Di balik geliat perekonomian Indonesia, perempuan memainkan peran penting, terutama di sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Saat ini, sekitar 64,5% dari total 66 juta UMKM di Indonesia dikelola oleh perempuan. Mereka tidak hanya menggerakkan roda ekonomi lokal tetapi juga berkontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, yang mencapai Rp9.580 triliun. Namun, kontribusi besar ini sering kali tidak sejalan dengan perlakuan kebijakan yang memadai. Di antara tantangan yang dihadapi perempuan pelaku UMKM, isu perpajakan menjadi salah satu yang paling kompleks dan mendesak untuk segera diatasi.
Sistem perpajakan Indonesia, meskipun terus mengalami reformasi, masih menyimpan sejumlah kendala yang dirasakan berat oleh perempuan pelaku UMKM. Kebijakan Pajak Penghasilan (PPh) final sebesar 0,5% bagi UMKM memang memberikan keringanan tertentu, tetapi bagi usaha kecil yang baru berkembang, tarif ini tetap dianggap sebagai beban. Bagi banyak perempuan yang menjalankan UMKM, khususnya di sektor informal, kompleksitas administrasi pajak membuat mereka ragu untuk mendaftarkan usaha mereka secara formal. Data Bank Dunia pada 2023 menunjukkan bahwa hanya 24% UMKM di Indonesia yang terdaftar secara resmi, dan sebagian besar adalah usaha yang dikelola laki-laki.
Tantangan lain muncul dari rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025. Kebijakan ini, meski bertujuan meningkatkan penerimaan negara, berpotensi menurunkan daya beli masyarakat dan membebani pelaku usaha kecil. Bagi perempuan pelaku UMKM yang mengandalkan konsumsi domestik sebagai pasar utama, kebijakan ini dapat berdampak langsung pada keberlanjutan usaha mereka. Kenaikan PPN tersebut juga memunculkan pertanyaan besar : apakah kebijakan perpajakan kita sudah cukup inklusif untuk melindungi pelaku usaha yang rentan?
Selain itu, literasi perpajakan di kalangan perempuan pelaku UMKM masih rendah. Banyak dari mereka yang tidak memahami prosedur pendaftaran, pelaporan, dan pembayaran pajak. Kompleksitas sistem administrasi, yang melibatkan serangkaian dokumen dan laporan, sering kali menjadi hambatan. Tidak jarang, ketidaktahuan ini berujung pada denda atau sanksi administratif yang semakin membebani usaha kecil mereka. Hal ini menunjukkan perlunya pendekatan baru dalam mendesain sistem perpajakan yang lebih inklusif dan ramah bagi pelaku usaha kecil, terutama perempuan.
Reformasi perpajakan yang lebih inklusif bukanlah hal yang tidak mungkin. Pemerintah dapat memulai dengan menyederhanakan sistem administrasi pajak melalui digitalisasi yang lebih masif. Penggunaan platform digital yang intuitif dan mudah diakses akan membantu perempuan pelaku UMKM dalam melaporkan dan membayar pajak mereka dengan lebih efisien. Selain itu, pemerintah perlu menyediakan edukasi pajak berbasis komunitas yang fokus pada perempuan. Dengan pendampingan langsung dan materi yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka, literasi pajak dapat ditingkatkan secara signifikan.
Di sisi lain, insentif pajak berbasis gender dapat menjadi salah satu terobosan. Di beberapa negara seperti Kanada, pendekatan ini telah terbukti berhasil. Misalnya, pemerintah dapat memberikan keringanan pajak tambahan bagi UMKM yang dikelola oleh perempuan atau yang berfokus pada sektor-sektor prioritas seperti pendidikan dan kesehatan. Langkah ini tidak hanya mendukung pertumbuhan ekonomi tetapi juga memperkuat kesetaraan gender dalam kebijakan fiskal.
Dalam jangka panjang, dukungan terhadap UMKM perempuan melalui kebijakan perpajakan yang inklusif akan memberikan dampak besar bagi perekonomian nasional. Ketika perempuan diberdayakan, mereka tidak hanya menciptakan nilai ekonomi tetapi juga membawa perubahan positif bagi komunitas sekitar. Dengan reformasi perpajakan yang tepat, perempuan pelaku UMKM dapat benar-benar menjadi tulang punggung ekonomi yang kokoh, membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih setara dan berkelanjutan.
Rizky Zulkarnain (2207025012)
Prodi : Perbankan Syariah
Dosen Pengampu :Â
Mulyaning Wulan, SE., M. Ak