Mohon tunggu...
RiLando
RiLando Mohon Tunggu... -

Manusia biasa saja instagram.com/rililydo

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ibu Kota

10 Maret 2017   22:19 Diperbarui: 11 Maret 2017   08:00 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Ibu kota (juga dieja ibukota), dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah kota tempat kedudukan pusat pemerintahan suatu negara, tempat dihimpun unsur administratif, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. -wikipedia

Ibu kalau menurut Somad adalah perempuan yang selalu memasakkan ia makanan yang rasanya selalu membuat rindu. Perempuan yang selalu mengingatkan waktu beribadahnya. Perempuan yang bisa menemukan apapun yang tak bisa ia temukan. Perempuan yang selalu marah duluan ketika ia jatuh dan lututnya berdarah, kemudian merawat lukanya. Seorang manusia yang tulus mencintainya.

Ketika Somad mendengar kata Ibu kota, menurutnya ia adalah seorang Ibu dari sebuah kota. Kota yang selalu membuat semua penduduknya menjadi seseorang yang lebih baik. Karena hanya disanalah kota yang ada "Ibu" nya. Ia pikir orang- orang di Ibu kota memiliki segalanya. Mobil ber-AC, baju bagus, HP keren yang bisa membuat wajah orang yang difoto makin tampan dan cantik, punya rumah di dalam gedung- gedung tinggi, dan semua hal yang selalu diimpikannya. Tak lupa juga dalam pikirannya jika orang- orang di Ibu kota memiliki sifat yang ramah, baik hati, dermawan, dan gaul. Suasananya mengasyikkan, banyak gedung- gedung tinggi, pusat hiburan yang menyenangkan, transportasi lengkap, jalanannya pun mulus. Berkat didikan seorang "Ibu" di sebuah kota, orang- orangnya, suasananya, jadi lebih baik, pikir Somad.

Saat Somad pergi berlibur mengunjungi pamannya di Ibu kota, Ia terheran- heran. Apakah benar ini Ibu kota? Mengapa semuanya tidak seperti bayangan yang ada di pikirannya itu? Kenapa Ibu yang Ia lihat ini seperti ibu tiri? Orang- orangnya memang gaul, namun kurang ramah. Kotanya begitu megah, namun pinggirannya kumuh, kotor, bau, sumpek. Jalanan selalu ramai kendaraan, bahkan sampai tengah malam saat Somad pulang dari keliling- keliling kota, dia masih merasakan macet. Ibu kota ternyata tidak seperti Ibunya.

Meskipun begitu, Somad tidak kecewa. Namun ada satu pertanyaan yang mengganjalnya. Orang- orang keras di Ibu kota, apakah mereka yang membuat Ibu kota menjadi keras? Ataukah sebaliknya? Ibu kota yang keras membuat orang- orang yang tinggal di sana menjadi keras?

Mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang...

Tulisan ini saya salin dari blog pdibadi saya, planaholy.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun