Mohon tunggu...
Rizky Tzara Mufidah
Rizky Tzara Mufidah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis konten sosial budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dengung Horeg: Dimana Suara Warga Terkalahkan dengan Gemuruh Egoisme?

19 Oktober 2024   16:27 Diperbarui: 19 Oktober 2024   16:54 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saat malam tiba, alih-alih dapat beristirahat dengan tenang, warga malah disambut oleh gemuruh suara yang memekakan telinga dengan dentuman keras khas gempa, akan tetapi ini bukan gempa atau suara bencana, inilah “sound horeg” yakni fenomena hiburan masyarakat yang terkadang mengguncang hati dan pikiran warga. Tak peduli jendela bergetar, tangis bayi terdengar, ataupun tetangga gusar, sarana yang kerap kali digunakan warna sebagai hiburan dan bentuk ekspresi kebebasan ini telah mengantarkan warga kepada ketidaknyamanan dan rasa tidak tenang.

            Bukan sekali dua kali kehadiran sound horeg ini meresahkan warga sekitar, salah satunya terdapat pada unggahan Youtube yang diliput oleh tvOnenews.com dimana terlihat bahwa salah satu keluarga langsung keluar rumah dikarenakan takut akan rumah roboh ketika sound horeg lewat di depan rumahnya, beberapa anak-anak pun juga langsung menutup telinga mereka karena bisingnya suara yang ditimbulkan oleh dentuman keras dari alat ini.

            Tak hanya mengganggu ketenangan warga, adanya sound horeg juga kerap beberapa kali merusak fasilitas ataupun asset milik warga, pada unggahan Official iNews yang menunjukkan bahwa truk yang membawa sound horeg tidak bisa melewati jembatan dikarenakan lebarnya melebihi pembatas jembatan, alih-alih mencoba mencari jalan alternative lain, para pembawa sound horeg ini justru memilih memukul dan membongkar pembatas jembatan demi dapat melewati jembatan dan melangsungkan kegiatan hiburan.

            Bukan hanya soal kenyamanan dan ketenangan, nyatanya, adanya suara bising dan dentuman keras yang ditimbulkan sound horeg juga sudah melampaui ambang batas decibel yang diterima oleh manusia, dimana menurut para ahli, suara bising yang dapat diterima manusia adalah dibawah 70 dB sementara biasanya suara bising sound horeg melebihi 70 dB atau bahkan sampai 135 dB. Paparan akan suara bising yang melebihi ambang batas decibel dalam waktu lama ini dapat mengganggu pendengaran, mengganggu kemampuan komunikasi, dan menyebabkan kerusakan pendengaran progresif.

            Beberapa kasus tadi merupakan bentuk-bentuk bagaimana sound horeg mengganggu kenyamanan, ketenangan bahkan sampai merusak fasilitas warga sekitar. Namun, yang sering kali diabaikan adalah dampak jangka panjangnya terhadap kesehatan fisik dan mental masyarakat. Paparan suara yang melebihi ambang batas dapat menyebabkan stres kronis, insomnia, hingga peningkatan risiko penyakit jantung akibat tingginya level kebisingan yang terus-menerus. Bagi anak-anak dan lansia, gangguan ini bahkan lebih serius, karena mereka lebih rentan terhadap efek negatif suara bising.

            Selain itu, kerusakan pada fasilitas umum seperti jendela bergetar hingga retak dan perabot yang rusak bukanlah masalah kecil. Perbaikan fasilitas tersebut memerlukan biaya yang tidak sedikit, dan sering kali harus ditanggung oleh warga atau pemerintah setempat. Ironisnya, semua ini terjadi karena segelintir orang yang tak bisa menahan ego untuk memutar musik dengan volume wajar. Alih-alih menciptakan hiburan, sound horeg justru menjadi simbol ketidakpedulian terhadap hak orang lain untuk hidup dalam lingkungan yang tenang dan nyaman.

            Kebisingan ini tidak hanya mengancam fisik, tapi juga merusak harmoni sosial. Warga yang terganggu mulai kehilangan kesabaran dan ketidakpuasan mereka bisa berkembang menjadi konflik yang lebih serius. Pertanyaannya, apakah kita akan terus membiarkan egoisme dan kebisingan ini mengganggu kehidupan sehari-hari, atau mulai memikirkan solusi yang mengedepankan kepentingan bersama?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun