Mohon tunggu...
Hasanul Rizqa
Hasanul Rizqa Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

`cah UGM; pecinta sastra, filsafat, dan sejarah

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ibunya Sadar Adalah Pahlawan

30 Juni 2011   08:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:03 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Hari ini, lagi, seorang pahlawan telah mati. Dia mati karena tertimpa pisau besar tajam yang diayunkan algojo—tepat di lehernya. Dia mati dipancung. Kepalanya dilepas paksa dari badannya yang kurus.

***

Namun, bukan kejadian matinya itu yang membuatnya menjadi sesosok pahlawan. Dia dinobatkan menjadi pahlawan jauh sebelum maut datang menggerayanginya. Sebelum dia dijemput oleh kematian, dia telah menjadi seorang pahlawan.

Dia menjadi pahlawan karena dia telah merelakan kemerdekaannya sebagai manusia dirampas lepas. Dia dimahkotai gelar pahlawan oleh bangsanya karena telah mau menjadi budak orang luar. Demi Tuhan, dia seorang perempuan yang dahsyat luar biasa. Gelarnya tak bukan adalah pahlawan devisa.

***

Lebih dahsyat lagi karena perempuan itu tidak menyadari kedahsyatannya sebagai sosok luar biasa. Perempuan itu bahkan tidak menyadari bahwa dirinya dielu-elukan sebagai pahlawan sepanjang hidupnya oleh seantero penduduk negerinya. Entah karena dia pemalu atau apa—yang jelas kini perempuan itu hanya tinggal nama saja. Dan nama yang telah diemban oleh perempuan fantastis itu—dalam seluruh nafas hidupnya—adalah Teka’i.

***

Selama hidupnya, Teka’i enggan menyadari dirinya sebagai manusia merdeka. Dia merasa berkewajiban untuk tidak bebas dari pedasnya kenyataan hidup. Dia mencecap hidup persis seperti apa yang diajarkan nasib padanya. Sejak dia lahir, pokoknya. Dia tak berani untuk bermimpi jauh-jauh. Dia hanya ingin kerja—itu saja. Pada waktu-waktu awalnya menjadi manusia dewasa, dia membius diri dengan keinginannya itu.

Hingga pada suatu hari, sebuah kesempatan datang menimpa dirinya. Dia ditawari kerja di luar negeri. Matanya terbelalak. Nafasnya tiba-tiba kembang-kempis oleh deretan nominal uang bayarannya kelak jika ia mau menyabet kesempatan itu. Hanya mau saja, tidak perlu berbusa-busa bicara usaha. Tak perlu pengalaman apalagi bekal pendidikan. Yang dibutuhkan hanyalah satu kata ‘ya’ dan anggukan kepala. Tentu saja dengan beberapa lembar rupiah dari kutangnya sebagai tebusan awal kepada pak tua pengantar berita itu.

Teka’i menurut. Dia ikut saja apa kata pak tua yang datang menumpahkan harapan besar itu padanya. Lagipula suaminya yang tergolek lemah itu mengizinkan—tapi entah dengan anaknya yang waktu itu badannya masih setinggi pahanya.

Saat disuruh untuk tinggal di pemondokan, Teka’i ikut mengangguk mengiyakan. Dia laksanakan dengan sepenuh hati. Di pemondokan itu, saat disuruh melatih diri untuk melayani juragan entah siapa, dia mematuhi. Saat diwajibkan untuk mengerti bahasa asing, dia menyanggupi. Saat diminta untuk memutuskan komunikasi dengan sanak saudara bahkan anak di kampung asalnya, dia hanya bisa ikut setuju. Jadilah Teka’i perempuan yang dipenjara sekaligus dianiaya oleh mimpi kerjanya.

Riwayat kesendiriannya itu berakhir di tanah padang pasir yang jauh. Di seberang lautan sebelah barat kepulauan negerinya. Dia kini bekerja pada majikan yang beranak lima. Dia menjadi pembantu rumah tangga. Puluhan tahun bekerja dan berujung pada tebasan pisau besar algojo tadi. Dilaksanakan hanya dengan berbekal vonis yang tak mungkin dia mengerti jalan hukumnya.

***

Mengapa bisa seorang pahlawan mati tanpa meninggalkan kesan yang mendalam di hati dan pikiran masyarakatnya. Bagaimana bisa seperti itu? Kenapa bisa harga kepahlawanannya tercampak begitu saja selepas dia mati? Apakah seorang perempuan, yang dinobatkan sebagai pahlawan ketika hidupnya, akan seketika hilang martabatnya itu setelah dia mati? Inilah tumpukan pertanyaan yang mengusik nyala api nurani anak Teka’i.

Anak Teka’i, yang masih percaya bahwa ibunya tetap menjadi pahlawan berdiri memberontak. Dia yang dahulu ditinggal ibunya bekerja di tanah padang pasir yang jauh, kini telah dewasa. Bulu kumisnya sudah tumbuh, pun bulu romanya yang merinding saat mendengar kabar kematian ibunya. Terlebih mengetahui bagaimana proses kematian perempuan yang telah mengeluarkan dirinya dari lubang sebesar peniti dan memberinya air susu itu. Anak itu masih membayangkan perasaan yang terlintas oleh ibunya di waktu pisau besar itu tepat menggorok lehernya. Anak itu menangis. Anak itu tak bisa tidur beberapa hari lamanya, memikirkan nasib ibunya yang luar biasa horor itu. Anak itu bahkan tak bisa tidur sampai detik ini—hingga jadilah pinggir matanya hitam keruh.

Anak itu bernama Sadar. Sadar tahu bahwa hidupnya akan lebih tak pasti dan berantakan selepas kematian ibunya. Ayahnya telah lama mati—dua tahun sebelum ibunya ikut menyusul mati. Selama kedua orangtuanya masih lengkap, Sadar hidup lebih banyak dari kucuran rupiah kiriman ibunya. Ayahnya terlalu tenggelam dalam kesibukannya bersama penyakit lumpuh. Ayahnya terhunus polio. Ayahnya tak dapat menghasilkan lembar uang—malah lebih sering menghabiskan. Jadilah Sadar sadar akan kekuatan ibunya sebagai tulang punggung dirinya, juga ayahnya.

Sehingga ketika beberapa minggu kemudian Sadar mendapat kabar bahwa jasad kaku ibunya dapat dia minta kembali, maka Sadar memutuskan untuk pergi menjemputnya. Dia tidak berdiri diam terpaku di beranda rumah menunggu peti mati itu datang. Tidak. Sadar lebih memilih untuk menjemputnya. Sadar memutuskan untuk pergi ke negeri tempat ibunya bekerja itu—di negeri padang pasir yang jauh. Namun, keputusan Sadar ini terbentur oleh tidak ada dana baginya untuk mewujudkannya. Sadar tak putus akal. Sadar menyodorkan hal ini kepada saya.

Maka itulah kenapa kemarin malam Sadar datang ke rumah saya. Sebagai pemilik uang berlimpah, saya memiliki banyak kemungkinan. Sadar dan saya adalah teman akrab. Bahkan saya menganggap Sadar sudah seperti saudara sendiri. Walaupun kehidupan Sadar drastis jauh berbeda daripada gemerlapnya kemewahan yang saya punya, tapi itu tak membuat Sadar tak berkutik. Karena Sadar termasuk pemuda dengan otak Habibie. Sadar itu mahasiswa pintar. Selalu dapat beasiswa di penghujung semester. Dan saya gemar berteman dengan mahasiswa pintar. Karena selalu dapat saya manfaatkan—karena saya mahasiswa malas. Tapi meskipun pintar, itu tidak mengubah nasib dia, ayah, dan ibunya. Dia tetap miskin. Saya tahu pasti, karena dia sedang dalam proses untuk mengubah nasibnya. Dia belum sampai di titik hasil. Namun, walau bagaimanapun, saya kagum padanya. Jadilah saya ikut membantunya mewujudkan keputusannya itu—untuk pergi ke tanah padang pasir yang jauh, menjemput jasad ibunya yang sudah terpisah kepala dengan badannya.

Saya orang kaya karena saya anak orang kaya. Ayah saya pejabat eselon basah. Beberapa orang menamakan ayah saya menteri. Secara struktur ketatanegaraan memang benar adanya. Tapi secara struktur nalar, saya menamakan ayah saya koruptor. Tapi, saya bersyukur kepada Tuhan karena ayah saya sudah mengambil langkah sebasah itu. Karena saya dan ibu saya jadi bisa hidup enak sepanjang nafas kami yang tersengal-sengal kekenyangan. Oh, tentang ibu saya, ibu saya itu seorang pakar arisan. Arisan dan segala kegiatan lain yang berinti pada saling sombong-menyombong kekayaan. Ibu saya tidak bekerja di luar rumah. Hampir sama seperti saya yang tak keluar rumah kecuali untuk pergi kuliah, hura-hura, main kelamin, atau apapun yang sifatnya memuaskan. Dari kegiatan itu semua, pergi kuliah adalah yang paling sering dicerewetkan oleh ayah dan ibu saya agar giat saya lakukan. Jadilah saya memaksakan diri fokus pada bangunan yang bernama kampus itu.

Di lingkungan kampus yang asri itulah saya berteman dan berkenalan dengan Sadar. Sadar orangnya enak, mudah diajak ngobrol. Kalau sudah melempar humor sayalah yang paling lama tertawa dari yang lain. Kawan-kawan dekat pun menganggap Sadar adalah lem pengikat kami. Karenanya, ketika Sadar—teman kami yang juga menjadi tempat kami mengeruk jawaban tugas dosen—sedih, kami bingung dan bersedia melakukan apa saja untuknya.

Maka ketika Sadar selesai melontarkan keputusannya itu—bahwa dia ingin menjemput jenazah ibunya di luar negeri—saya cepat menyanggupi.

***

Pesawat pribadi milik ayah saya sudah menggesek permukaan tanah negeri asing ini. Kami mendarat dengan mulus. Selepas berjam-jam kami mengapung di atas udara, perjalanan kami melayang dari negeri kami yang kepulauan ke negeri semenanjung ini pun berakhir. Saya dan Sadar tak mau berlama waktu. Jadilah saya bentak bawahan ayah saya untuk menjemput jasad ibu teman saya itu. Terserah dia mau pakai metode apa. Saya tidak mau tahu. Saya hanya mau tahu besok jam tujum malam kami—saya dan Sadar—sudah meraba peti mati itu dan melihatnya di dalam lambung pesawat kami. Dan segera berangkat lagi—kembali ke negeri sendiri. Karena kami tak punya waktu lama. Lusa ini saya ada ujian dari dosen yang terkenal keji. Saya tidak mau melewatkannya. Terlebih karena Sadar sudah berjanji—dan memang Sadar selalu lunas dalam berjanji—bahwa ia akan membantu saya dalam mengatasi soal-soal ujian itu nanti. Memberikan kunci jawaban beberapa menit setelah dia tuntas mengerjakan soal-soalnya sendiri—seperti biasanya.

Akhirnya, tepat jam enam petang—keesokan harinya—saya sudah mendapati peti mati itu di dalam lambung pesawat. Saya pun langsung menyuruh pilot untuk lepas landas. Sadar duduk di sebelah saya dengan tatapan mata tak lepas dari peti mati berwarna cokelat tua itu. Dia menangis. Melihat airmatanya, saya segera mengambil tisu, memberikan lembaran lembut itu padanya, lantas cepat-cepat menyumpal dua telinga saya dengan earphone sembari mendengarkan alunan lagu metal.

Kami sampai di rumah pada pagi harinya.

***

Secara mengejutkan, Sadar dengan gagah berani membuka peti mati itu. Menjumpai jasad ibunya yang kaku, membisu, dan biru di sana. Sadar tak lagi menangis—tak seperti yang lama dia lakukan selama di dalam pesawat. Sadar tampaknya telah mengeringkan dua bola matanya. Saya melihat matanya merah sekali.

Kawan sebelah saya menyikut tangan saya.

“Wah, baiknya langsung dikubur aja…”

“Betul, kamu. Oke, saya akan katakan ini pada Sadar.”

Ketika saya sedang menghampiri teman saya yang tengah berduka itu, saya tercengang. Saya kaget luarbiasa. Dari jarak yang tak terlalu jauh, saya menyaksikan Sadar sedang mengobrak-abrik isi peti mati itu, mencopot kepala jasad di dalamnya, dan membawa sebongkah kepala milik ibunya itu—bagaikan seorang pemain basket sedang mengapit bola di tangannya. Saya dan kawan saya terkesima. Jantung saya lebih tertohok lagi saat mendengar Sadar berkata:

“Bawa aku dan kepala ibuku pada atasan ayahmu! SEKARANG!”

Saya tak berkutik karena melihat adegan horor itu. Saya pun menelepon ayah saya dengan tangan bergetar dan tubuh merinding—karena melihat betapa berani Sadar memegang erat potongan kepala ibunya itu, malah kini dia menciumi dahi pucat itu.

Ayah saya—yang saat itu sedang berada di kota Apel Besar, jauh di luar negeri—pun menyanggupi permintaan Sadar. Dia tidak tega mendengar terlalu lama rintihan takut suara saya di gagang telepon.

“Oke, anakku! Tenang. Turuti saja kemauan temanmu yang gila itu. Atasan ayah itu gampang kok. Dia pasti ada waktu untuk kepentingan ayah. Wong ayah ini pegang belangnya dia kok! Hahaha…”

“...Sebentar, ayah telepon atasan ayah dulu. Ayah tekan dia untuk harus bisa menemui kamu dan temanmu itu di istana pagi ini juga.”

***

Sampai di istana saya ikut mendampingi Sadar untuk menjumpai atasan ayah saya. Atasan ayah saya adalah atasan pembantu presiden. Dia seorang pria bertubuh besar. Di depan batang hidung pria itulah Sadar menumpahkan segala emosinya—sembari mengacung-acungkan potongan kepala ibunya tepat beberapa senti di depan kepala atasan ayah saya itu. Sadar bagaikan orang gila: berteriak-teriak, berkoar-koar, melompat-lompat, dan mengomel tak tentu kepadanya.

Tapi sial, Sadar rupanya tak sadar. Dia tak tahu bahwa kata-kata yang ia lontarkan itu tak dapat dimengerti oleh atasan ayah saya. Dia semakin panik sementara atasan ayah saya itu semakin heran. Kamu ini sedang bicara apa, nak? Begitulah saya membaca tatapan mata atasan ayah saya.

Saya paham. Bahasa yang digunakan oleh Sadar jauh berbeda dengan bahasa yang kami gunakan sehari-hari di sini, di lingkungan istana. Bagi saya, ayah saya, ibu saya, dan kawan-kawan di kampus, yang hidup berlumuran kemewahan dan kekenyangan, bahasa istana adalah bahasa yang rumit. Kode-kode yang tak mudah dijelaskan. Lebih rumit lagi, bahasa ini hanya kami gunakan di saat kami sedang berada di dalam istana—atau tempat lain di bumi ini yang mendukung gaya hidup keistanaan kami. Orang-orang non-istana pasti tak dapat memahami bahasa kami. Karena kami hanya mengucapkannya di sini—di dalam istana.

Atasan ayah saya tentu saja tak dapat memahami bahasa orang non-istana—semacam Sadar—yang ditumpahkan ke telinganya. Apalagi ketika sedang berada di dalam istana, di luar istana pun atasan ayah saya itu harus menyewa para penerjemah untuk mengartikan jeritan suara mereka. Atasan ayah saya hanya mengangguk dan mengangguk kepada Sadar. Sadar kelabakan di depannya. Saya melihatnya aneh. Tapi segera saja saya perhatikan dua sosok beda bahasa itu dari dekat sini, sambil menyumpal dua telinga saya dengan earphone—mendengar alunan lagu metal kesukaan saya.***

20/06/11

—Hasanul Rizqa

N.B: Mengenang Ruyati yang mati karena kekonyolan pemimpin kami. Selamat jalan, kawan…

Tuhan akan memelukmu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun