental terjajah. Barangkali keduanya itu benar, mengingat negeri kita pernah dijajah secara kultural selama berabad-abad.  Oleh karenanya, kita maklum bahwa para penderita “penyakit” rendah diri itu ada banyak sekali di sekitar kita. Dan cara termudah untuk mengenali penderita “penyakit” tersebut yaitu dengan menyimak kebiasaannya berbahasa.

Yang menyedihkan adalah penderita “penyakit” nan akut itu ternyata juga tidak sedikit berasal dari golongan terdidik dan elit negara. Padahal, mereka itulah yang diharapkan mampu mengikis habis watak terjajah yang mengendap di dalam diri kolektif masyarakat Indonesia. Silakan simak pidato-pidato resmi yang dibawakan oleh mereka yang berperangai kebahasaan demikian, baik di televisi atau pun media sosial.

Menghadapi masalah perusakan bahasa Indonesia, sayangnya kita cenderung gemar menyalahkan pemerintah dan media massa. Padahal, persoalan bahasa tidak lain merupakan persoalan budaya. Dan kebudayaan selalu bermakna kebersamaan. Sehingga, penyimpangan yang terjadi pada bahasa Indonesia tidak dapat diatasi siapa pun kecuali oleh kita sendiri selaku masyarakat penggunanya.

Sebagaimana telah disebutkan, hubungan kita dengan bahasa Indonesia adalah seperti ikan dengan air. Yang perlu kita lakukan “hanyalah” menjaga agar “air” bahasa Indonesia kita tidak keruh oleh polusi kata-kata yang tak perlu. Polusi yang sering kali berasal dari tuturan dan tulisan kita sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun